OPINI—Dua bocah, laki-laki berusia 9 tahun dan perempuan 7 tahun di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), viral di media sosial setelah kedapatan berhubungan layaknya suami istri di area perkuburan. Ketua RT setempat, Qadariah, mengatakan aksi mesum itu dilakukan setelah bocah tersebut terpapar pornografi yang ditonton melalui ponselnya (Detik, 27-04-2024).
Fakta tersebut sungguh sangat miris. Bagaimana tidak, hal ini tentu menjadi pukulan bagi orang dewasa, terlebih orang tua untuk lebih memperhatikan anak-anak mereka atas apa yang menjadi tontonan ataupun bacaan buah hatinya.
Kasus serupa pun tidak menutup kemungkinan jumlahnya lebih banyak lagi, namun tidak terekspose oleh media. Apalagi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto menyatakan rata-rata usia anak-anak yang menjadi korban aksi pornografi secara online itu mulai dari 12-14 tahun.
Namun, kata dia, ada juga anak-anak yang masih duduk di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) dan kelompok disabilitas yang juga menjadi korban tindakan asusila tersebut (Republika, 19/04/2024).
Sungguh anak-anak saat ini tidak sedang baik-baik saja. Hampir di segala lini, mereka digempur oleh keadaan yang mampu merusak moral mereka. Mulai dari lingkungan masyarakat yang tak sedikit mereka saksikan, seperti kaum hawa yang tak jarang mengumbar auratnya, interaksi lawan jenis yang bebas tanpa batas dan masih banyak lagi.
Di dunia maya pun gempuran moral generasi tak kalah miris. Semua kalangan bebas dan dengan mudah mengakses tontonan mesum, tak terkecuali oleh kalangan anak-anak yang masih bau kencur.
Karenanya, masalah ini harus menjadi perhatian serius bukan hanya dari orang tua, namun juga masyarakat. Terlebih peran negara yang harus semakin mengencarkan untuk menutup atau memblokir situs-situs yang minim edukasi dan berbau mesum, sebab hal itu mampu memicu munculnya syahwat.
Tak cukup sampai di situ, tentu harus ada juga sanksi yang tegas yang mampu menjerakan para pelaku. Dalam ini seperti pembuat film porno, penyebar dan semua yang ikut serta terlibat dalam tindakan tak senonoh tersebut.
Hanya sayangnya harapan ini seolah sulit terwujud. Bagaimana tidak, produksi pornografi termasuk shadow economy dalam sistem kapitalisme. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana mengungkapkan transaksi video porno dan seksual melibatkan anak di bawah umur di Tanah Air mencapai Rp 114,26 miliar (Cnbcindonesia, 29-12-2022). Miris!
Dari itu, sungguh sulit meminimalisasi apalagi memberantas masalah mesum, jika sistem yang ada masih memberi celah berbagai hal yang memicu timbulnya perbuatan tersebut. Apalagi sistem sekuler yang diterapkan pun makin menggerus peran agama dalam kehidupan. Jadi makin lengkaplah kerusakan moral generasi tak terkecuali generasi bau kencur yang makin hancur.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, islam memandang pornografi adalah kemaksiatan dan kemaksiatan adalah kejahatan yang harus dihentikan. Apalagi dalam sistem islam tidak ada industri maksiat, karena telah jelas haram dan terlarang. Jadi dalam hal ini tidak ada tawar-menawar, walau ada yang menginginkan dan menghasilkan cuan yang berlimpah.
Selain itu, melalui penguatan peran keluarga, khususnya peran orang tua dalam mendidik anak-anaknya. Karena anak merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Pun orang tua bukan hanya bertanggung jawab dalam membesarkan, memberi apapun yang ia butuhkan, tetapi lebih dari itu memberi pendidikan yang baik.
Hal ini sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “Tiada suatu pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain pendidikan yang baik.” (HR. Al Hakim).
Tak hanya peran orang tua yang penting, namun juga peran lingkungan masyarakat dalam membantu menopang pendidikan yang telah didapat anak dari orang tuanya. Hal itu seperti membudayakan aktivitas amar makruf nahi mungkar di tengah-tegah masyarakat.
Selain kedua peran tersebut, tak kalah penting peran negara, sebab negara memiliki kekuatan hukum dalam membuat aturan dan memberi sanksi yang tegas dan berefek jera bagi pelaku tindak kejahatan. Pun tidak ada tontonan yang minim edukasi, apalagi yang berbau porno.
Dari itu, begitu pentingnya peran negara dalam membuat aturan dan menerapkannya agar umat benar-benar terjaga dari kemaksiatan. Karenanya individu dan masyarakat dalam sistem islam akan terkondisikan dalam suasana ketaatan.
Dengan demikian, tampak sulit memberantas tindakan asusila saat ini, karena begitu banyak yang memicunya. Terlebih ditopang oleh sistem yang ada. Dari itu, sudah selayaknya umat ini kembali pada aturan yang sempurna yang berasal dari pencipta. Karena sungguh Allah yang menciptakan hamba, maka Dia pula yang mengetahui mana aturan yang terbaik untuk hambanya. Wallahu a’lam. (*)
Penulis:
Fitri Suryani, S.Pd
(Freelance Writer)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.