OPINI—Lagi dan lagi beberapa pejabat negara terjerat kasus korupsi. Kali ini menjelang Idul Fitri Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap beberapa pejabat. Dalam waktu delapan hari, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menggelar OTT sebanyak tiga kali. Puluhan orang ditangkap.
Operasi pertama pada Kamis (6/4/2023), KPK mengamankan 28 orang termasuk Bupati Kepulauan Meranti, Riau, Muhammad Adil. Kemudian pada Rabu (12/4/2023), KPK kembali menciduk puluhan orang yang diduga terlibat perbuatan rasuah di Semarang, Depok, Jakarta, dan Surabaya. Setelah dilakukan pemeriksaan hanya 10 diantaranya ditetapkan sebagai tersangka.
Adapun para pelaku diduga melakukan tindak pidana korupsi suap pembangunan dan pemeliharaan jalur kereta api di lingkungan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), Kementerian Perhubungan Tahun Anggaran 2018-2022.
Terakhir dalam OTT yang dilakukan, KPK mengamankan Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, pada Jumat (14/4/2023) atas dugaan pengadaan barang dan jasa CCTV dan jaringan internet pada program Smart City Kota Bandung. Terungkapnya kasus Yana Mulyana tersebut menambah daftar nama Wali Kota dan Bupati di Jawa Barat yang terkena OTT KPK.
Pada bulan yang sama Ketua KPK yaitu Firli Bahuri dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK atas tindak pidana pembocoran dokumen penyelidikan dugaan korupsi Tunjangan Kinerja Tahun Anggaran 2020-2022 di Kementerian ESDM. Sebelumnya pun Firli Bahuri pernah beberapa kali melanggar kode etik. Salah satunya yaitu menggunakan helikopter untuk kegiatan pribadi ke Baturaja, Sumatera Selatan pada Juni 2020 lalu.
Kegaduhan yang terjadi pada tubuh KPK semakin membayangi buruknya masa depan pemberantasan korupsi di negeri ini. Banyaknya kasus korupsi yang menimpa para pejabat negara, hingga persoalan yang menimpa KPK semakin melengkapi keterpurukan bangsa ini.
Maraknya tindak korupsi di suatu negera tak bisa dilepaskan dari sistem politik yang digunakan oleh negara tersebut. Negara yang menerapkan sistem politik demokrasi dipastikan menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi, termasuk di Indonesia.
Hal ini berawal dari sistem demokrasi yang menyerahkan kewenangan membuat hukum kepada manusia. Penerapan sistem politik demokrasi meniscayakan penerapan hukum sekuler (pemisahan agama dari kehidupan) yang menghilangkan peran agama untuk mengatur negara, menjadikan aparat hingga birokrat tidak merasa diawasi oleh Allah SWT sehingga mereka dengan mudahnya melakukan apa saja, termasuk korupsi.
Ditambah lagi mahalnya biaya politik dalam demokrasi seperti biaya iklan hingga sogokan untuk membeli suara rakyat, menjadikan mereka berusaha mengembalikan modal.
Selain itu, mereka disokong para pemilik modal yang berharap mendapat keuntungan setelah mereka menjabat, yang akhirnya cenderung membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan memunculkan konflik kepentingan salah satunya melalui korupsi.
Ada juga faktor lainnya, yang memang lahir karena diterapkannya sistem sekuler yaitu: Pertama, lemahnya karakter individu (misalnya individu yang tak tahan godaan uang suap). Kedua, lingkungan/masyarakat yang menjadikan suap atau gratifikasi sebagai budaya atas inisiatif mereka sendiri. Ketiga, penegakan hukum yang lemah. Adanya sikap tebang pilih terhadap pelaku korupsi, serta sanksi bagi koruptor yang tidak menimbulkan efek jera.