OPINI—Praktik Bullying semakin marak terjadi. Meski, praktik perundungan ini sebenarnya sudah lama berlangsung. Namun, fakta-fakta yang terkuak satu demi satu makin menambah pilu nasib generasi hari ini. Korban dan pelaku perundungan (bullying) tidak lagi memandang usia. Bahkan, siswa SD bisa menjadi pelaku kejahatan perundungan di sekolah.
Sebagaimana yang diwartakan kompas.com, 20/5/2023, nahasnya kondisi MHD (9) yang tewas setelah dirundung kakak kelasnya. Siswa di salah satu SD Negeri di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ini, meninggal setelah tiga hari kritis di rumah sakit. Sebelum meninggal, ia mengaku jika dikeroyok oleh kakak kelasnya di sekolah.
Sungguh miris melihat generasi saat ini. Perilaku sadis dan bengis menambah catatan merah kerusakan generasi.
Terus Berulang
Setiap tahunnya, bahkan setiap hari, terus bermunculan kasus perundungan pada anak. Jika dahulu pelaku dan korban perundungan adalah pelajar tingkat SMP dan SMA, kini pelaku siswa SD pun mulai menjamur. Jenis perundungan yang kerap dialami korban beragam, baik fisik, verbal, sosial/relasional, ataupun secara daring (cyberbullying).
Sepanjang 2022, KPAI mencatat ada kenaikan signifikan kasus perundungan, yakni sekitar 226 kasus atau meningkat empat kali lipat dibandingkan 2021. Perundungan di sekolah berpotensi terus terjadi. Survei Mendikbudristek memperkuat hal ini.
Survei yang melibatkan 260 ribu sekolah di Indonesia di level SD/Madrasah hingga SMA/SMK terhadap 6,5 juta peserta didik dan 3,1 juta guru menyatakan bahwa terdapat 24,4% potensi perundungan di lingkungan sekolah.
Artinya, Indonesia sudah darurat bullying! Perundungan makin jadi ancaman bagi anak-anak kita. Mengapa hal ini terus berulang? Di mana letak masalah utamanya? Padahal, perangkat kebijakan pendidikan untuk mengatasi maraknya perundungan di sekolah sudah dilakukan.
Dampak Sistem Sekuler
Kasus perundungan hanyalah sebagian dampak penerapan sistem kehidupan sekuler yang makin menjauhkan generasi dari hakikat penciptaan manusia, yakni menjadi hamba Allah Taala yang taat dan terikat syariat. Banyak faktor yang memengaruhi maraknya kasus perundungan.
Pertama, kebijakan negara, yakni kurikulum yang tegak di atas nilai-nilai sekuler. Pernahkah kita berpikir lebih mendalam, begitu banyak sekolah, baik berbasis Islam atau umum dengan sistem yang dinilai baik, tetapi nyatanya belum cukup mampu menangkal dan mencegah perundungan?
Nyatanya, perundungan bisa terjadi di sekolah mana saja. Inilah konsekuensi yang harus kita tanggung ketika negara lebih memilih penerapan kurikulum dan sistem pendidikan berbasis akidah sekularisme. Daya rusak akidah ini sangat dahsyat.