OPINI—Pernahkah kamu berpikir, “Harga barang makin murah, bukankah itu kabar baik?” Tapi tunggu dulu, fenomena yang kita bicarakan ini bukan tentang diskon akhir tahun atau promo besar-besaran.
Selama lima bulan terakhir, Indonesia menghadapi deflasi—penurunan harga barang dan jasa yang tampaknya menyenangkan, tapi ternyata menyimpan ancaman serius bagi perekonomian.
Mengapa deflasi menjadi momok yang begitu ditakuti? Apa yang membuatnya berbahaya bagi semua kalangan, mulai dari konsumen hingga produsen? Mari kita bahas lebih dalam.
Deflasi: Turunnya Harga yang Membawa Masalah
Secara sederhana, deflasi adalah kondisi ketika harga barang dan jasa terus menurun dalam jangka waktu tertentu. Awalnya, ini terdengar seperti kabar baik, terutama bagi ibu rumah tangga yang mendapati harga kebutuhan pokok jadi lebih terjangkau. Tapi di balik itu, ada bahaya besar: ekonomi bisa terhenti.
Mengapa? Ketika harga terus turun, konsumen cenderung menunda pembelian dengan harapan harga akan lebih murah di masa depan. Akibatnya, produsen kehilangan pendapatan, produksi melambat, dan akhirnya banyak karyawan dirumahkan. Efek domino ini bisa membawa negara ke dalam resesi berkepanjangan.
Deflasi vs. Inflasi: Siapa yang Lebih Bahaya?
Saat inflasi, harga naik dan daya beli masyarakat tergerus. Tapi, inflasi yang terkendali justru menandakan ekonomi yang aktif—uang berputar, orang belanja, dan bisnis tetap berjalan. Di sisi lain, deflasi menciptakan kebalikan: roda ekonomi melambat.
Bayangkan kamu ingin membeli smartphone. Harga turun minggu ini, dan kemungkinan akan lebih murah minggu depan. Tentu saja, kamu menunda pembelian. Tapi ketika semua orang berpikir sama, produsen smartphone kehilangan pendapatan, mengurangi produksi, bahkan memberhentikan karyawan. Pengangguran meningkat, daya beli turun, dan ekonomi semakin lesu.
Apa Penyebab Deflasi?
Deflasi sering kali muncul dari kombinasi berbagai faktor, seperti:
- Kebijakan Upah Stagnan: Saat pendapatan masyarakat tidak meningkat, daya beli pun melemah.
- Kenaikan Pajak: Rencana kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% pada 2025 bisa memperburuk daya beli masyarakat.
- Persaingan Produk Impor: Produk impor yang lebih murah membuat produsen lokal sulit bersaing, seperti kasus peternak susu di Boyolali.
- Kenaikan Suku Bunga: Biaya pinjaman mahal membuat konsumen dan pelaku usaha menahan belanja dan investasi.
- Judi Online: Uang yang dialihkan ke perjudian tidak berkontribusi pada ekonomi produktif, memperburuk perputaran uang dalam negeri.
Dampak Jangka Panjang Deflasi
Jika dibiarkan, deflasi bisa membawa kita ke jurang resesi. Beberapa dampaknya meliputi:
- Pengangguran Melonjak: Produsen mengurangi tenaga kerja karena pendapatan menurun.
- Utang Jadi Lebih Berat: Nilai uang yang meningkat membuat utang lebih sulit dilunasi.
- Stagnasi Investasi: Investor enggan menanam modal dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti.
- Krisis Sosial: Ketimpangan ekonomi meningkat, dan kriminalitas bisa melonjak akibat kesulitan ekonomi.
Bagaimana Cara Mengatasinya?
Menangani deflasi bukan hal mudah, tapi ada beberapa langkah yang bisa dilakukan, baik oleh masyarakat maupun pemerintah:
1. Peran Masyarakat
Tetap Berbelanja Sesuai Kebutuhan: Menunda konsumsi hanya memperburuk situasi.
Dukung Produk Lokal: Membeli barang buatan dalam negeri membantu produsen lokal tetap bertahan.
Berinvestasi di Sektor Produktif: Daripada menabung, lebih baik mendukung UMKM atau usaha kecil yang bisa menggerakkan roda ekonomi.
2. Kebijakan Pemerintah
- Batalkan Kenaikan PPN: Menunda kenaikan pajak agar daya beli masyarakat tidak semakin tergerus.
- Naikkan Upah Secara Proporsional: Peningkatan daya beli harus diimbangi dengan pengendalian inflasi.
- Perkuat Produk Lokal: Berikan subsidi atau insentif kepada produsen lokal agar tetap kompetitif.
- Kurangi Ketergantungan Impor: Tingkatkan kualitas dan daya saing produk lokal untuk mengurangi tekanan dari barang impor.
Harapan di Tengah Ancaman
Deflasi memang mengintimidasi, tapi dengan kerja sama antara masyarakat dan pemerintah, dampaknya bisa diminimalkan. Membeli produk lokal, tetap berbelanja, dan mendukung kebijakan yang pro-ekonomi domestik adalah langkah awal untuk melawan ancaman ini.
Ingat, harga murah bukan selalu kabar baik. Di baliknya, ada perekonomian yang sedang berjuang untuk tetap hidup. Mari kita bersama-sama menjaga agar roda ekonomi terus berputar demi masa depan yang lebih baik. (*)
Penulis: Annisa Rahima Putri (Mahasiswa Akuntansi, Universitas Jambi)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.









