OPINI—Banyaknya populasi umat Muslim khususnya di Indonesia merupakan nikmat yang patut disyukuri. Menurut laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) bertajuk The Muslim 500 edisi 2023. Muslim terbesar yakni 86,7 persen atau 237,77 juta jiwa.
Hal ini menarik perhatian Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, ia menilai pengembangan ekonomi syariah merupakan kebutuhan pembangunan di Indonesia, selain sebagai manifestasi ajaran Islam, (Antara, 26/5/2023).
Hal yang sama juga diungkapkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sambutannya pada acara Anugerah Adinata Syariah 2023, di Kantor Pusat Bank Syariah Indonesia (BSI), Jakarta Selatan, Jumat (26/5/2023) mengungkapkan bahwa roda pengembangan ekonomi dan keuangan syariah terus bergulir dengan sejumlah capaian positif.
Pangsa aktivitas usaha syariah tahun 2022 tercatat 45,66 persen terhadap perekonomian nasional atau meningkat 3,45 persen dari tahun 2021. Ke depan, program ekonomi syariah diharapkan dapat masuk dalam kerangka perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah, (Kompas, 26/5/2023).
Setengah Hati
Menilik pernyataan pejabat terkait ekonomi syariah yang dipandang sangat dibutuhkan sekaligus menguntungkan. Sekaligus dapat mengembangkan ekonomi negara dan menjadi wasilah dalam meningkatkan pembangun daerah.
Secara kasat mata, tentu hal ini menggembirakan umat Muslim sebab dinilai menjadi ‘ikon’ pembangunan negara. Suatu kebanggaan karena telah berkontribusi dalam perbaikan ekonomi negara.
Seperti instrumen syariah seperti Bank Syariah Indonesia, Baznas, pengaturan baru sertifikat halal, regulasi pelaksanaan haji-umrah dan sejumlah instrumen syariah yang menjalankan roda perekonomian.
Saat ini, menjadi pusat perhatian beberapa pemangku kekuasaan. Namun sangat disayangkan, tampaknya perhatian tesebut terlihat ‘setengah hati’ sebab ternyata banyak hukum syariah yang diabaikan.
Misalnya, menyandingkan ekonomi syariah ditengah aktifitas riba yang dilakukan dengan meminjam ke negara, tentunya dengan bunga atas nama pembangunan. Namun, syariah sangat jelas dan tegas mengharamkan riba.
Disisi lain, pembahasan hukum syariah tak hanya ekonomi semata melainkan terdapat sistem politik, sistem pendidikan, sistem sanksi, militer, hubungan dalam-luar negeri dan masih banyak lagi.
Jika benar-benar ingin mengambil syariah menjadi landasan bermasyarakat, maka seyogianya syariah diambil secara kafah (meyeluruh). Dengan tidak mengambil setengah dan membuang setengahnya lagi. Janganlah menjadi manusia setengah hati.