OPINI—Maraknya tawuran dikalangan pelajar menjadi salah satu persoalan yang tiada habisnya, bahkan serentetan peristiwa tawuran pelajar dibeberapa daerah, terjadi di awal Tahun ajaran 2023/2024.
Di Tangerang, 69 pelajar dari dua sekolah yang berbeda diamankan kepolisian karena akan tawuran. (BeritaSatu, 18-7-2023). Tawuran pelajar juga terjadi di Jakarta. Dua kelompok pelajar berseragam SMA melakukan tawuran di Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka menggunakan senjata tajam. (Antara, 18-7-2023). Pada hari yang sama, terjadi juga tawuran pelajar SMK di Purworejo, Jawa Tengah hingga viral di media sosial. (Tribun Jogja, 18-7-2023).
Pekan depannya, pada Sabtu (22-7-2023), terjadi lagi tawuran, yaitu di Tangerang. Seorang pelajar terluka parah karena terkena sabetan senjata tajam setelah terlibat tawuran (Tangerang News, 23-7-2023). Pada tanggal yang sama, 20 pelajar SMA di Bogor diamankan karena hendak melakukan tawuran dengan membawa senjata tajam (Berita Satu, 23-7-2023).
Tentunya hal ini sangat disayangkan, niat hati ingin menyekolahkan anak, memberikan yang terbaik untuk pendidikannya dengan harapan sang anak betul-betul dapat menuntut ilmu dengan baik di sekolah agar suatu saat menjadi kebanggaan keluarga dan berguna bagi agama dan bangsa. Namun, bukannya berusaha mewujudkan harapan orang tua dengan belajar yang rajin, justru mereka malah asik tawuran.
Tingkah mereka semakin meresahkan, tak jarang dengan senjata tajam mereka saling serang yang bahkan sampai menghilangkan nyawa. Naasnya tawuran antar pelajar ini sepertinya sudah dijadikan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi, dari alumni ke siswa baru, sehingga sulit untuk diputuskan.
Buah dari Sekularisme
Jiwa muda yang menyala-nyala sering disematkan kepada para remaja yang terlibat tawuran, ini bukanlah semata mata menjadi penyebabnya, buktinya, ketika diamankan polisi dan dipertemukan dengan orang tuanya, mereka menangis tersedu-sedu seperti anak kecil yang kepergok berbuat salah. “Kegagahan” mereka ketika bersama kelompoknya langsung sirna ketika masing-masing mereka sedang sendirian.
Meski secara fisik para pelajar ini tampak dewasa, namun tidak dengan jiwanya yang masih kekanak-kanakan. Mereka belum paham konsekuensi atas perbuatannya. Kebanyakan dari mereka sekadar ikut-ikutan tanpa melihat bahaya yang ditimbulkan. Mereka tidak paham bahwa melukai orang lain, apalagi sampai membunuhnya, merupakan perbuatan dosa yang akan ia pertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala.
Sebenarnya semua ini berpangkal dari sekularisme yang telah mengakar di dada kaum muslim negeri ini. Sekularisme menjadikan para pemuda kehilangan visi akhirat. Konsep pahala/dosa tidak melekat dalam benak mereka sehingga tidak menjadi penuntun tingkah laku mereka.
Justru yang menuntun perilaku mereka adalah sekularisme liberal. Slogan “yang penting happy” dan “kebebasan” merasuk dalam pemikiran, perasaan, dan tingkah laku sehingga mereka merasa bebas berbuat apa saja. “Mumpung masih muda,” katanya. Mereka mengabaikan fakta bahwa maut tidak perlu menunggu tua.
Kapitalisme akarnya
Fenomena ini menunjukkan lemahnya kepribadian anak dalam sistem pendidikan hari ini yang berbasis sistem sekuler kapitalisme. Kapitalisme menjadikan pendidikan di negeri kita berfokus pada pencapaian nilai-nilai akademik di semata, tetapi abai pada pembinaan kepribadian pelajar. Pelajaran agama yang sudah minim makin tidak berbekas, ketika disampaikan sekadar sebagai bahan ajar agar bisa menjawab pertanyaan ketika ujian.
Saat melihat kondisi para pelajar yang gemar tawuran, kita patut bertanya, seperti apa nasib Indonesia ke depannya? Kita patut khawatir, pada 2045 para pemuda hari ini tidak menjadi generasi emas, tetapi justru generasi yang membuat cemas.
Penguasa memang sudah bertindak untuk menyelesaikan tawuran pelajar. Hanya saja Meski sudah berbuat onar, para pelaku hanya diberikan pembinaan ala kadarnya, lantas dilepaskan kembali. Sistem hukum juga tidak bisa menjerakan para pelaku. Mereka dianggap masih anak-anak karena belum berusia 18 tahun. Akibatnya, hukum tidak bisa berlaku tegas meski mereka berbuat kriminal dengan melukai orang lain.
Dengan kegagalan sistem dalam menyelesaikan masalah tawuran pelajar, peristiwa ini akan terus terjadi tanpa henti. Yang menjadi korban bukan hanya pelaku tawuran, tetapi juga dapat mengenai orang-orang yang tidak bersalah. Tidakkah ini membuat kita berpikir ulang tentang kelayakan sistem kapitalisme untuk menyelesaikan persoalan kehidupan kita? Faktanya, sistem kapitalisme bukan sekadar gagal menyelesaikan masalah, melainkan justru menjadi biang masalah.
Kedudukan Pemuda Dalam Islam
Dalam Islam generasi/pemuda adalah tonggak peradaban disuatu negeri. Dan kondisi suatu negeri ini akan sangat bergantung pada kualitas generasinya. Jika, generasinya baik maka masa depan negeri tersebut akan baik. Begitupun sebaliknya, jika kondisi generasinya buruk maka masa depan negeri tersebut akan buruk pula.
Adapun dalam menjaga kualitas generasi. Islam memiliki sistem pendidikan terbaik yang mampu menghasilkan generasi (pemuda) berkualitas yang berkepribadian islam. Hal yang paling mendasar adalah menjadikan akidah Islam sebagai dasar negara sehingga seluruh aturan kehidupan tegak berdasarkan asas keimanan.
Ini menjadikan setiap perilaku warga negara, termasuk pemuda, terikat dengan pemahaman Islam. Tujuan hidupnya adalah untuk meraih ridha Allah. Setiap individu akan paham bahwa Allah Taala menghisab setiap amal perbuatan manusia sehingga tidak ada yang bisa berbuat seenaknya.
Islam akan membentuk kepribadian warga negara melalui sistem pendidikan. Agama Islam tidak sekadar diajarkan di sekolah, tetapi menjadi spirit dalam pendidikan. Dari sistem pendidikan, lahirlah output berupa para pemuda bervisi akhirat dan sekaligus cakap dalam ilmu pengetahuan.
Para pelajar dalam islam mafhum betul tentang hakikat hidup seorang muslim bahwa seorang muslim harus mengabdikan hidupnya di jalan Islam, yaitu dengan mewujudkan ketaatan total pada Rabb-nya.
Para pemudanya akan menghabiskan hidupnya di jalan Allah Taala. Mereka akan menjadi ulama, ilmuwan, mujahid, penguasa yang menerapkan aturan Allqh secara sempurna, serta menjadi apa pun yang berkontribusi terhadap kejayaan Islam.
Rasulullah Bersabda, “Tujuh golongan yang dinaungi Allah dalam naungan-Nya pada hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya, yakni imam yang adil, seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah,….” (HR Bukhari).
Tidak hanya sistem pendidikan. Islam juga memiliki sistem sanksi yang efektif. Setiap orang yang sudah balig harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan syariat. Jika terbukti melakukan tindakan kriminal, ia harus dihukum sesuai jenis pelanggarannya.
Dengan gambaran seperti inilah kemudian Islam membentuk generasi terbaik dan berkualitas baik dari segi pemikiran maupun kepribadiannya, olehnya itu sudah sepatutnya kita menyelesaikan persoalan pemuda hari ini dari sudut pandang Islam. Wallahualam. (*)
Penulis
Maisuri
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.