OPINI – Awal kepengurusan organisasi mahasiswa saat ini, merupakan waktu yang tepat untuk mewacanakan kembali arah gerakan mahasiswa. Hal ini yang kadang terlewatkan di antara sebagian aktivis kampus. Padahal sebenarnya, ini selalu menjadi hal yang menarik dan krusial, khususnya sebagai jawaban dari pertanyaan mau dibawa kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini. Tulisan ini memiliki tujuan untuk melihat kembali perjalanan gerakan mahasiswa dan sebagai tawaran diagnosis bagi gerakan ke depannya. Usaha ini dirasa sangat penting saat melihat gerakan mahasiswa saat ini semakin kehilangan arah dan basis massanya.
Gerakan mahasiswa tidak semata sebagai kumpulan mitos dan slogan yang selalu didengung-dengungkan para aktivis. Akumulasi mitos ini justru melenakan dan menina-bobokan mahasiswa dalam zona nyamannya. Gerakan mahasiswa menuntut adanya posisi yang jelas dan tegas, misalnya, dimana mahasiswa seharusnya berada di tengah masyarakat. Menjawab soal tersebut, sebuah analisa tentang posisi mahasiswa secara teoritis sangat dibutuhkan. Pun juga sebagai prakteknya dalam ’mengabdikan´dirinya pada masyarakat. Dalam artian sederhana, aktivisme gerakan mahasiswa saat ini membutuhkan topangan teori yang kuat sebagai landasan geraknya.
Bukan untuk menjadikan mahasiswa berteori secara saklek dan kaku, tetapi sebagai landasan gerak yang jelas bagi langkah ke depan. Pentingnya teori dalam gerakan ini pernah dinyatakan Lenin, ‘Tanpa teori yang revolusioner tak akan ada gerakan revolusioner.’
Belajar dari Sejarah
Gerakan mahasiswa dalam prakteknya bukanlah hal yang ahistoris. Gerakan ini telah melewati spektrum waktu yang lama dan cakupan geografis yang luas. Artinya, gerakan mahasiswa bukanlah sesuatu yang terjadi dengan sendirinya di Indonesia. Justru, gerakan mahasiswa Indonesia merupakan bagian dari kesejarahan gerakan mahasiswa secara luas di dunia.
Dalam sejarah, secara umum gerakan mahasiswa Indonesia menjadi catatan sejarah dalam masa-masa tertentu. Secara awam pun, mahasiswa dapat menyebutkan dengan hapal momentum itu. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1966, 1974, 1978, dan 1998 diakui sebagai tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Namun, sebenarnya, yang perlu dilakukan mahasiswa Indonesia saat ini bukanlah mengagung-agungkan gerakan mahasiswa pada masa itu dengan menyebut-nyebutnya secara heroik.
Mengapa demikian, karena perilaku itu justru menjatuhkan gerakan mahasiswa pada romantisme masa lalu dan terjebak dalam mitos-mitos konyol yang banyak menyebutkan bahwa mahasiswa sebagai satu-satunya motor gerakan perubahan sosial. Bukan bermaksud meremehkan peran mahasiswa pada masa itu, tetapi pengagungan membabi-buta akan gerakan mahasiswa ketika itu, dalam pengalamannya, justru hanya akan berakhir pada rasa bangga saja dan semakin mengokohkan mitos-mitos yang ada, dan yang paling menusuk adalah tak mengubah keadaan sedikit pun.
Hal yang perlu dilakukan mahasiswa sekarang adalah pendobrakan atas ‘mitos-mitos’ di atas dan memperbaikinya. Belajar dari sejarah merupakan upaya merekonstruksi kembali apa yang terjadi di masa lalu untuk menjadi pembelajaran dalam pembacaan atas realitas sekarang. Secara real memang kondisi sosialnya jelas berbeda, tetapi pola-pola pembacaan atas kondisi yang terjadi patut untuk dilihat. Berangkat dari tesis bahwa gerakan mahasiswa bersifat historis, maka belajar dari masa lalu adalah upaya mempelajari pola-pola gerakan tersebut secara kritis. Hal ini perlu dilakukan agar wawasan tentang gerakan mahasiswa tidak sempit. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari fakta sejarah yang telah terukir di lintasan dunia dalam hal gerakan mahasiswa sebagai bahan analisa.
Berangkat dari realisme merupakan kunci dalam melihat permasalahan. Lantas kemudian timbul pertanyaan, hal seperti apa yang disebut sebagai realitas? Atau apakah yang disebut dengan realisme? Sebelum itu, mari kita bedah apa yang disebut dengan realisme. Realisme adalah sebuah pemahaman yang melihat kenyataan sebagai hal yang terpisah dari diri pengamat. Dalam hal ini, kenyataan menjadi sesuatu yang ada secara in heren di luar diri pelaku, walau pelaku itu ada atau tidak. Hal ini berbanding terbalik dengan idealisme yang melihat kenyataan sebagai sesuatu yang ada karena idea di kepala mengatakan hal tersebut ada.
Artinya, kenyataan ditentukan oleh pikiran atau anggapan seseorang. Dari perspektif realis, gerakan mahasiswa memandang jika permasalahan sosial sebagai sesuatu yang ada secara real di luar diri mereka. Ada atau tidak adanya gerakan mahasiswa, realitas permasalahan itu ada di masyarakat. Melihat hal tersebut, gerakan mahasiswa kemudian muncul sebagai respon terhadap hal tersebut. Namun, perlu diingat bahwa kemunculan gerakan mahasiswa tidak selalu diisyaratkan secara deterministik oleh permasalahan secara real itu.
Realisme kritis sendiri memiliki tiga tingkatan aspek ontologis, yaitu (a) realitas empirik (realitas yang dapat dijumpai dengan panca indera), (b) realitas aktual (realitas yang dijumpai dalam ruang dan waktu), dan (c) realitas ‘real’ (realitas yang bersifat transfaktual dan lebih bertahan daripada persepsi kita karena ia berisi struktur yang memiiliki kapasitas kuasa dan menjadi dasar terdalam dari peristiwa-peristiwa yang diobservasi muncul).Hubungan dari ketiga realitas tersebut terjadi secara sebab-akibat. Artinya realitas (a) disebabkan oleh realitas (b) dan disebabkan oleh realitas (c). Sehingga, realitas (a) merupakan manifestasi secara empirik dari realitas (c).
Oleh karena itu, realisme kritis selalu mensyaratkan untuk mendapatkan realitas yang ‘real’ atau sejati dalam fenomena sosial, maka dibutuhkan sebuah cara untuk melampaui realitas empirik dan realitas aktual tadi dan berusaha tak terjebak dalam keduanya.
Penutup
Melalui tulisan ini, pembelajaran atas pembacaan realitas yang dilakukan gerakan mahasiswa di berbagai belahan nusantara menjadi hal yang penting. Setidaknya, bagaimana gerakan ini berangkat dan menuju ke arah mana. Analisa atas hal tersebut perlu mendapatkan porsi yang seimbang dalam dunia gerakan mahasiswa sekarang agar tak menjadi ‘kerbau liar’ dalam dunia gerakan masyarakat.
Dengan analisa di atas, dalam hemat saya, gerakan mahasiswa saat ini harus berangkat dari realisme dan menuju perjuangan emansipatoris. Dengan ini berarti menyadari jika permasalahan sosial telah ada di luar sana, maka hal yang perlu dilakukan berikutnya adalah analisa untuk menemukan relasi-relasi struktur yang menjadi akar permasalahan sekarang, untuk menuju suatu realitas yang ‘real.’ Hal ini yang dimaksudkan dengan term Berangkat dari Realisme.
Selanjutnya, adalah pengarahan untuk menuju arena pembebasan yang dilakukan secara bersama-sama dengan elemen masyarakat lain untuk menuju sebuah perjuangan yang emansipatoris. Perjuangan ini bertujuan untuk membebaskan masyarakat dari belenggu permasalahan yang diciptakan oleh permasalahan ‘real’ tadi. Hal demikian menjadi tujuan dari gerakan mahasiswa saat ini. Penjelasan tersebut, yang menurut saya, menjadi jawaban dari mana dan kemanakah arah gerakan mahasiswa saat ini (harus) bergerak.
Penulis: Muh Syahrudin Syair
Wakil Maperwa UIT
Dewan Jendral Pengurus Pusat Gerakan Aktifis Mahasiswa (GAM)