OPINI – Subsidi gas 3 kg akan dicabut oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Nantinya, subsidi takkan diberikan per tabung, tapi langsung ke penerima manfaat alias masyarakat tidak mampu.
Meski demikian, bukan berarti penerima manfaat bebas sebanyak-banyaknya menggunakan gas 3 kg. Sebab, dalam 1 bulan mereka hanya dijatah maksimal 3 tabung kg.
Setelah subsidi dicabut, nantinya harga jual gas 3 kg akan disesuaikan dengan harga pasar. Harganya diperkirakan sekira 35 ribu rupiah. (Merdeka.com, 17/1/2020).
Meski masih sebatas wacana, namun sejumlah warga di berbagai daerah mengungkapkan keluhannya. Pencabutan subsidi elpiji dinilai hanya akan semakin membebani warga, utamanya masyarakat kelas menengah ke bawah.
Mereka khawatir harga gas elpiji 3 kg akan melonjak jika subsidi dicabut. Saat ini saja warga harus merogoh kocek sebesar Rp16.000 – Rp20.000 untuk membeli satu tabung gas elpiji 3 kg. (IDN Times, 21/1/2010)
Subsidi Dicabut, Solusi Untuk Siapa?
Setiap kebijakan pemerintah harusnya membawa dampak yang baik bagi rakyatnya. Benarkah pencabutan subsidi gas 3 kg ini menguntungkan atau merugikan rakyat?
Alasan yang diungkapkan pemerintah yang akan mengalokasikan ke masyarakat kurang mampu, patut mendapatkan apresiasi.
Namun, apakah alasan ini benar akan menguntungkan rakyat atau malah sebaliknya? Jangan sampai ini hanya menjadi janji manis atau sebatas wacana, namun realisasinya tidak demikian.
Alasan pemerintah mencabut subsidi dikarenakan tidak tepat sasaran dan penghematan adalah kebijakan yang tidak tepat, kebijakan tersebut akan menambah masalah baru.
Data yang masih tidak akurat ditambah pengawasan yang masih lemah menjadikan kebijakan ini salah arah.
Sebagaimana juga diketahui bahwa perekonomian masyarakat menengah ke bawah sangat bergantung dan ditentukan dengan keberadaan gas epiji bersubsidi.
Kenaikan harga gas elpiji 3 kg akan menyengsarakan kehidupan rakyat dan memicu kenaikan harga-harga lainnya.
Kebijakan pemerintah ini seakan tidak berpihak kepada masyarakat miskin dan pelaku usaha kecil seperti UMKM, pedagang bakso, nasi goreng yang menggantungkan kehidupan sehari-hari dan kegiatan usaha dengan penggunaan gas elpiji 3 kilogram.
Kenaikan harga gas 3 kg ini akan sangat berdampak luar biasa dan akan sangat dirasakan khususnya bagi para pelaku usaha kuliner, apalagi yang baru mulai merintis.
Sebagaimana kita lihat di berbagai ruas jalan di Makassar dan pusat-pusat perbelanjaan banyak penjual kuliner kekinian.
Islam Memandang
Dalam sistem ekonomi kapitalis-sekuler, ketidakstabilan harga menjadi fakta yang tidak bisa dihindari.
Sistem ini rentan untuk dipermainkan oleh para pemegang saham, pemilik modal & para pengusaha, terutama jika mereka berkolaborasi dengan para pemegang kebijakan publik (pemerintah).
Meraih keuntungan yang sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi/golongan tanpa mempedulikan kemaslahatan publik, menjadi salah satu ciri khas dari sistem ekonomi kapitalis-sekuler.
Padahal pemerintah adalah penanggung jawab terpenuhinya kebutuhan masyarakat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya, “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Artinya bahwa kehadiran pemerintah dan negara adalah pengurus pemenuhan kebutuhan dasar setiap individu masyarakat. Baik pangan, air bersih, sandang, dan papan. Sehingga setiap individu masyarakat terjamin pemenuhannya dengan baik.
Islam memandang bahwasan kebutuhan pangan termasuk kebutuhan pemenuhannya merupakan kebutuhan asasiyah (mendasar) bagi rakyat di mana negara bertanggungjawab menjamin terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Islam melalui aturan-aturannya menjamin terlaksananya mekanisme pasar dengan baik.
Negara wajib memberantas berbagai distorsi pasar, seperti penimbunan ,monopoli dan penipuan.
Negara juga harus menyediakan akses informasi mengenai pasar kepada semua orang hingga meminimalkan informasi asimetris yang bisa dimanfaatkan pelaku pasar untuk mengambil keuntungan dengan jalan yang tidak benar.
Dari aspek manajemen rantai pasok pangan kita belajar dari Rasul yang memusatkan perhatiannya terhadap akurasi data hasil produksi.
Beliau mengangkat Hudzaifah Bin Al-Yaman sebagai kaatib untuk mencatat hasil produksi di Khaibar dan hasil produksi pertanian yang ada.
Dengan demikian akan terlihat berapa banyak stok yang akan disalurkan ke masyarakat. Sementara kebijakan pengendalian harga dilakukan dengan mekanisme pasar melalui pengendalian supply and demand bukan pematokan harga.
Jika terjadi ketidakseimbangan supply dan demand (harga naik/turun drastis), negara melalui lembaga pengendali, segera menyeimbangkannya dengan mendatangkan barang dari daerah lain.
Inilah yang dilakukan Umar Ibnu al-Khatab ketika di Madinah terjadi musim paceklik. Ia mengirim surat kepada Abu Musa di Bashrah yang isinya; “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam! Mereka hampir binasa”.
Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada ‘Amru bin Al-‘Ash di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum.
Bantuan ‘Amru dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah, kemudian dari sana baru dibawa ke Mekah (Lihat: At-Thabaqâtul-Kubra karya Ibnu Sa’ad, juz 3 hal. 310-317).
Demikianlah solusi Islam dalam mengendalikan harga. Semua itu dilakukan oleh pemerintah untuk kepentingan rakyatnya. Wallahu a’lam bisshawab. (*)