Advertisement - Scroll ke atas
  • Bapenda Makassar
  • Pemkot Makassar
  • Pemkot Makassar
  • Stunting
  • Universitas Diponegoro
Nasional

Ibu Kota Nusantara, Merusak Hutan atau Memperbaiki Lingkungan?

1369
×

Ibu Kota Nusantara, Merusak Hutan atau Memperbaiki Lingkungan?

Sebarkan artikel ini
Ibu Kota Nusantara, Merusak Hutan atau Memperbaiki Lingkungan?
Pembangunan jembatan Pulau Balang Besar yang akan terhubung dengan Ibukota Negara Nusantara (IKN) di Sepaku, Kalimantan Timur, 7 Maret 2023. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan/VoA)
  • KPU Sulsel
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar
  • Banner DPRD Makassar
  • Pilkada Sulsel (KPU Sulsel)

JAKARTA—Ibu Kota Nusantara (IKN) dibangun di atas lahan yang berstatus hutan. Pakar menilai pembangunan ini sama saja dengan merusak kawasan meski pemerintah berkilah pembangunan tersebut justru membenahi hutan sejalan dengan visi ‘forest city.’

Dosen Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwiko Budi Permadi, Ph.D, membuat ilustrasi sederhana terkait IKN dan klaim pelestarian hutan.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Dalam penjelasan pemerintah, termasuk dokumen Bappenas, dipaparkan bahwa IKN adalah kota masa depan yang maju dan hijau, dengan 70 persennya merupakan kawasan hijau. Kebijakan ini sesuai dengan keinginan Presiden Jokowi untuk menjadikan IKN sebagai forest city atau kota hutan.

“Tentu saja indah kan? Tapi justru kita menimbulkan pertanyaan kritis, karena status 256 ribu hektare itu adalah hutan. Kalau dikatakan 70 persennya kawasan hijau, berarti melakukan deforestasi sebesar 30 persen. Berarti 30 persen itu adalah sedang dilaksanakan deforestasi untuk pembangunan infrastruktur dan sebagainya,” kata Dwiko dalam diskusi terkait IKN di Fisipol, UGM, Selasa (23/5/2023).

Penilaian Dwiko didasarkan pada alasan bahwa kawasan IKN berstatus sebagai hutan. Jika nantinya hanya 70 persen area yang hijau setelah IKN jadi, maka bermakna 30 persen telah berubah fungsi.

Pilihan kebijakan ini akan menjawab pertanyaan apakah IKN merusak paru-paru dunia atau tidak.

“Kaidahnya adalah setiap perubahan landscape hutan secara kualitas maupun secara kuantitas, pasti akan mengubah kualitas dari paru-paru itu. Pasti akan merusak paru-paru itu,” ujarnya.

Rehabilitasi-Reboisasi Tugas Berat

Ada dua bentuk perubahan hutan, yaitu deforestasi dan degradasi. Deforestasi adalah perubahan hutan menjadi nonhutan, seperti menjadi sebuah kota. Degradasi adalah penurunan kualitas hutan menjadi hutan tanaman, atau kebun atau mungkin menjadi lahan pertanian.

Namun di sisi lain, Dwiko juga membaca laporan Bappenas yang menyatakan bahwa kondisi hutan di kawasan IKN memang tidak baik-baik saja. Dari 256 ribu hektare yang akan menjadi ibu kota, hanya 43 persen masih layak disebut hutan. Karena itu, jika targetnya adalah 70 persen kawasan hutan, pemerintah memiliki beban hampir 30 persen lahan harus dihutankan kembali.

“Pertanyaannya, mampukah kita mentransformasi hutan produksi tanaman eukaliptus yang kualitasnya lebih rendah dari primer itu, menjadi hutan tropis yang betul-betul mampu menyuplai oksigen, menyupai biodiversitas, mempertahankan kelestarian hutan dan seterusnya,” tanya Dwiko.

Ibu Kota Nusantara, Merusak Hutan atau Memperbaiki Lingkungan?
Jokowi yakin IKN Nusantara akan diminati investor dalam dan luar negeri karena menawarkan suasana yang cukup berbeda daripada kota-kota lain di dunia. (Foto: Courtesy/Biro Setpres)

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sejauh ini hanya memiliki kemampuan melakukan rehabilitasi dan reboisasi seluas 900 hektare per tahun. Itupun dengan tingkat keberhasilan yang rendah.

“Setelah dihitung, membutuhkan waktu 88 tahun untuk bisa mentransformasi kawasan hutan IKN itu menjadi hutan kembali,” tegas Dwiko.

Koordinator Gusdurian Peduli, A’ak Abdullah Al Kudus, turut mengkritisi problem lingkungan yang muncul dari pembangunan IKN ini. Dia mengakui Jakarta membutuhkan dana besar untuk mengatasi masalah lingkungan.

“Apakah kemudian IKN yang akan kita bangun ini, tidak punya dampak yang lebih besar dibanding misalkan tetap di Jakarta atau di tempat lain,” kata Abdullah.

Pertimbangan yang harus diperhatikan terkait posisi Kalimantan sebagai salah satu pemilik hutan tropis besar di dunia. Kawasan ini juga memiliki keanekaragaman flora dan fauna, serta masih lekat dengan kehidupan masyarakat adat. Semua itu menjadi harga yang harus dibayar dalam proses pindahnya ibu kota.

Abdullah juga setuju bahkan menghutankan kembali kawasan yang sudah rusak bukan tugas mudah.

“Kami di Gunung Lemongan (Jawa Timur-red), kalau tanam pohon seribu, paling yang hidup 30 atau 100 pohon, itu sudah hebat. Dengan sekian juta hektare itu apakah mungkin sampai 2045 ini menjadi hutan,” tandasya.

Dia juga mempertanyakan, ke mana perginya para pengusaha yang memiliki konsesi di wilayah IKN. Jika mereka kehilangan lahan di Kalimantan, tentu akan ada konsesi baru yang juga bermakna rusaknya hutan di kawasan lain di Indonesia untuk mereka. Abdullah juga khawatir suku Dayak sebagai masyarakat adat setempat, akan tersingkirkan oleh perubahan yang terjadi.

  • DPPKB Kota Makassar
error: Content is protected !!