RIAU – Sejak 2015 lalu, beberapa kebakaran hutan terbesar dalam sejarah berkobar di Indonesia, membuat kabut asap menyelimuti negara-negara tetangga dan memompa sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer. Salah satu biang keladinya adalah industri kelapa sawit.
Di saat musim kebakaran menjelang, diperburuk oleh pola cuaca El Nino, upaya-upaya untuk mereformasi industri ini akan segera diuji.
Permintaan internasional yang besar atas minyak kelapa sawit untuk digunakan dalam pembuatan makanan ringan dan kosmetik telah membuat kelapa sawit pemandangan umum di Indonesia.
Sebagian besar tempat kelapa sawit ini tumbuh sebelumnya adalah lahan gambut, yang dikeringkan untuk perkebunan dengan cara termurah dan tercepat: pembakaran dan pengeringan ilegal.
Praktik ini telah memicu kebakaran-kebakaran terburuk dalam sejarah, menciptakan kabut asap yang begitu besar sampai menyebar ke negara-negara tetangga. Dan dapat menghasilkan karbon dioksida dengan jumlah lebih besar daripada yang diproduksi seluruh Amerika Serikat.
Woro Supartinah dari Jaringan Penyelamatan Hutan Riau, lembaga swadaya masyarakat yang melacak kebakaran dan penebangan hutan melalui data satelit dan pemantauan komunitas.
“Lahan gambut kering telah menjadi bahan bakar untuk pemicu kebakaran hutan. Provinsi Riau telah kehilangan sekitar 5 juta hektar hutan alami. Sekarang, saat ini kita hanya memiliki 1,6 juta hektar hutan alami dari 7 juta yang kita miliki pada akhir 1980-an,” ujarnya.
Namun untuk pertama kalinya, pengaturan perkebunan telah menghentikan kebakaran, ujar Edwar Sanger, kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Riau.
“[Bahkan] jika ada dampak El Nino [tahun ini], kita sudah berkomitmen bahwa apa yang terjadi pada beberapa tahun terakhir tidak akan terjadi lagi,” ujar Edwar.
Dahlan telah bekerja dengan pemerintah untuk meminimalisir dampak lingkungan perkebunan kelapa sawit seluas 1.000 hektar milik komunitasnya di desa Dosan.
Dengan memblok kanal-kanal yang sebelumnya digunakan untuk mengeringkan perkebunan. Mereka dapat menumbuhkan kelapa sawit dengan menjaga kelembaban lahan untuk meminimalisir risiko kebakaran.
“Selama kita berkebun kelapa sawit di desa ini, hal itu masih baru. Kita tidak tahu betapa besarnya dampaknya. Kita baru menyadari dampaknya sekarang,” ujar Dahlan.
Komunitas desa ini memiliki petugas pemadam kebakaran sendiri. Dan untuk generasi mendatang, mereka mengubah ranting kelapa sawit menjadi kompos untuk memulihkan lahan.
Komunitas-komunitas lain di Riau sedang bereksperimen dengan strategi-strategi serupa dan bahkan mengurangi lahan kelapa sawit untuk bercocok tanam palawija.
Upaya-upaya ini akan teruji pada musim kebakaran terburuk yang diperkirakan akan segera terjadi. [hd/voa]