MEDIASULSEL.com – Pernyataan Direktur Reserse Kriminal Umum, Polda Sulsel, Kombes Erwin yang menyatakan, bahwa kasus yang telah di SP3-kan, dapat dibuka kembali setelah melalui proses preperadilan. Hal itu, dinilai keliru oleh Kabid Humas Polda Sulsel, Kombes Frans Barung Mangera.
Karena menurut Frans Barung, tanpa melalui proses praperadilan, kasus dapat dibuka kembali oleh polisi, jika penyidik menemukan bukti- bukti baru, sementara praperadilan adalah bukti masyarakat tak percaya dengan kinerja penyidik dalam menangani kasus yang dilaporkan.
“Tanpa praperadilan juga bisa dibuka, jika ada bukti baru penyidik bisa membuka kasus itu tapi itupun jika penyidik mau profesional atau sungguh-sungguh tidak setengah hati,” terang Frans.
Kasus dugaan pemalsuan yang dilaporkan Pelindo IV Makassar, merupakan salah satu kasus yang masuk target tim satgas bersama anti pungli Polda Sulsel. Dimana kasus tersebut diduga kuat adanya pungli yang dilakukan sejumlah oknum di Dit Reskrimum, sehingga diam-diam kasus tersebut dihentikan sepihak sesuai dengan beredarnya surat penetapan penghentian penyidikan yang dikeluarkan Dit Reskrimum Polda Sulsel bernomor polisi S/Tap/A.302/69/VI/2015/Dit Reskrimum tanggal 8 Juni 2015.
Sejak kasus tersebut resmi ditingkatkan ke tahap penyidikan dengan menetapkan dua orang bersaudara masing-masing Ince Baharuddin dan Ince Rahmawati sebagai tersangka, tepatnya pada tanggal 27 Juli 2012 dengan dugaan pidana menggunakan surat palsu yakni Pasal 263 ayat (2) KUHPidana. Namun diam-diam penyidik menghentikan penyidikan kasus tersebut tepatnya pada tanggal 8 Juni 2015 silam dengan alasan bukti tak cukup.
Diketahui, dalam kasus dugaan pidana menggunakan surat palsu yang dilaporkan oleh pihak Pelabuhan Indonesia (Pelindo) Makassar ke Direktorat Reserse Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda sulsel sejak tanggal 27 Juli 2012.
Kasus ini bermula sejak adanya proyek pembebasan lahan yang akan dilakukan oleh PT Pelindo Makassar. Dimana kedua tersangka mengajukan berkas agar terkesan sebagai orang yang punya hak untuk mendapatkan ganti rugi atas lahan yang dibebaskan oleh PT Pelindo Makassar tersebut. Berkas-berkas yang diajukan tersebut yaitu surat tanda pendaftaran tanah milik indonesia, simana, riwayat tanah wajib bayar pajak IPEDA, gambar situasi rincik tanah wajib bayar IPEDA.
Namun setelah dilakukan kroscek lebih mendalam oleh pihak Pelindo dimana dari seluruh berkas yang digunakan oleh kedua tersangka terdapat dua berkas yang isinya terdapat dua keterangan yang berbeda dan diduga merupakan surat palsu yakni surat riwayat tanah wajib bayar pajak IPEDA. Dalam surat riwayat tanah wajib bayar pajak IPEDA tersebut menyatakan bahwa Almarhum Ince Muh. Saleh meninggal sekitar tahun 1980an tapi kenyataannya ada surat keterangan warisan yang menyatakan keterangan berbeda dimana dikatakan Almarhumah Ince Kumala bin Ince Muh. Saleh meninggal tahun 2000.
Beberapa surat yang diajukan kedua tersangka awalnya akan dijadikan dasar mengaku sebagai ahli waris untuk menggugat lokasi pembebasan PT Pelindo seluas 60.669 M2. Dari kejadian tersebut, PT Pelindo merasa dirugikan karena lokasi itu memiliki surat-surat kepemilikan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) yang diberikan kepada Pelindo sebagai pengelola lahan dengan nomor sertifikat HPL No. 1/Ujung tanah tahun 1993. Kedua tersangka dijerat Pasal 263 ayat 2 KUHPidana dengan ancaman pidana 6 tahun penjara. (Aks/Ald)