Advertisement - Scroll ke atas
  • Bapenda Makassar
  • Selama Tahun Baru 2025
  • Universitas Diponegoro
  • Media Sulsel
Opini

Konflik antara Penguasa dan Rakyat Rempang

1249
×

Konflik antara Penguasa dan Rakyat Rempang

Sebarkan artikel ini
Konflik antara Penguasa dan Rakyat Rempang
Safni Yunia
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI—Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyatakan ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo akibat proyek strategis nasional (PSN).

Salah satu konflik yang terjadi awal bulan ini, yakni bentrokan yang pecah di Pulau Rempang, Batam. Warga menolak relokasi untuk pembangunan kawasan Rempang Eco-City.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Dilansir dari www.cnnindonesia.com Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang. Warga tak setuju dipindahkan karena telah turun temurun mendiami kawasan tersebut.

PT Makmur Elok Graha (MEG) merupakan anak perusahaan Artha Graha Group yang dimiliki oleh pengusaha Indonesia Tomy Winata. Perusahaan terlibat dalam proyek besar di Rempang, Batam, Kepulauan Riau, dengan perkiraan nilai investasi Rp381 triliun hingga 2080.

Proyek ini bertujuan untuk mengembangkan kawasan Rempang, termasuk Pulau Rempang, Rencana pengembangan tersebut meliputi berbagai fasilitas seperti membangun pabrik, Industri, perdagangan dan hingga wisata. Hal ini jelas sangat mendzolimi rakyat, tanah yang sudah dihuni sejak lama ingin diambil alih.

Kedzaliman terhadap Rakyat

Konflik agraria merupakan konflik yang berhubungan dengan tanah. Dalam hal ini rakyat yang menjadi korban perlakuan sewenang-wenang atau paksaan yang berakhir dengan semburan gas air mata.

Diantara faktor penyebabnya adalah pertama, keuntungan bagi oligarki (kekuasaan berada di tangan segelintir orang). Dalam sistem kapitalisme sekularisme yaitu pemisahan agama dari kehidupan, mengambil hak rakyat tanpa memandang ini mendzolimi atau tidak seolah menjadi wajar demi oligarki.

Kedua, yaitu kita berada dalam sistem demokrasi yaitu sistem pemerintahan yang dibuat oleh manusia yang tidak terikat dengan aturan Islam. Pada kasus ini, aturan berkepemilikan hingga mengambil tanah rakyat menjadi boleh atas nama proyek strategis nasional. Perampasan hak tanah milik rakyat menjadi dalih pembenar bagi penguasa untuk menyediakan kepentingan para oligarki, tanpa berstandar dari syariat Islam.

Ketiga, Negara yang hanya berperan sebagai regulator dan fasilisator yang bekerja sama dengan investor yang mendanai proyek-proyek strategis. Investor ini merupakan pemilik modal.

Inilah dampak dari sistem kapitalisme ketika masih diterapkan. Dampak dari sistem kapitalisme sekularisme ini menyebabkan rakyat menjadi korban. Lalu bagaimana dalam pandangan Islam mengenai problematika ini?

Dalam Aturan Islam

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi –termasuk tanah– hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT (artinya), ”Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24] : 42).

Allah SWT juga berfirman (artinya), ”Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57] : 2).

Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu : Pertama, pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT. Kedua, Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah. Jadi peraturan dan pengelolaan tanah harus ditetapkan berdasarkan Hukum Allah SWT.

Menurut Abdurrahman Al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui:

  1. jual beli,
  2. waris,
  3. hibah,
  4. ihya`ul mawat (menghidupkan tanah mati),
  5. tahjir (membuat batas pada tanah mati),
  6. iqtha` (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51).

Menghidupkan tanah mati yang dimaksud ialah memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan seorang pun, yakni dengan cara menanaminya dengan pohon, bercocok tanam, atau membangun bangunan di atasnya.

Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan tanah pertanian akan hilang jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya. (Al-Nabhani, ibid., hal. 136).

Dalam sistem Islam, negara boleh mengambil tanah rakyat untuk kepentingan dan kemaslahatan umum dengan keridhaan pemilik tanah, jika tidak Ridha, negara tidak boleh menggusur paksa apalagi bertindak sewenang-wenang. Dan ketika pemilik tanah Ridha maka negara dapat memberikan ganti untung yang membuat pemilik tanah tidak mengalami kesusahan.

Keadilan atas kepemilikan tanah hanya bisa dirasakan dalam aturan Islam dalam naungan Khilafah. Dalam sistem Islam, pemimpin negara adalah penguasa yang mengurus urusan rakyat, pelindung rakyat, dan bertanggung jawab penuh sesuai dengan aturan Islam.

 

Wallahu ‘alam bhissawab

 

Penulis

Safni Yunia
Aktivis Muslimah

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!