OPINI – Awal tahun 2020 inginnya kita sambut dengan optimisme kehidupan berbangsa dan bernegara bisa lebih baik. Namun, ternyata rakyat kembali harus dihadapkan pada kenyataan bahwa perilaku para pejabat publik juga belum sembuh dari penyakit korupsinya. Bahkan malah makin menjadi, dengan sejumlah nilai yang fantastis.
Korupsi triliunan rupiah oleh dua perusahaan BUMN, yakni PT Jiwasraya (senilai Rp13,7 T) dan PT Asabri (Rp10 T), jelas sangat melukai hati rakyat yang tetap harus rajin bayar pajak di tengah kesulitan hidup yang mereka hadapi.
Rektor Universitas Ibnu Khaldun, Musni Umar, dalam laman rmoljatim.com, menilai bahwa serangkaian korupsi terjadi di negeri ini sangat menyedihkan dan menyakitkan hati rakyat. Terlebih, korupsi sudah menyentuh ke taraf yang sangat akut.
“Mengerikan sekali korupsi di negara kita. Jiwasraya, Asabri, Pelindo, proyek fiktif di Kemen PUPR, Suap di KPU libatkan partai penguasa, kasus di Garuda,” tulisnya dalam akun twitternya.
Kemudian, kasus korupsi terhangat baru-baru ini, yang melibatkan partai besar penguasa. Yakni Wahyu Setiawan, Komisioner KPU, diduga telah menerima suap dari anggota DPR dari partai yang berkuasa terkait pergantian antar waktu untuk mengganti posisi anggota DPR yang telah meninggal.
Kasus ini jelas mencoreng citra KPU yang mestinya menjadi lembaga yang independen dalam menjalankan pemilu.
Ini jelas menggambarkan kepada rakyat bahwa KPU bisa dibeli. Maka tak salah muncul spekulasi di tengah masyarakat soal legitimasi pilpres lalu, dengan melihat kasus ini. Politik transaksional dengan jelas tercium.
Ustadz Ismail Yusanto, menanggapi berita tersebut, dalam siaran youtube di Khilafah Channel menyatakan bahwa politik hari ini, telah menjadi politik transaksional. Jabatan bahkan Undang-undang ada harganya.
Dari sinilah korupsi berasal, yang melahirkan politik berbiaya tinggi dan seterusnya. Korupsi ini sudah menjadi komplikasi. Sistem hukum yang bukan sistem Islam, ditambah lagi hukum yang bisa diperjualbelikan.
Mengobati penyakit korupsi akut di negeri ini, jelas tak bisa hanya berharap pada KPK yang memiliki fungsi penindakan dan sanksi. Fungsi tersebut hanya ada pada saat korupsi telah terjadi.
Padahal sebuah tindakan kejahatan itu mesti dicegah terlebih dahulu, jikalau kita mampu, agar tidak terjadi. Namun fungsi pencegahan tidak terlalu besar pada lembaga ini.
Persoalan korupsi yang ada sekarang adalah persoalan sistemik, karena telah menjadi arus besar kejahatan yang telah dilakukan massif.
Jadi bukan sekedar kasus penyimpangan yang dilakukan individu, akan tetapi ini menggambarkan buruknya sistem demokrasi pada pemerintahan ini.
Persoalan korupsi adalah persolan cabang yang muncul dari penerapan sistem demokrasi sekuler ini. Sistem sekuler inilah yang telah mewarnai habitat hidup kita, termasuk dalam pemerintahan. Sistem ini meniscayakan penghalalan segala cara menuju tujuan politik.
Maka tak mengherankan para pejabat publik merasa ringan menghalalkan yang haram untuk mencapai tujuannya, seperti korupsi, jual beli jabatan.
Mengambil sistem sekuler demokrasi sebagai sistem kehidupan, mesti ditinjau lagi dengan mengambil sistem kehidupan yang lain. Mengingat bahwa sistem ini ternyata hanya makin merusak tatanan hidup masyarakat.
Sistem hidup kita mestinya harus kembali kepada aturan dari Dzat Yang Maha Pencipta, Allah Swt, yakni sistem Islam. Karena sesungguhnya hanya Allah SWT-lah yang lebih mengetahui hakikat makhluk ciptaanNya.
Islam memiliki caranya sendiri dalam menangani kasus korupsi. Dalam penanganannya, dikembalikan kepada tiga pilar penerapan syariah Islam.
Yang pertama, ketakwaan individu. Bahwa tiap individu didorong untuk berperilaku hanya berdasar dorongan aqidah Islam, membangun keimanan pada dirinya untuk senantiasa menjadi manusia bertakwa, yang takut berbuat dosa dan senantiasa hanya mengharap rahmat dan ridho Allah swt.
Hal ini tentu sulit di negeri sekuler hari ini, tak ada ketakutan manusia untuk berbuat dosa, bahkan bisa jadi lumrah jika dilakukan berjamaah, seperti korupsi.
Ketakwaan individu berupa adanya generasi berkepribadian Islam, dapat terbentuk dari pendidikan dalam keluarga, di sekolah dan juga di masyarakat yang tentu semuanya harus mendukung terbentuknya pemahaman dan perasaan islam.
Pilar kedua, adalah kontrol masyarakat. Ketika pada masyarakat terdapat individu-individu bertakwa, maka ia juga akan menyadari fungsi sosialnya di masyarakat untuk melakukan aktifitas amar ma’ruf nahi munkar, menyeru pada kebaikan mencegah yang munkar. Bentuk kontrol ini dapat dilakukan oleh individu ataupun kelompok seperti partai.
Berbeda partai dalam konteks demokrasi hari ini, partai dalam Islam tidak menjadi bagian dari kekuasaan atau membuat legislasi. Namun memiliki fungsi yang sangat penting dalam melakukan muhasabah lil hukkam, koreksi pada penguasa.
Aktivitas dakwah menyeru pada penguasa, dilakukan semata-mata hanya untuk meraih keridhoan Allah Swt. Dengan demikian, partai dalam Islam lepas daripada kepentingan para penguasa.
Pilar ketiga, adalah kewenangan negara. Negara dengan kekuatan kekuasaan yang dimiliki, mesti mengadopsi sejumlah aturan untuk mengatur masyarakat yang sifatnya mengikat dan memaksa. Dalam Islam, tentu hukum yang diadopsi adalah hukum yang berasal dari Allah Swt, yakni syariat Islam.
Dalam kepemimpinan Islam, sistem/regulasi segala bidang tidak rawan kepentingan sehingga tidak rawan penyalahgunaan wewenang.
Hal ini karena hukum itu harus dikembalikan pada sesuai atau tidaknya dengan aturan Allah swt, syariah Islam. Ketika terjadi penyimpangan hukum Allah swt, seketika itu juga mesti dikoreksi.
Adapun sanksi bagi pelaku korupsi, negara menetapkan hukuman yang keras dan tegas sebagai upaya kuratif. Terdapat perbedaan ijtihad di kalangan para ulama, terkait bentuk hukuman yang diberlakukan. Hukuman itu di antaranya penyitaan harta, kurungan, hingga hukuman mati.
Namun, uniknya fungsi sanksi dalam islam ada dua, yakni pencegahan (jawazir), dan penebus (jawabir). Sebagai pencegahan, bahwa sanksi yang diberlakukan akan memberikan ketakutan bagi masyarakat untuk melakukan penyimpangan hukum syariah. Sebagai penebus, bahwa sanksi yang telah didapatkan di dunia, maka akan meringankan siksa di akhirat.
Demikianlah sistem Islam melakukan pemberantasan korupsi dengan tuntas. Sebagai sebuah ideologi kehiduoan, Islam memiliki aturan yang lengkap dan efektif dalam menangani masalah tindak pidana korupsi, penyelesaian masalah yang berangkat dari akar hingga cabangnya. Wallahu ‘alam bisshawab. [*]