Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Kritik Berujung Ancaman?

2170
×

Kritik Berujung Ancaman?

Bagikan berita ini
Kritik Berujung Ancaman?
Yuni Damayanti

OPINI—Belakangan ini viral kritikan pedas Tik Toker Bima alias Bima Yudho Saputro pemilik akun Tik Tok @awbimaxreborn, yang mengunggah video berisikan kritikan pedas terhadap kampung halamanya, yang di nilai tidak maju-maju karena dugaan pemerintah yang korup.

Dalam beberapa unggahan vidionya, Bima menyampaikan kekecewaan terhadap kondisi di Lampung yang menurutnya tidak mengalami kemajuan. Mulai dari persoalan infrastruktur yang bobrok seperti jalanan rusak, proyek Kota Baru Lampung yang mangkrak, tata kelola birokrasi, pertanian hingga kecurangan dalam sistem pendidikan.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Akibat dari kritiknya tersebut, Advokat di Lampung, Gindha Ansori Wayka melaporkan ke pihak kepolisian atas tuntutan menyebar berita hoaks tentang Lampung. Dalam keteranganya, Ginda mengatakan alasan pelaporanya adalah penggunaan diksi ‘dajjal’. “Silahkan kritiktapi pilihan katanya (diksinya) harus dipilih agar tidak salah,” kata Ginda. (Republika,15/04/2023).

Berbanding terbalik dari reaksi Ginda dalam merespon video kritikan Bima, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung menyatakan siap memberikan pendampingan hukum terhadap Bima yang dituntut karena mengkritik Pemprop Lampung.

Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jawardi menjelaskan, kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi. Negara, wajib untuk memenuhi dan melindungi hak tersebut.

“Kebebasan itu tercantum dalam dalam Pasal 28 dan apasal 28E ayat (3) UUD RI Tahun 1945 yang menyatakan, setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat,” paparnya.

Sementara, Ketua Aji Bandar Lampung, Dian Wahyu Kusuma mengatakan beberapa tahun terakhir, UU ITE memang menjadi celah penguasa untuk mengkriminalisasi dan membungkam orang yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah, (cnnindonesia, 15/04/2023).

Ada yang keliru dengan pemimpin di negeri ini, sangat sensitif terhadap kritikan rakyat, padahal jelas dalam sistem pemerintahan demokrasi menjunjung tinggi kebebsasan Hak Asasi Manusia (HAM), rupanya kebebasan itu bukan untuk rakyat.

Hal ini menunjukkan adanya penguasa anti kritik. Realitas ini sebenarnya sudah lama muncul di negeri ini, yang tergambar dari pengesahan UU ITE, yang sering dijadikan alat untuk membungkam pengkritik dan menguatkan arogansi penguasa, miris.

Kritik yang membangun sejatinya sangat dibutuhkan oleh penguasa dan ini merupakan mekanisme kontrol masyarakat, terlebih bagi penguasa yang mendapatkan amanah mengurus rakyat. Bukan sebaliknya merasa terancam jika ada rakyat yang kritis mengkritik kinerja penguasa.

Merasa kekuasaanya terancam maka pengkritik dan keluarganya pun di intervensi atau bahkan mungkin berujung dijebloskan di hotel Prodeo. Cara seperti ini ampuh untuk membungkam orang yang kritis.

Penguasa yang diberi amanah mengurusi umat memiliki tanggungjawab besar terhadap apa yang dipimpinya. Itulah sebabnya orang yang beriman dan menyadari tugas kepemimpinan itu amat berat pertanggungjawabanya akan berusaha memberikan yang terbaik untuk umat yang dipimpinya, membuka pintu muhasabah dari rakyatnya dan siap menerima dengan lapang dada jika kritikan yang disampaikan rakyatnya itu benar bukan sibuk membela diri. Hal ini pernah terjadi dimasa kepemimpinan Umar bin Khatab.

Suatu saat Umar bin Al-Khaththab menerima laporan bahwa kaum perempuan menetapkan mahar yang terlalu mahal dan menentukan batas-batasnya. Menimbang hal itu akan berdampak buruk terhadap masyarakat, sang khalifah kemudian bermaksud menghentikan perilaku masyarakat yang demikian itu. Dia pun menggelar suatu pertemuan yang juga dihadiri kaum perempuan.

Sang khalifah pun berpidato di atas mimbar, “Mengapa kalian memperbanyak pemberian mahar kepada kaum perempuan? Padahal, pada masa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakar Siddiq mahar hanya empat ratus dirham ke bawah. Andaikan memperbanyak mahar itu termasuk perbuatan takwa di sisi Allah dan merupakan kemuliaan, niscaya kalian tidak akan mampu mengungguli itu.”

Akhirnya Umar memutuskan untuk membatasi mahar. Beliau membatasi jumlah maksimal agar para wanita di zaman itu tidak berlebih-lebihan dalam meminta mahar hingga menyusahkan kaum Muslimin yang hendak menikah, sementara kemampuan ekonominya rendah.

Dalam kebijakan tersebut, Umar menetapkan bahwa mahar maksimal yang boleh diminta oleh seorang Muslimah adalah empat ratus dirham. Jika melebihi angka tersebut, Umar akan menganulir pernikahan yang terjadi.

Meski niat Umar sangat mulia, ternyata beliau keliru. Uniknya, kekeliruan tersebut langsung diketahui oleh salah satu rakyatnya.

“Wahai Amirul Mukminin tidakkah engkau mengetahui Firman Allah Ta’ala, ‘Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (QS. An-Nisaa’: 20),” ucap seorang perempuan Quraisy dengan percaya diri.

“Perempuan itu benar dan “Umar salah. Ya Allah, ampunilah aku. Setiap orang lebih pintar dari ‘Umar,” keluh sang khalifah yang mendapat gelar “Al-Faruq” karena keislamannya merupakan pembatas antara seruan Islam secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan.

Umar bin Al-Khaththab kemudian naik kembali ke atas mimbar dan berpidato, “Wahai manusia! Tadi aku melarang kalian memperbanyak pemberian mahar kepada kaum perempuan lebih dari empat ratus dirham. Tapi, kini, barang siapa berkehendak memberikan lebih dari hartanya, silahkan. Demikianlah seyogianya sikap seorang pemimpin mau mendengar kritikan, wallahu a’lam bisshowab. (*)

 

Penulis: Yuni Damayanti (Freelance Writer)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.