OPINI—Dalam perkembangan teknologi, industrialisasi dan pembangunan infrastruktur yang harusnya dapat memudahkan kehidupan manusia saat ini, nyatanya belum mampu mengatasi permasalahan kemiskinan. Bahkan kemiskinan masih menjadi masalah kronis yang menghantam kehidupan manusia, bukan hanya dewasa, tapi anak-anak pun terkena imbasnya.
Sedikitnya 1,4 miliar anak di seluruh dunia hidup tanpa perlindungan sosial, berdasarkan data PBB dan badan amal Inggris Save the Children. Hingga akhirnya anak-anak rentan terpapar penyakit, gizi buruk, dan kemiskinan.
Direktur Global Kebijakan Sosial dan Perlindungan Sosial UNICEF Natalia Winder Rossi mengatakan bahwa secara global, terdapat 333 juta anak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, berjuang untuk bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari 2,15 dolar AS (Rp33.565) per hari, dan hampir satu miliar anak hidup dalam kemiskinan multidimensi. (m.antaranews.com 15/02/2024)
Di Indonesia sendiri, angka kemiskinan termasuk tinggi dengan jumlah penduduk miskin mencapai 25,90 juta orang per Maret 2023 (9,36% dari jumlah penduduk Indonesia). Tercatat tingkat pengangguran Indonesia mendapat peringkat tertinggi ke-2 di ASEAN.
Padahal Indonesia adalah negeri dengan julukan Zamrud Khatulistiwa. Namun, hidup di negeri ini nyatanya tidak seindah yang dibayangkan. Betapa hal ini menunjukkan masa depan generasi terancam terpuruk dalam dekapan kapitalisme.
Keserakahan Sistem Kapitalisme Membahayakan Masa Depan Generasi
Fenomena tingginya angka kemiskinan yang dihadapi berbagai negara di dunia saat ini, termasuk Indonesia, sejatinya menunjukan kegagalan sistem kapitalisme sekular dalam memenuhi hak-hak ekonomi rakyat.
Dalam sistem kapitalisme, negara hadir hanya sebagai regulator dan fasilitator bukan murni untuk melayani kepentingan rakyat. Pasalnya sistem ini telah melahirkan negara korporasi yang terbentuk dari simbiosis mutualisme antara elit politik dan pemilik modal.
Di Indonesia sendiri terlihat bagaimana lebih dari 80% migas justru dikuasai perusahaan asing. Begitu pula sumber daya alam lainnya yang pengaturannya pun diserahkan pada pihak swasta dan asing.
Padahal seharusnya sumber daya itu dapat diakses oleh rakyat dan pengelolaannya dilakukan langsung oleh negara. Hingga hasilnya bisa langsung diperoleh dan dinikmati rakyat dalam bentuk distribusi langsung ataupun tidak langsung.
Mirisnya sumber daya melimpah ini justru mengalir hanya kepada segelintir golongan saja disebabkan privatisasi. Inilah yang mendorong angka kemiskinan terus meningkat, kriminalitas, bahkan korupsi oleh tikus berdasi pun tak terhindarkan.
Fakta kesenjangan dan konflik sosial ditengah-tengah masyarakat pun meningkat. Maka wajar saja jika istilah “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin” seakan menjadi hal yang tak terelakkan dalam penerapan kapitalisme sekular.
Sistem Kapitalisme meniscayakan si kaya dengan mudah memenuhi kebutuhannya, bahkan mampu menguasai pasar dan perdagangan.
Sementara rakyat miskin terseok-seok dalam menghadapi kondisi ekonomi yang bergerak fluktuatif, terutama saat terjadi kebaikanaikan harga barang.
Rakyat miskin akan kehilangan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya, kesulitan membayar layanan kesehatan, pendidikan, dan lainnya karena harganya makin mahal.
Imbauan untuk memperkuat jaring pengaman sosial kepada penduduk miskin dengan bantuan yang dibutuhkan menjadi solusi yang ditawarkan.
Namun, benarkan perlindungan dan bantuan sosial yang ditawarkan sistem ini mampu mengatasi kemiskinan dan memberikan masa depan yang gemilang untuk generasi?
Pada faktanya program ini telah mengalami kegagalan sebab ia hanyalah solusi tambal sulam. Pun jika dicermati, kemiskinan ekstrem, gizi buruk, hingga kelaparan yang dihadapi anak-anak dan masyarakat pada umumnya, bukan karena rendah atau tingginya cakupan tunjangan atau bansos yang diberikan.
Melainkan lebih kepada penerapan sistem kapitalisme secara global yang menyebabkan suatu negeri salah urus hingga mengakibatkan kemiskinan sistemis terjadi dalam kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, masa depan generasi tidak lagi bisa diserahkan dalam pengurusan Kapitalisme.
Islam Menyelamatkan Generasi
Pada hakikatnya, kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan primer manusia berupa sandang, pangan, dan papan. Maka, hadirnya negara dalam pandangan Islam harus memastikan kebutuhan primer setiap individu rakyatnya terpenuhi dan mereka dapat hidup dalam kesejahteraan.
Di antara mekanisme Islam menyelesaikan masalah kemiskinan adalah sebagai berikut:
Pertama, negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan primer dengan menerapkan kebijakan laki-laki wajib menafkahi diri dan keluarganya. Karenanya negara wajib memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Selain itu negara mewajibkan kerabat dekat untuk membantu jika kepala keluarga terhalang mencari nafkah. Jika seseorang tidak memiliki kerabat atau memiliki kerabat tetapi tidak mampu maka pihak yang berkewajiban memberinya nafkah adalah baitulmal (kas negara). Kewajiban nafkah beralih ke kaum muslimin secara keseluruhan jika kas negara kosong.
Kedua, negara memastikan pembagian kepemilikan sesuai dengan Islam. Islam telah membagi aspek kepemilikan menjadi tiga yakni individu, umum, dan negara. Kepemilikan individu memungkinkan siapa pun mencari harta dengan cara yang dibolehkan syariat untuk memenuhi kebutuhannya.
Sedangkan kepemilikan umum adalah pemanfaatan benda atau barang secara bersama-sama oleh masyarakat seperti fasilitas umum, jalan, barang tambang, sungai, laut, hutan, listrik, dsb. Negara wajib mengelola harta milik umum secara mandiri dan pemilikannya tidak boleh diserahkan pada swasta, individu, apalagi pihak asing.
Hasil pengelolaan yang telah dilakukan negara akan dikembalikan pada rakyat untuk memenuhi segala kebutuhan hidup mereka. Adapun kepemilikan negara seperti harta fai’, kharaj, jizyah, dsb., yang ditampung dalam baitul mal merupakan hak seluruh rakyat yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala negara.
Ketiga, negara menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif dengan menjalankan sistem administrasi birokrasi yang mudah, cepat dan tanpa pungutan biaya, memberikan bantuan teknik, informasi dan modal untuk rayat yang membutuhkan dan mampu bekerja.
Keempat, negara hanya melakukan pembangunan ekonomi yang bertumpu pada sektor riil, bukan nonriil. Sehingga harta berputar dan berdampak pada perekonomian riil.
Sungguh dengan menerapkan sistem Islam, ancaman kemiskinan yang menghantui dan membahayakan masa depan generasi dapat teratasi. Tidak akan lagi ada istilah “yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin” sebab dalam sistem Islam terdapat perintah dan anjuran agar harta kekayaan tidak beredar di kalangan orang-orang kaya saja.
Selain negara yang berkomitmen menerapkan hukum Islam, dorongan ketakwaan individu pun akan menjadi kontrol sosial dan menciptakan kehidupan yang harmonis diantara masyarakat. Wallahu’alam biashawab. (*)
Penulis:
Jumriah, S.Pd
(Aktivis Muslimah)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.