Advertisement - Scroll ke atas
  • Idulfitri 1446 H
  • Pemkab Sidrap
  • Pemkab Sidrap
  • Pemkab Maros
  • Universitas Dipa Makassar
  • Media Sulsel
Opini

Menanti Kebijakan Lockdown, Mungkinkah?

438
×

Menanti Kebijakan Lockdown, Mungkinkah?

Sebarkan artikel ini
Menanti Kebijakan Lockdown, Mungkinkah?
Yuni Damayanti (Pemerhati Sosial Asal Kabupaten Konawe, Sultra).
  • DPRD Kota Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI – Pemerintah belum berencana mengambil langkah karantina total atau lockdwon. Tim pakar gugus tugas penanganan virus corona atau covid-19, Wiku Adisasmito, mengatakan langkah pembatasan ini bisa berpengaruh besar terhadap roda perekonomian rakyat. Oleh karena itu kebijakan itu blm bisa diambil pada saat ini.

Wiku mengatakan masyarakat seharusnya sudah paham bahwa indonesia memiliki pekerja lapangan yang tinggi. Mereka hidup dari menggunakan upah harian.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Karena itu sistem lockdown jika diterapkan akan sangat berpengaruh pada mereka. Presiden Jokowi sebelumnya mengatakan langkah ini bukan hanya berlaku di tingkat pusat, namun juga di daerah (Tempo.co, 18/03/2020).

Desakan untuk melakukan karantina wilayah atau lockdwon untuk menekan angka persebaran corona atau covid-19 sudah datang dari berbagai pihak, termasuk mantan Presiden Jusuf kalla.

Selain itu, opsi ini juga datang dari Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PB PAPDI).

Dalam surat pada tanggal 14 Maret 2020 lalu, PA PAPDI meminta ikatan dokter Indonesia (IDI) merekomendasikan kepada pemerintah untuk melakukan karantina wilayah di daerah yang telah terjangkit Covid-19.

Tindakan itu dinilai penting untuk meningkatkan kecepatan dalam membatasi penyebaran Covid-19. Per tanggal 27 Maret 2020 pukul 12.00 WIB, total kasus positif di Indonesia ada 1.046 orang, dengan jumlah kematian 87 orang atau setara 8,3 persen dari total yang dirawat. (Sumber: covid19.go.id)

Sementara di Jakarta Per tanggal 27 Maret 2020, ada 524 pasien positif Covid-19 di Jakarta yang tersebar di lebih dari separuh total jumlah kelurahan di DKI Jakarta, menurut laman corona.jakarta.go.id.

Data ini menunjukan bahwa Jakarta episentrum penyebaran corona. Pemprov DKI tahu betul soal itu, dan tampaknya berupaya melakukan hal-hal yang mengarah ke lockdwon untuk menanganinya

Walau desakan untuk lockdwon telah datang dari berbagai pihak tetap saja pemerintah enggan melakukanya dengan alasan ekonomi. Padahal tanpa lockdwon pun saat ini covid-19 telah memukul perekonomian Indonesia.

Nilai tukar rupiah, misalnya sudah melemah di angka hampir 16 ribu. Sementara IHSG anjlok mencapai 5 persen dan membuat Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan pembekuan sementara, (tranding halt) Kamis 19/03/2020 pukul 09. 137.18 waktu JATS (Tirto.id, 20/03/2020).

Lockdwon memang membutuhkan persiapan matang bagi pemerintah. Salah satu bekal penting yang wajib disiapkan pemerintah adalah terkait stok pangan.

Namun, bukan hanya menjamin ketersediaannya saja, juga harus mampu menjamin keterjangkauan dari aspek harga dan juga aksesnya.

Agar jaminan ketersediaan pangan, keterjangkauan harga dan akses itu tetap aman, pemerintah diminta mampu memetakan secara akurat stok pangan dan memprioritaskannya kepada wilayah paling rentan seperti Jabodetabek. Selain itu, pemerintah wajib menyajikan data lebih transparan kepada publik.

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra P.G Talattov, sebenarnya tunjangan sebesar Rp200.000 per keluarga tidaklah cukup untuk menanggung kebutuhan hidup sebuah keluarga. Apalagi jatah itu diberikan untuk memenuhi kebutuhan 1 bulan lamanya.

Menurut Abra, dalam APBN 2020 untuk bantuan sosial pemerintah memang hanya menyiapkan dana sebesar 6% dari total belanja pemerintah. Sehingga, tidak heran bila yang mampu dikeluarkan pemerintah turut terbatas.

Untuk itu, pemerintah penting untuk melakukan relokasi dari belanja-belanja lain seperti relokasi belanja perjalanan dinas.

Pun Abra mengatakan bahwa belanja perjalanan dinas nilainya cukup besar sekitar Rp43 triliun, jadi kalau itu diambil 50% saja sekitar Rp20 triliunan untuk menjadi belanja bansos masyarakat menengah ke bawah dan masyarakat pekerja informal, pasti bisa saja cukup (Detik.com, 24/03/2020).

Sayangnya, pemerintah tidak cukup memiliki dana untuk menanggung kebutuhan pangan rakyatnya. Hal ini terbukti dengan hanya menyiapkan anggaran 6 persen untuk bantuan sosial dari total belanja pemerintah dalam APBN 2020.

Sungguh miris nasib rakyat negeri ini, tidak ada tempat untuk mengadukan nasibnya, sebab pertimbangan ekonomi mampu mengalahkan keselamatan jiwa. Padahal ini urusan kemanusiaan yang seharusnya di atas segalanya.

Inilah bukti yang menunjukkan bahwa pemerintah lebih memikirkan untung rugi bisnis dibandingkan total perlindungan terhadap rakyat, sehingga apapun yang terjadi dianggap tidak urgen untuk segera diatasi selama bisnis untuk meraup banyak keuntungan bisa berjalan dengan baik.

Ketika materi yang menjadi tujuan utamanya, maka nyawa dan perlindungan hidup warga negara tidak begitu penting, dibanding upaya penyelamatan bisnis yang sudah terlanjur berjalan separuh jalan, demi menyelamatkan “ekonomi negeri”.

Inilah yang terjadi di dalam negara yang menganut paham negara korporatokrasi. Hal ini juga menunjukan jika sistem kapitalisme yang telah membentuk individu-individu egois yang hanya memikirkan kepentingan diri dan golongannya saja.

Sungguh, berbeda dengan sistem Islam. Sosok pemimpin adalah sosok yang sangat peduli dengan keselamatan warga negaranya. Semua upaya akan dilakukan agar warganya yang dipimpinnya sehat selamat bahagia. Walaupun harus dibayar mahal

Pemimpin dalam Islam akan sangat menjaga kehidupan rakyatnya, sebab harga nyawa dalam sistem Islam sangat tinggi, tidak bisa dibandingkan dengan apapun.

Maka membiarkan warga negara melakukan perjalanan ke tempat atau negeri yang sedang terjangkiti wabah mematikan yaitu virus corona adalah langkah yang tidak tepat dan juga tidak ekonomis yang bisa berpotensi pada terjadinya krisis ekonomi.

Sebab jika tidak ada upaya sungguh-sungguh dalam mencegah penularan virus corona dengan segera mengevakuasi warga negaranya dan melakukan pelarangan masuk ke negeri yang sedang terjangkiti wabah penyakit, maka bersiaplah mengeluarkan biaya yang lebih mahal akibat potensi penularan virus di dalam negeri kepada warga masyarakatnya.

Pemimpin yang benar-benar melindungi rakyaknya dan sangat menjaga kehidupan rakyatnya sulit ditemukan selama sistem yang diterapkan sistem kapitalisme.

Sebab, dalam sistem ini hanya berhasil mencetak banyak pemimpin yang minim kepeduliannya terhadap rakyatnya. Mengambil apa-apa yang mereka sukai sekalipun menabrak koridor hukum syara’. Tanpa mereka sadari bahwa jabatan yang mereka duduki semua akan dimintai pertanggugjawaban di ahirat kelak oleh Allah swt.

Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 49 Allah berfirman yang artinya, “Dan hendaklah kamu berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah terhadap mereka jangan sampai mereka memperdayaimu atas sebagian yang Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling dari hukum yang Allah turunkan, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menumpahkan musibah kepada mereka karena dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”.

Oleh karena itu, dari virus corona, Allah memberikan peringatan kepada manusia agar jangan menjadi manusia yang angkuh atau sombong dengan mencampakkan aturan-aturan-Nya.

Jika Dia sudah berkehendak, maka manusia tak mampu menolaknya. Dalam islam pun untuk menyelamatkan nyawa rakyatnya, pemimpin akan melakukan lockdown dengan mengerahkan seluruh sumber daya, potensi negara dan umat.

Karenanya sulit mengurangi wabah virus tersebut, jika kurangnya kerjasama dari masyarakat, terlebih pihak-pihak yang berwenang dalam mengambil keputusan bagi rakyatnya. Wallahu a’lam bi ash-shawab. (*)

Penulis: Yuni Damayanti (Pemerhati Sosial/Konawe, Sultra)

error: Content is protected !!