OPINI—Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100% baru berjalan beberapa bulan, namun kini aturan tersebut tengah berada di persimpangan jalan. Pasalnya, kasus Covid-19 varian Omicron di Indonesia kian meningkat dan sekolah menjadi kluster baru dari infeksi tersebut, sehingga beberapa pemerintah daerah menginginkan aturan PTM 100% dihentikan dan meminta agar kembali diterapkan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di sekolah-sekolah.
Namun, keinginan tersebut ditolak oleh pemerintah pusat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) empat Menteri dan juga dari orang tua siswa. Pemerintah justru memberi dua opsi yaitu PTM 50% bagi wilayah dengan PPKM Level satu dan dua, dan atau boleh Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) bagi wilayah dengan kasus infeksi tinggi.
Sedangkan orang tua murid kebanyakan menginginkan tetap dilakukan PTM 100 persen namun protokol kesehatan lebih di perketat lagi di sekolah.
Alasannya, karena para orang tua merasa kesulitan membagi waktu untuk mendampingi anak-anak ketika melakukan pembelajaran secara daring, dan juga anak-anak lebih dapat memahami pelajaran saat di sekolah bersama guru dari pada orang tua.
Dilansir dari laman Kompas.com pada Jumat (04/2), Suharti Sekretaris Jenderal (Sesjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) mengungkapkan bahwa bagi daerah PPKM level dua yang siap melaksanakan PTM terbatas sesuai SKB empat Menteri dan tingkat penyebaran Covid-19-nya terkendali, sekolah-sekolah di daerah tersebut tetap dapat melaksanakan PTM terbatas dengan kapasitas siswa 100 persen, serta dengan kondisi saat ini, orang tua boleh menentukan anaknya mengikuti PTM terbatas atau mengikuti pembelajaran jarak jauh lagi.
Kendati demikian, pemerintah daerah di beberapa daerah dengan kasus infeksi rendah ada yang melanggar aturan tersebut dengan menghentikan PTM dan lebih memilih melakukan PJJ karena khawatir akan kesehatan dan keselamatan para siswa, seperti Tangerang, Bogor, dan Bekasi (Kompas.com, 2/2/2022)
Sekelumit sikap pro dan kontra diatas menunjukkan bahwa solusi yang diberikan pemerintah terkait skema pembelajaran siswa di masa pandemi ini belum mampu menyelesaikan permasalahan. Pemerintah malah memberi opsi-opsi skema pembelajaran yang justru semakin menimbulkan ambiguitas di lapangan.
Aturan yang dibuat kembali lagi merujuk pada kondisi daerah masing-masing, padahal pergerakan virus Covid-19 cepat menyebar, sehingga akan sangat mungkin menginfeksi daerah-daerah lain.
Bila kebijakan dari pemerintah bersifat skeptis begini, maka keselamatan dan kesehatan para siswa bisa terancam, apalagi siswa tingkat Sekolah Dasar yang notabenenya belum mampu sekali dalam memahami pentingnya menjaga protokol kesehatan. Sedangkan vaksinasi untuk anak-anak usia sekolah dasar juga belum memenuhi target, artinya masih banyak yang belum mendapatkan vaksin.
Hal ini mencerminkan pemerintah saat ini yang telah mengadopsi sistem kapitalisme yang barometernya materi, untung dan rugi. Dalam keadaan darurat kesehatan seperti saat ini, pemerintahan yang mengadopsi sistem ini akan mengesampingkan aspek kesehatan masyarakat dan akan menonjolkan aspek pergerakan ekonomi.
Sehingga walaupun kasus infeksi Covid-19 terus meningkat, namun pemerintah enggan menghentikan pergerakan masyarakat karena akan berimbas juga pada terhambatnya pergerakan ekonomi.
Padahal bila pergerakan masyarakat tidak dihentikan, maka penyebaran infeksi juga akan semakin luas, pada akhirnya juga akan mempengaruhi pergerakan ekonomi, karena sejatinya yang menggerakkan roda ekonomi adalah masyarakat. Sejak awal pemerintah sudah menunjukkan rasa ‘takut’ untuk menghentikan kegiatan masyarakat, karena pemerintah enggan memenuhi setiap kebutuhan masyarakat apabila dilakukan lockdown.
Pemerintah justru mendoktrin masyarakat dengan herd immunity. Bukankah ini bentuk sikap pemerintah yang lepas tangan terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat terutama para siswa di lingkungan sekolah?. Sekali lagi, inilah akibat dari pengadopsian sistem kapitalisme oleh pemerintah di negeri ini.
Berbeda dengan Islam dalam menangani pandemi dan skema pembelajaran di masa pandemi. Menyoal pandemi Islam memiliki solusi yang preventif dan kuratif.
Adapun solusi preventif yang akan dilakukan adalah ketika suatu wabah penyakit masuk di suatu wilayah maka Islam memerintahkan untuk melakukan lockdown total yakni masyarakat yang berada dalam wilayah wabah tidak boleh keluar wilayah, sedangkan wilayah yang tidak terkena wabah tidak boleh mendatangi wilayah wabah.
Seperti yang terdapat pada hadist Rasulullah yaitu “Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam hal ini negara wajib memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat di wilayah lockdown sepenuhnya, baik kebutuhan pangan, obat-obatan dan pelayanan terkait. Untuk wilayah yang bebas wabah maka tetap dapat melakukan aktivitas seperti biasa, sehingga baik kegiatan ekonomi maupun pendidikan tetap berjalan dengan baik. Sehingga ekonomi tidak mati dan negara hanya perlu menerapkan PJJ di wilayah yang terkena wabah saja.
Adapun solusi kuratif yaitu negara bersama para pakar kesehatan, baik dokter ataupun farmasi akan melakukan riset untuk menemukan anti-bodi atau vaksin untuk menangkal wabah penyakit. Tentu para dokter dan farmasi yang berada di luar wilayah wabah akan optimal melakukan riset, karena penyebarannya tidak keluar daerah, sehingga fokus para dokter akan maksimal.
Solusi ini sebenarnya sederhana, bila negara memahami perannya sebagai pelindung dan pelayan masyarakat sebagaimana negara dalam Sistem Islam. Namun dalam sistem kapitalisme solusi seperti ini tentu terlihat sulit dilakukan karena legitimasi dalam sistem kapitalisme adalah loss and profit (untung-rugi). Allahu’alam Bisbshawab. (*)
Penulis: Vindy W. Maramis, S.S (Pegiat Literasi Islam, Aktivis Dakwah Medan, Alumni Sastra Inggris, UISU)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.