MAKASSAR—Transaksi keuangan digital semakin mengambil peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Terkhusus di masa pandemi Covid-19. Uang tunai hingga pembayaran berbasis kartu cip perlahan akan ditinggalkan.
Demikian seperti disampaikan Yuswohady selaku Managing Partner Inventure sekaligus Pengamat Bisnis dan Pemasaran saat menjadi narasumber dalam webinar bertajuk Millenials Cashless Habits yang diselenggarakan Radio Smartfm Makassar bersama OJK dan OVO, Rabu (27/1/21).
Yuswohady memprediksi, milenial bak pembunuh berdarah dingin di era sekarang. Mereka mendominasi segala sektor mulai industri, produk, dan bisnis. Mau tak mau, semuanya harus beradaptasi dengan gaya hidup kaum milenial. Termasuk salah satunya cara pembayaran cashless atau dengan scan QR Code.
“Milenial enggan menggunakan kartu. Kenapa? semuanya ada di smartphone. Menurut mereka, pakai kartu itu cirinya generasi kolonial. Dengan adanya pandemi, ‘pembunuhan’ itu makin kencang,” ujar Yuswohady.
Menurutnya, pandemi menjadi katalis bagi konsumen untuk bermigrasi ke ranah digital. Ia menyebutnya low touch ekonomi yang didalam terdapat lima fenomena yakni go virtual, go digiwhere, go contactless, go omni dan go confidential.
Hasil riset Inventure dan Alvara menunjukkan, sebanyak 63 persen responden setuju, pembayaran cashless, cardless dan contactless menjadi prioritas masyarakat saat bertransaksi.
“Dengan munculnya stay at home economy akibat pandemi, maka seluruh aktivitas konsumen kini dilakukan secara digital. Berbelanja, bekerja, berobat, menikmati hiburan, bahkan beribadah,” tuturnya.
Dengan demikian, lanjutnya, penggunaan dompet digital, e-money dan mobile banking akan semakin masif. Bahkan fenomena digitalilasi, kata dia, turut berpengaruh pada dunia perbankan. Kantor cabang yang bertebaran tidak lagi menjadi selling point, malah menjadi beban operasional.
Meskipun begitu, kehadiran kantor fisik tetap akan dibutuhkan untuk mengakomodasi transaksi yang lebih kompleks. Ke depan, model operasional bank akan semakin omnichannel dan less silloed.
Kantor cabang bank lebih difungsikan untuk layanan konsultatif dengan energi utamanya adalah digital.
“Kantor cabang jadi lifestyle center, community space, experince store bahkan cafe bagi nasabahnya,” ujar Yuswohady.
Hal senada disampaikan Kepala OJK Regional 6 Sulampua Muhammad Nurdin Subandi. Ia menuturkan, pergeseran budaya masyarakat yang mulai beralih ke digital berpengaruh pada meningkatnya inklusi keuangan.
Pihaknya mencatat, target inklusi keuangan di 2019 sebesar 75 persen berhasil terlampau. Melihat kondisi itu, Presiden Joko Widodo menaikkan target inklusi Indonesia menjadi di atas 95 persen pada 2024 mendatang.
“Tidak dapat dipungkiri, pandemi covid turut serta mendorong akselerasi digitalisasi sektor keuangan,” sebutnya.
Sebagai tindak lanjut, OJK menetapkan tema prioritas dalam program literasi dan inklusi tahun ini yaitu mewujudkan masyarakat yang lebih cerdas dan inklusif dalam era keuangan digital.
Deputi Direktur Kemitraan Pemerintah Daerah OJK Sulampua, Ahmad Murad menambahkan, per Januari 2019 lalu, pertumbuhan digitalisasi di dunia meningkat jauh lebih besar dari total populasi yang hanya naik 1,1 persen (YoY). Peningkatan mobile social media users, internet users, active social media users, dan unique mobile users berturut-turut mencapai 10%, 9,1%, 9%, dan 2%.
Indonesia memiliki jumlah unique mobile users mencapai 133% dari total populasi. Jumlah internet users di Indonesia yang mencapai 150 juta dengan pertumbuhan 13% yoy.
“Ini merupakan pasar yang besar dan terus bertumbuh untuk potensi pengembangan fintech di Indonesia,” ujar Ahmad Murad.
Ia membeberkan, pandemi membawa dampak besar pada ekonomi digital. Pembayaran digital tumbuh selama pandemi covid-19 sebesar 65% berdasarkan BI juli 2020. Penjualan e-commerce naik 26% dari kuartal II 2019 mencapai Rp34,56 triliun. Penjualan e-retailing dan e-groceries meningkat 69%, serta e-health naik 41%.
Kendati demikian, pihaknya mengingatkan para milenial agar waspada dalam bertransaksi di fintech, khususnya pengajuan pinjaman. Sebab dari data yang ada, fintech lending resmi baru mencapai 148 unit. Sedangkan yang ilegal atau telah dibekukan oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) mencapai 2.591 fintech.
Sementara, Regional Head OVO Kalimantan Sulawesi Imelda Christiana mengakui, cashless menjadi solusi yang sangat dibutuhkan masyarakat saat ini. Mengingat ada banyak permasalahan dalam transaksi konvensional.
“Diantaranya persediaan uang kembalian, pemalsuan uang, uang hilang, hingga antrian panjang setor tunai di bank,” sebut Imelda.
Olehnya itu, pihaknya menawarkan beragam kemudahan untuk pengguna OVO. Terlebih, hampir seluruh lini dari makanan hingga kesehatan menggunakan QR Code sebagai alat pembayaran.
“OVO sendiri sudah terdapat di retail food and beverage, fashion, rumah sakit, bioskop hingga donasi. Ke depan akan ada micro loans dan international and domestic remittance. Pada dasarnya ovo mendukung cashless transaksi,” pungkasnya. (*)