OPINI—Orangtua mana yang tidak kecewa jika di usia senja justru digugat oleh anak kandungnya. Inilah kejadian yang menimpa Hj. Daminah (78 tahun) di Banyuasin, Sumatera Selatan. Ia digugat karena persoalan warisan (newsmaker.tribunnews.com, 23/01). Koswara (85 tahun) di Bandung digugat senilai Rp3 miliar, Dewi Firdauz (52 tahun) digugat karena mobil Fortuner (okezone.com, 26/01).
Ada pula gugatan yang menimpa Ramisah (67 tahun) oleh anak kandungnya dalam sengketa tanah di Kendal, Jawa Tengah (kompas.com, 27/01). Di Belopa, Sulawesi Selatan pertengahan tahun lalu nenek Agustina (77 tahun) digugat 3 anaknya atas tuntutan hak waris (tribunnews.com, 25/06) dan masih banyak lagi kasus serupa di sepanjang tahun 2020 lalu.
Kejadian-kejadian ini mengingatkan kita akan cerita rakyat berjudul Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya hingga dikutuk menjadi batu. Namun nampaknya cerita rakyat ini tidak lagi relevan dengan kehidupan saat ini. Melihat semakin banyak generasi muda yang tidak takut lagi dengan “kutukan” orang tua.
Banyak latar belakang dan dan tujuan yang mendorong anak menuntut orang tua di meja hijau. Masing-masing memiliki pendirian yang berbeda. Ada yang akhirnya diperdamaikan dengan mediasi, namun ada pula yang tetap ngotot dengan tuntutannya, bahkan ada ibu yang akhirnya menuntut anak mengganti rugi ASI yang telah diberikannya (pop.grid.id, 15/08).
Berita seperti ini membuat miris semua pihak. Relasi kasih sayang orang tua dan bakti anak saat ini lebih cenderung hanya dinilai dari untung-rugi yang bersifat materi saja. Inilah bukti nyata rusaknya keluarga akibat adanya ideologi kapitalisme yang menjadikan kepuasan materi sebagai standar, dan mengesampingkan ajaran Islam dalam kehidupan bersama keluarga.
Akar masalah keretakan hubungan kekeluargaan ini tentu saja berawal dari pendidikan yang gagal membentuk generasi berbakti di era milenial saat ini. Pendidikan seharusnya mampu mencetak generasi yang memiliki akhlak mulia dengan memuliakan orang tua. Tapi dalam proses pembelajaran tak sedikit yang terjebak hanya proses transfer materi pelajaran saja.
Terlebih di era pandemi pembelajaran hanya berlangsung secara online, guru tidak mampu memantau secara langsung perilaku siswa, sedangkan orang tua disibukkan dengan aktivitas mencari nafkah karena kebutuhan hidup yang semakin mencekik saat ini. Praktis anak tidak mendapatkan pendidikan yang sempurna agar menjadi generasi bertaqwa.
Pendidikan akhlak dan adab saat ini menjadi hal langka karena memang orientasi hanya fokus mencetak siswa/mahasiswa yang siap kerja dan mampu bersaing di berbagai bidang, akibat mengikuti tuntutan internasional. Konon dalam penelitian profesor Harvard, Indonesia butuh 128 tahun untuk mengejar ketertinggalan kualitas pendidikan dari negara maju (Okezone.com, 02/03).
Ini sangat berbeda dengan konsep pendidikan dalam Islam. Dalam islam pendidikan bukan berorientasi pada persaingan dengan negara lain tetapi bagaimana kemudian mencetak generasi yang berkualitas yakni yang bermental Abdullah dan khalifah fil ardhi, yakni hamba Allah dan pengatur urusan dunia yang handal.
Dua konsep fundamental ini termaktub di dalam Al-Qur’an (lihat Adz-Dzariyat: 56 dan Al Baqarah: 30). Dengan menghamba hanya kepada Allah berarti dia sebagai manusia pasti akan berbakti kepada orangtuanya, karena ini adalah perintah-Nya. Adapun sebagai khalifah fil ardhi, dia tidak akan menuntut orang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Sebab jiwa kepemimpinan ada di dalam dirinya.
Untuk itu, butuh tempaan bertahun-tahun dengan pendidikan islam sejak usia dini hingga dewasa. Jika ada support system; tidak hanya di sekolah yang menerapkan kurikulum Islam, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat islam dan didukung dengan fasilitas dari negara yang berideologi Islam tentu akan lebih mudah membentuk generasi produktif dan berkepribadian Islam yang khas.
Maka dari itu pendidikan Islam dan ideologi Islam tidak bisa dipisahkan. Ideologi islam darurat untuk diterapkan dalam sistem politik, ekonomi, dan semua sendi kehidupan dan menjadi kebutuhan urgen masyarakat. Jangan sampai negara ini mencetak semakin banyak generasi Malin Kundang akibat menerapkan ideologi kapitalisme sekular. Wallahu a’lam. (*)