OPINI – Penistaan agama ialah tindakan penghinaan, penghujatan, atau ketidaksopanan terhadap tokoh-tokoh suci, artefak agama, adat istiadat, dan keyakinan suatu agama (wikipedia).
Penista agama sering terjadi dan terus menerus terulang. Sepanjang tahun 1965-2017, di Indonesia terdapat 97 kasus penista agama.
Pada tahun 2016 kasus yang paling meresahkan masyarakat Indonesia ialah kasus Ahok yang menista agama tentang surah Al-Maidah ayat 51 dan pada tahun 2017 dihukum selama 2 tahun.
Akhir-akhir ini kasus penista agama sering terjadi seperti Youtuber Atta Halilintar dalam vidionya menistakan agama tentang gerakan salat.
Dalam konten tersebut Atta dan adik-adiknya terlihat sedang salat berjamaah dan saling menginjak kaki satu sama lain. Hal itu yang dinilai mempermainkan agama (medcom.id).
Sukmawati Soekarnoputi telah berulang kali melakukan penista agama, pertama kali saat sebuah acara “29 tahun AnneAvantie Berkarya di Indonesia FashionWeek 2018“ dengan puisi bertajuk “Ibu Indonesia”.
Dalam puisi tersebut terdapat bait tentang membandingkan azan dengan kidung dan cadar dengan konde. Kasus kedua di sebuah acara bertajuk “Bangkitkan Nasionalisme Bersama Kita Tangkal Radikalisme dan Berantas Terorisme”.
Sukmawati membandingkan antara Rasulullah dengan Soekarno, dengan mengatakan “mana lebih bagus Pancasila sama Alquran? Gitukan. Sekarang saya mau tanya ini semua, yang berjuang di abad 20 itu Nabi yang Mulia Muhammad, apa Insinyur Soekarno? Untuk Kemerdekaan” (Tempo.co).
Di dalam permainan pun terjadi penistaan agama yakni game remi Indonesia. Dalam game tersebut muncul kata-kata kasar yang dialamatkan kepada Nabi Muhammad SAW dan Islam. Pembuat game tersebut telah di tangkap pada hari Sabtu 9 November di Garut, Jawa Barat (Viva.com).
Hanya ada dua kemungkinan para pelaku melakukan penistaan agama yaitu karena ketidaktahuan atau kesengajaan karena kebencian terhadap Islam.
Apabila mereka melakukan karena ketidaktahuan, maka seharusnya merekan mencari tahu terlebih dulu apakah tindakan tersebut melanggar aturan negara yang akan menyakiti umat beragama atau tidak.
Dalam KUHP, pasal 156 berbunyi “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500”
Pasal 156 a KUHP berbunyi “dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”
Pasal KUHP tentang penista agama dinilai belum efektif untuk menghukum para pelaku penistaan agama, sebab hukuman yang diberikan hanya paling lama lima tahun.
Bahkan orang-orang yang memiliki uang atau dekat dengan penguasa yang melakukan penista agama tidak dilakukan penegakan hukum atau tidak di proses di pengadilan, sehingga tidak adanya rasa keadilan di negeri ini. Maka dapat dikatakan bahwa Indonesia telah gagal melindungi suatu agama.
Semakin maraknya penistaaan agama dan kriminalisasi ulama, PKS mengusulkan RUU tentang perlindungan Ulama, Tokoh Agama dan Simbol Agama.
RUU ini ditujukan untuk memperluas cakupan UU yang sudah ada atau menutup celah kekosongan hukum dalam penistaan agama.
Cara menghentikan penista agama tidak hanya melalui memperkuat hukum atau penegakan hukum yang tegas, tetapi dengan cara sistemik.
Cara sistemik yang dilakukan ialah menerapkan hukum-hukum yang berasal dari Allah dan Rasul-Nya sebagai sumber seluruh nilai dan aturan seluruh aspek.
Semua warga negara wajib memahami dan mempraktikannya. Serta pihak pendengki islam juga tidak akan dibiarkan menjalankan aksinya. Hanya dengan kedudukan itulah perendahan terhadap agama akan berhenti.
Pada Daulah Turki Utsmani yang dipimpin oleh Sultan Abdul Hamid II, terjadi suatu peristiwa yakni Henri de Bornier membuat pentas drama komedi berisi penghinaan kepada Rasulullah SAW.
Sultan Hamid II menindak tegas peristiwa tersebut dengan mengirim surat kepada Prancis agar melarang pementasan drama tersebut di seluruh Prancis.
Tidak cukup sampai disitu, sultan pun memanggil seluruh duta negara-negara Eropa yang ada di daulah Khilafah Utsmaniyyah.
Ketika mereka datang, sang khalifah membiarkan mereka menunggu berjam-jam di depan pintu kekhilafahan.
Kemudian sultan datang dan menemui mereka dengan berpakaian militer sambal menjingjing sepatu, lalu dengan penuh wibawa dan nada mengancam.
Ia berkata “Seandainya Prancis tidak menghentikan tindakannya (Pementasan drama yang menghina Rasulullah), niscaya aku kerahkan pasukan Khilafah yang dengannya aku perlakukan mereka seperti sepatu yang ada di tanganku ini. Maka pergilah, semoga Allah SWT menimpahkan keburukan kepada kalian”.
Kisah tersebut dapat dijadikan sebuah pelajaran bahwa saat ini kita sangat membutuhkan seorang khalifah. Seorang khalifah dapat melindungi masyarakat dan agama dari orang-orang munafik dan para penghina agama.
Jika ada seorang khalifah, para penghina Nabi atau penista agama akan mendapatkan hukuman yang berat atau mendapatkan hukuman mati. Hukuman berat tersebut diberlakukan supaya tidak adanya lagi kasus penista agama dan penghinaan rasul. (*)
Penista Agama Terus Terjadi
Penulis : Nur Ana Sofirotun
Mahasiswa Pertanian, Universitas Hasanuddin