OPINI—Kepala Staf Kepresidenan KSP Moeldoko memberikan kuliah umum terkait ketahanan pangan di Universitas Jember (UNEJ), Jember, Jawa Timur, Jumat (24-3-2023). Dalam penyampaiannya, ia mendorong perguruan tinggi agar terus melakukan riset di bidang ketahanan pangan dan energi.
Selain itu juga membantu sosialisasi kebijakan pemerintah terkait ketahanan pangan dan energi kepada masyarakat melalui Tri Dharma Perguruan Tinggi. Moeldoko menegaskan, dunia tengah menghadapi tiga krisis besar, yakni pangan, energi, dan keuangan.
Tidak hanya itu, Moeldoko juga mengkritik hasil-hasil penelitian yang sering kali berakhir di laci meja kampus-kampus. Padahal, tidak sedikit hasil penelitian dari perguruan tinggi yang berpotensi menjadi alat pengungkit bagi kebaikan masyarakat jika diaplikasikan dengan baik.
Ia juga menyatakan bahwa hasil penelitian yang belum teraplikasikan disebabkan beberapa faktor, salah satunya adalah tidak adanya kerja sama antara institusi pendidikan tinggi dan pihak swasta sebagai pengembang.
Riset untuk Siapa?
Tujuan riset sebenarnya adalah solusi untuk memecahkan masalah, meningkatkan ilmu, melakukan penafsiran yang lebih baik, dan menemukan fakta yang baru. Riset harus dilakukan sesuai kaidah riset yang sahih sehingga menghasilkan kesimpulan yang sahih pula.
Kaidah ini mulai dari latar belakang, tujuan riset, referensi yang relevan, penentuan variabel yang sesuai, hingga metode penelitian. Tahapan analisis data yang tepat juga sangat diperlukan guna menghasilkan kualitas hasil riset yang bisa dipertanggungjawabkan.
Sementara itu, produk riset perguruan tinggi diminta berkolaborasi dengan industri untuk proses hilirisasi. Tampak seolah ada kerja mutualisme antara akademisi dan industri. Padahal, nyatanya, pihak industri—dengan karakter kapitalistiknya—selalu berbasis untung dan rugi. Industri atau bisnis tidak akan bekerja sama dengan siapa pun, kecuali memberi keuntungan materi.
Akibatnya, hitungan untung-rugi mewarnai kerja riset para peneliti. Jadilah di sini tercipta komersialisasi produk riset. Pada akhirnya, riset yang dihilirisasi belum tentu riset yang berkorelasi dengan kebutuhan rakyat, melainkan yang dapat memberikan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi industri/bisnis.
Pemerintah hanya menjadi penghubung antara pihak akademisi-perguruan tinggi dan industri. Keputusan untuk menentukan layak tidaknya hasil riset untuk diproduksi pun diserahkan sepenuhnya kepada industri.
Paradigma kapitalistik sungguh telah mengamputasi visi mulia dunia riset dan pendidikan tinggi. Luasnya dunia riset serta khazanah ilmu pengetahuan dan teknologi nyatanya kini tidak sejalan dengan visi mulia yang diharapkan.
Tri Dharma perguruan tinggi telah dibajak hingga menjadi sekadar lips service atas nama riset, tetapi sejatinya demi menutupi kapitalisasi yang merajalela di dunia pendidikan tinggi.