MEDAN, SUMUT – Permohonan banding Meiliana (44 tahun) ditolak Pengadilan Tinggi (PT) Medan, Kamis (25/10) dalam kasus penodaan agama. Humas PT Medan, Adi Sutrisno memastikan hal itu kepada wartawan seusai sidang pengadilan.
“Hari ini telah diputuskan perkara atas nama terdakwa Meiliana yang putusan pada tingkat pertama telah diputus oleh PN Medan,” ujarnya.
Majelis hakim beranggotakan tiga orang dan diketuai oleh Daliun Salian itu menyepakati apa yang telah diputuskan oleh majelis hakim tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Medan, baik mengenai pertimbangan, maupun amar putusannya.
Meiliana perempuan keturunan Tionghoa yang mengeluhkan volume pengeras suara azan, divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus lalu.
Meiliana dinilai melanggar pasal 156A KUHP yaitu dengan sengaja menunjukkan perasaan atau melakukan perbuatan di depan umum, yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Tidak lama setelah isu bahwa Meiliana mengeluhkan kerasnya suara azan pada Juli 2016, massa mengamuk dan membakar sedikitnya 14 kuil Budha di kota pelabuhan Tanjung Balai, Sumatera Utara.
Beberapa Saksi Ahli Nilai Meiliana Tidak Lakukan Penodaan Agama
Sebelum putusan pengadilan negeri itu, beberapa saksi ahli yang diajukan dalam persidangan sempat mempertanyakan penggunaan pasal karet itu. Antara lain, Ketua Lakpesdam PBNU Dr. Rumadi Ahmad mengatakan, memperhatikan ketentuan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 – yang sedianya dikaitkan dengan pasal 156a KUHPidana itu,
Meiliana tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal itu sehingga tidak bisa dikatakan melakukan penodaan agama.
”Meiliana, hanya menyampaikan dalam perbincangan kecil dengan beberapa orang tentang suara azan yang dinilainya terlalu keras,” Rumadi.
“Kak, tolong bilang sama uwak itu, kecilkan suara masjid itu Kak, sakit kupingku, ribut,” ujar Meiliana kepada tetangganya sebagaimana dibacakan dalam tuntutan jaksa.
Rumadi: Azan dan Pengeras Suara Azan adalah Dua Hal Berbeda
Lebih jauh Rumadi mengatakan azan bukan ashlun min ushuluddin, bukan pokok-pokok ajaran agama sehingga tidak bisa dijadikan dasar penodaan agama.
“Azan dan pengeras suara dalam azan adalah dua hal yang berbeda. Mempermasalahkan pengeras suara azan tidak bisa dimaknai sebagai mempersoalkan azan itu sendiri,” tambahnya.
Pengeras suara azan menurutnya memiliki dua sisi, sebagai syiar Islam dan sekaligus berpotensi mengganggu kehidupan sosial, terutama pada masyarakat yang plural.
PBNU: Pernyataan Meiliana Soal Azan Terlalu Keras Sedianya Jadi Masukan Konstruktif
Hal senada disampaikan Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan Robikin Emhas yang dalam persidangan mengatakan suara adzan terlalu keras itu bukan penodaan agama.
Ia berharap penegak hukum tidak menjadikan delik penodaan agama sebagai instrumen untuk memberangus hak menyatakan pendapat.
Lebih jauh Emhas mengatakan pernyataan Meiliana soal azan yang terlalu keras itu sedianya menjadi masukan yang konstruktif.
ICJR Sesalkan Putusan Pengadilan Tinggi Medan
Sementara ICJR menyatakan menyesalkan putusan pengadilan tinggi.
Direktur Eksekutif ICJR Anggara mengatakan, ICJR menyesalkan penolakan Pengadilan Tinggi Medan dalam memeriksa permohonan banding Meiliana.
“Bagi kami, kasus ini membuktikan bagaimana pengadilan tidak secara cermat dan hati-hati memeriksa unsur-unsur dalam pasal 156a KUHPidana,” jelasnya.
Lebih jauh ditambahkannya, pengadilan jelas tidak menerapkan asas-asas pembuktian secara ketat untuk menentukan pelanggaran hukum yang terjadi dalam kasus Meiliana.
Sejauh ini, belum ada konfirmasi dari tim pengacara Meiliana dalam kasus tersebut. [VOA/shar]