OPINI—Ramadan telah berlalu. Tiga puluh hari lamanya menemani dalam taat dan takwa pada-Nya. Kini, giliran syawal menyapa dan akan menemani selama sebulan ke depan. Idulfitri sebagai awal hari kemenangan. Menjadi hari bergembira bagi seluruh umat Islam.
Tak hanya itu, Idulfitri akan melahirkan ketakwaan pada individu. Sebab, ramadan sejatinya adalah bulan untuk melatih diri menjadi sosok yang lebih baik, berbeda dari sebelumnya. Jika dilakukan dengan benar, akan membuahkan takwa yang akan mampu membuat istiqomah di jalan-Nya.
Sehingga bukan hanya sekadar takwa, sekadar menuai pujian atau pun demi pencitraan. Melainkan, takwa yang bertambah sempurna dan paripurna. Inilah takwa yang sebenarnya. Demikian sebagaimana yang juga Allah SWT tuntut atas diri kita:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenarnya, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan Muslim.” (TQS. Ali Imran: 102).
Sebab, takwa adalah hasil yang diharapkan dari pelaksanaan puasa Ramadan selama sebulan penuh. Maka, demi mewujudkan takwa, puasa Ramadan diwajibkan atas kaum muslim. Sebagaimana dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu pernah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (TQS al-Baqarah: 183).
Kemenangan Hakiki
Ibnu Qayyim al Jauziyyah Rahimahullah berkata, “Hakikat takwa adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah atas dasar iman dan mengharapkan rida-Nya. Baik atas perkara yang Allah perintahkan maupun yang Allah larang. Lalu melakukan apa saja yang Allah perintahkan karena mengimani perintah-Nya dan membenarkan janji-Nya. Serta meninggalkan apa saja yang Allah larang karena mengimani larangan-Nya dan takut terhadap ancaman-Nya.”
Dengan kata lain, orang yang bertakwa harus meninggalkan maksiat, meninggalkan hukum buatan manusia, meninggalkan kapitalisme, materialisme, liberalisme, dan lainnya yang bertentangan dengan Islam secara total, dan bersegera menerapkan aturan-aturan-Nya secara kafah.
Dengan demikian, ketika ketakwaan bisa diraih dan benar-benar mewujud dalam diri, maka inilah kemenangan hakiki itu. Dan patut disyukuri jika diri telah mampu meraih kemenangan hakiki ini. Karenanya, takwa yang telah dipupuk selama ramadan, janganlah memudar seiring perginya ramadan.
Sebab, pudarnya ketakwaan menandakan bahwa kemenangan hakiki nyatanya belum diraih. Ini berarti tak ada bedanya sebelum dan sesudah ramadan. Takwa hanya ada saat ramadan saja.
Padahal, selepas ramadan seharusnya sudah menjadi pribadi yang berbeda dari sebelumnya, semakin taat dan semakin banyak beribadah kepada Allah. Sebaliknya, akan makin jauh dari perbuatan dosa dan maksiat kepada Allah.
Singkatnya, menjadi pribadi yang makin bertakwa kepada Allah SWT. Apapun masa dan suasana yang tengah dihadapi, ramadan ataupun pasca ramadan, tetaplah ketakwaan itu harus terjaga. Dengan demikian, sejatinya bertakwa tidak hanya saat berada pada bulan Ramadan saja tetapi juga di luar Ramadan selama sebelas bulan berikutnya.
Rasulullah Saw. pernah kepada Muadz bin Jabal ra. saat diutus ke Yaman; “Bertakwalah engkau kepada Allah di manapun/kapanpun/dalam keadaan bagaimanapun.” (HR. at Tirmidzi)
Menjaga Ketakwaan Pasca Ramadan
Betapa ramai muslim yang selama Ramadan berusaha salat tepat waktu, baca Qur’an dengan rutin, mengkaji dan mengamalkan Alquran, menutup aurat dengan syari, banyak melakukan amalan-amalan baik, menjauhi maksiat dll.
Namun, selepas Ramadan, kadar keimanannya seolah berkurang. Tingkat ketakwaannya seolah menurun. Salat kembali bolong-bolong. Baca Alquran kembali jarang-jarang. Aurat kembali terbuka. Dosa dan maksiat kembali dilakukan dll.
Menjaga Ketakwaan sangatlah penting pasca Ramadan. Istikamah dalam ketakwaan harus diwujudkan dalam diri setiap individu. Sebab, istikamah merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda,
‘Katakanlah, “Aku beriman kepada Allah.” Kemudian beristikamahlah‘. (HR Muslim).
Di dalam Syarh-nya, Imam an-Nawawi menyatakan bahwa dalam dalam dua kalimat ini telah terpenuhi pengertian iman dan Islam secara utuh. Sedangkan menurut Imam al-Qusyairi, “Istikamah itu hanya bisa dijalankan oleh orang-orang besar. Sebabnya, istikamah itu menyimpang dari kebiasaan, menyalahi adat dan kebiasaan sehari-hari, teguh di hadapan Allah SWT dengan kesungguhan dan kejujuran.”
Untuk itu menjaga keistikamahan tidaklah mudah. Perlu tips khusus agar tetap istikamah dalam ketakwaan. Tetap memelihara amalan-amalan rutin Ramadan adalah langkah pertama yang perlu dilakukan. Karena sudah menjadi kebiasaan selama Ramadan, maka bukan hal sulit lagi untuk dilakukan selepas Ramadan.
Selanjutnya, rutin menghadiri majelis ilmu sebagai upaya untuk memahami hukum-hukum Allah SWT, mempelajari ak Qur’an dan mengamalkan ilmu yang telah diperoleh kemudian mendakwahkannya kepada orang lain, al Quran sebagai petunjuk bagi seluruh manusia tak akan mungkin sampah bila tak didakwahkan.
Disamping itu, terus bertobat dengan tobat yang sebenar-benarnya. Meski Allah SWT telah menjamin mengampuni orang-orang yang benar-benar berpuasa. Namun, sebagai mukmin tak akan terlena dengan hal tersebut. Dan terakhir, berusaha selalu hidup dalam komunitas masyarakat yang bertakwa, bukan di tengah-tengah komunitas yang penuh dosa dan maksiat.
Karenanya, tak hanya ketakwaan individu, tapi juga ketakwaan kolektif sangatlah penting dalam tataran kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ketakwaan semacam ini hanya mungkin terwujud saat kita selalu hidup di tengah-tengah masyarakat yang menerapkan Islam secara kaffah. Dengannya, istikamah dalam takwa akan diraih, takwa akan terawat kapan pun dan di mana pun berada. Suasana sulit ataupun bahagia. Ramadan ataupun pasca Ramadan. Wallahu a’lam. (*)
Penulis: Hamsina Halik
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.