OPINI—Setiap tahun sekali, Hari Buruh diperingati tepat tanggal 1 Mei atau May Day. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para buruh di Indonesia sepakat melakukan aksi dalam rangka menyambut hari mereka. Pada tahun ini, dengan mengusung tema, “Social Justice and Decent Work for All”. Apakah seremoni ini akan membuahkan hasil sesuai keinginan para pekerja?
Tuntutan Buruh
Dalam unjuk rasa tahun ini, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, ada dua isu utama yang diusung pada aksi Hari Buruh tahun ini, yaitu Cabut Omnibus Law UU Cipta Kerja dan HOSTUM: Hapus Outsourcing, Tolak Upah Murah. (liputan6.com, 29-4-2024).
Tampak hal ini menunjukan bahwa kondisi kehidupan para buruh sebenarnya belum terjadi perubahan menuju kesejahtera. Nasib mereka tetap sama, bahkan makin terpuruk ditengah problem mulai dari upah rendah, kondisi kerja yang tidak layak, hingga maraknya PHK dan sempitnya lapangan kerja.
Sejarah May Day
Akar perjuangan buruh yang bermula pertama kali, Mei 1886 di Chicago Amerika Serikat. Para buruh pada saat itu menuntut pemangkasan jam kerja dimana mereka harus bekerja 16 jam per hari meminta pengurangan menjadi 8 jam per hari. Mereka juga mengancam mogok kerja. Namun, pada 3 Mei 1886, terjadi kerusuhan. Sebuah bom meledak di antara para peserta unjuk rasa di alun-alun Haymarket, Chicago, Amerika Serikat. Akhirnya banyak korban berjatuhan.
Beberapa tahun setelah kejadian itu, pertemuan sosialis internasional di Paris membahas May Day sebagai hari libur yang menghormati hak-hak pekerja. Pada Mei 1894, mereka berunjuk rasa memprotes 16 jam kerja dan rendahnya upah di Pullman Palace Car Company yang memproduksi gerbong kereta api di pabrik dekat Chicago. Tuntutan itu akhirnya dipenuhi pada 1926, yaitu memotong jam kerja jadi 8 jam dan menaikkan upah dua kali lipat.
Seiring waktu, pemerintah di wilayah tersebut menetapkan upah minimum dan mengurangi jam kerja lebih singkat lagi. Pada 1940-an, banyak negara yang menetapkan Mei sebagai Hari Buruh Internasional serta ikut menetapkan upah minimum dan lama jam kerja.
Akibat Kapitalisme
Sejatinya, persoalan buruh akan terus terjadi selama dunia masih menerapkan sistem kapitalisme yang menganggap buruh hanya sebagai faktor produksi. Dalam pandangan ini, spirit perusahaan adalah meminimalkan biaya produksi, termasuk biaya tenaga kerja. Pada saat yang sama, tidak ada jaminan dari negara karena negara hanya berperan sebagai regulator dan penengah antara buruh dan perusahaan jika ada konflik terkait upah dan lainnya.
Ini jelas memperlihatkan bahwa buruh pun terjepit dalam ketidak berdayaan. Jika bekerja, upah tidak menyejahterakan, sedangkan beban kerja amat berat. Adapun jika keluar dari kerjaan, sulit mencari kerjaan lain karena gelombang PHK menerpa amat dahsyat ditambah negara berada dalam kendali korporasi yang dengan uangnya dapat “membeli” penguasa dan mengatur sesuai kepentingan mereka.
Akibatnya, selama dunia-termasuk Indonesia-masih menerapkan kapitalisme, tidak akan ada kata sejahtera bagi buruh. Kesejahteraan hanya akan menjadi mimpi tanpa realisasi.Sungguh merana.
Buruh Sejahtera dengan Islam
Islam memiliki pandangan yang khas terhadap buruh. Pandangan ini berbeda dengan kapitalisme yang lepas tangan terhadap kesejahteraan buruh. Islam memandang buruh adalah bagian dari rakyat yang harus di-riayah (diurusi) oleh negara. Tanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyat (termasuk buruh) ada pada negara, bukan perusahaan.
Negara yang menerapkan sistem islam akan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya secara orang per orang sehingga tiap-tiap rakyat merasakan kesejahteraan. Negara juga melakukan fungsi pengawasan untuk memastikan bahwa tidak ada rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya.
Pemenuhan kebutuhan dasar rakyat oleh negara ini dilakukan melalui dua mekanisme, yaitu secara langsung dan tidak langsung. Adapun mekanisme secara langsung, dalam negara dengan penerapan Islam menyediakan layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis sehingga rakyat tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mengaksesnya.
Mekanisme tidak langsungnya, negara menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat laki-laki yang balig untuk bekerja mencari nafkah untuk keluarganya. Lapangan kerja tersebut bisa berupa kesempatan bekerja menjadi buruh, membuka usaha tertentu, menjadi petani, bisnis dagang, jasa, industri, maupun yang lainnya.
Dalam sistem Islam, negara mengatur perburuhan bukan seperti perbudakan, negara menjamin nasib buruh dan sekaligus keberlangsungan perusahaan melalui penerapan Islam kaffah dalam semua bidang kehidupan.
Dengan demikian, semua pihak baik buruh maupun perushaan sama-sama diuntungkan. Negara memastikan bahwa di antara buruh dan perusahaan ada akad yang jelas dan syar’i terkait deskripsi pekerjaan, upah, jam kerja, fasilitas, keselamatan kerja, dll. Sehingga kedua pihak merasa rida.
Terkait upah, Islam menentukan upah dalam akad kerja berdasarkan rida antara kedua belah pihak (antaradhin). Islam juga memiliki standar upah yang ditentukan oleh para ahli (khubara) sesuai manfaat yang diberikan oleh pekerja, lama bekerja, jenis pekerjaan, risiko, dan lainnya.
Dengan demikian, bisa dipastikan tiap-tiap pihak merasa senang. Islam juga memastikan kedua pihak menjalankan kewajibannya dan memperoleh haknya secara makruf. Buruh adalah pekerja memiliki kedudukan setara dengan pemberi kerja (majikan).
Mereka akan digaji sesuai keahliannya dan sesuai kesepakatan awal. Dari Abdullah bin Umar ia berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Dari hadis tersebut, tersurat jelas bahwa majikan tidak boleh menunda atau mengurangi hak pekerjanya. Bagi pekerja pun wajib melaksanakan kerjanya sesuai kesepakatan awal.
Jadi, sesungguhnya Islam tidak membolehkan adanya penentuan upah minimum karena hal itu dapat menzalimi pekerja. Bisa saja para majikan tidak membayar gaji pekerja sesuai dengan pekerjaannya, padahal kerjanya lebih berat hanya karena mengikuti aturan upah minimum.
Adapun apabila terjadi perselisihan di antara keduanya, negara tampil sebagai hakim yang memberikan keputusan secara adil berdasarkan syariat Islam.
Inilah gambaran kondisi buruh yang kita semua dambakan. Buruh sejahtera karena negara mengurusinya. Negara dan masyarakat juga senang karena produk perusahaan bisa memasok kebutuhan masyarakat. Ekonomi pun berputar dengan sehat.
Sistem bernegara inilah yang kita harapkan eksis agar kesejahteraan dapat terwujud nyata untuk semuanya, termasuk bagi buruh. Buruh senang karena mendapatkan upah secara makruf, perusahaan juga senang karena mendapatkan manfaat yang baik dari karyawannya. Wallahualam bissawab. (*)
Penulis: Purie Hasdar
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.