Reklamasi CPI, Bukti Keberpihakan pada Kapitalis?

Reklamasi CPI, Bukti Keberpihakan pada Kapitalis?
Dr. Suryani Syahrir, ST, MT (Dosen Teknik Sipil & Pemerhati Sosial)

OPINI—Aksi penolakan terus dilakukan masyarakat, termasuk warga Pulau Lae-lae atas upaya reklamasi yang akan dilakukan Pemprov Sulsel dan pihak developer yang ditunjuk. Beberapa komunitas ikut angkat suara untuk menyuarakan aspirasi tersebut. Pasalnya, pasca reklamasi pembangunan Center Point Of Indonesia (CPI), terjadi abrasi yang terbilang cukup parah di Pulau Lae-lae.

Kali ini, reklamasi sekitar 12,11 hektar akan dilakukan di Pulau tersebut. Jauh-jauh hari sebelumnya, isu kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sudah nyaring terdengar. Namun, kegiatan reklamasi ini tetap saja dilakukan. Mengapa terkesan sangat dipaksakan?

Sebagaimana dalam catatan Koalisi Lawan Reklamasi (Kawal) Pesisir, tahun 2014, reklamasi yang dipaksakan telah menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM, berupa penggusuran terhadap 43 kepala keluarga nelayan dan perempuan atas nama pembangunan CPI. (jejakfakta.com, 5/3/2023)

Lebih lanjut, menurut Kawal Pesisir, praktik reklamasi yang selama ini dilaksanakan pemerintah dan pihak swasta, menggunakan areal publik demi kepentingan bisnis (privatisasi). Hal ini menunjukkan pemerintah seperti tunduk pada kuasa bisnis. Seperti dilansir dari laman https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6602302/warga-pulau-lae-lae-desak-pemprov-sulsel-batalkan-rencana-reklamasi-cpi

Hal senada diungkapkan Koordinator Bidang Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Ady Anugrah Pratama selaku pendamping hukum warga Lae-lae. Beliau bersama warga menuntut agar rencana reklamasi dibatalkan. (detiksulsel.com, 5/3/2023)

 

Berita Lainnya
Paradigma Pembangunan Kapitalistik

Sistem kapitalisme yang diemban negeri ini, meniscayakan fenomena di atas berlaku. Berbasis ekonomi kapitalis dengan asas sekuler, segala cara dilakukan agar tujuan tercapai. Walau harus mengorbankan banyak hal, termasuk manusia. Kondisi ini sudah banyak terindera di berbagai proyek, baik yang sedang berlangsung maupun yang sudah rampung. Petaka pun akhirnya bertandang dalam skala yang cukup luas dan terus berulang.

Lihat Juga:  Waspadai Bencana Ekologi Mengintai Sulsel

Kondisi demikian bisa dianalisis karena beberapa faktor, diantaranya: pertama, paradigma pembangunan dalam sistem kapitalisme berbasis kapitalistik. Dimana sistem ekonomi kapitalis yang menjadi nafas sistem ini, meniscayakan keputusan yang ditempuh penguasa seakan memihak kepentingan para pemilik modal (kapitalis). Banyak pihak menilai, negara seolah hanya sebagai fasilitator dan regulator. Di tangan para pemilik modallah, final decision dari setiap kebijakan diputuskan.

Kedua, negeri ini terkungkung dalam pusaran arus global. Nampak jelas sikap latah yang ditunjukkan dalam setiap regulasi yang diputuskan penguasa. Negara seakan tak mampu berdiri di kaki sendiri, terus mengikuti alur kepentingan dunia internasional.

Padahal, negeri ini adalah negeri yang sangat potensial, baik Sumber Daya Manusia (SDM) terlebih Sumber Daya Alam (SDA). Isu-isu global terus diaruskan, walau negeri ini tidak terdampak secara signifikan. Namun, setiap kebijakan yang ditempuh diduga kuat mengikuti arus dunia internasional. Tersebab, watak dasar sebuah sistem sifatnya memaksa dan mengikat.

Ketiga, solusi pragmatis masih menjadi pilihan. Tak dimungkiri, kerusakan di berbagai aspek kehidupan akibat kekeliruan dalam mengambil sistem kehidupan, membuat kehidupan makin semrawut.

Berita terkait