OPINI—Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemkumham) menyebut,146.260 dari 196.371 narapidana beragama Islam di Indonesia menerima remisi khusus (RK) Idul Fitri 2023. Sebanyak 66.886 di antaranya merupakan pelaku tindak pidana umum. Direktorat Jenderal Hukum dan Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemkumham menyampaikan, 661 napi menerima RK II atau langsung bebas.
“Sementara itu, 145.599 lainnya menerima RK I, yaitu masih harus menjalani sisa pidana setelah menerima pengurangan masa pidana sebagian,” kata Koordinator Humas dan Protokol Rika Aprianti dalam keterangan tertulis, Minggu (23/4/2023).
Kemkumham mengeklaim bahwa pemberian remisi Idul Fitri ini bakal menghemat anggaran makan napi hingga Rp72,8 miliar. Kemkumham menilai bahwa pemberian remisi ini berkaitan dengan “keseriusan bertobat dan memperbaiki diri”.
Hal ini termuat pula dalam sambutan tertulis Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly yang dibacakan saat pemberian remisi.
“Bapak Menteri menyebut bahwa masa pidana yang dijalani merupakan kesempatan untuk terus introspeksi diri dan sarana untuk mengasah kemampuan spiritual dan intelektual agar menjadi bekal saat warga binaan bebas,” tutur Rika.
Termasuk yang mendapat remisi adalah para koruptor. Setya Novanto misalnya Terpidana korupsi e-KTP Setya Novanto mendapat remisi selama 1 bulan khusus Idulfitri 1444 Hijriah di Lapas Sukamiskin Kota Bandung, Jawa Barat. Pemberian remisi bagi koruptor sejak lama mendapat penolakan dari berbagai kalangan.
Hal ini dikhawatirkan akan melemahkan pemberantasan korupsi yang semakin menggurita di negeri kita saat ini. Sinyalemen pelemahan itu tampak ketika Mahkamah Agung (MA) mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 99 tahun 2012 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi warga binaan khususnya pelaku tindak pidana korupsi, terorisme, narkoba dan kejahatan transnasional lainnya.
Pembatalan PP pengetatan remisi telah mencederai rasa keadilan masyarakat terlebih konsekuensi atas pembatalan tersebut menyebabkan pengaturan remisi tidak lagi mengenal pengelompokan narapidana tindak pidana khusus.
Korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan pengajuan remisinya tidak lagi wajib menjadi justice Collaborator maupun membayar uang pengganti korupsi.
Akibatnya korupsi semakin merajalela. Ini tentu cukup menjadi gambaran bahwa obral remisi atau pengurangan masa hukuman dan pemberian pembebasan bersyarat membuat penegakan korupsi tidak menimbulkan efek jera.
Korupsi tidak lagi menjadi extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. Akibatnya korupsi di negeri kita semakin menggurita. Benarlah apa yang dikatakan oleh Menko Polhukam, Mahfud MD di dalam sambutannya di sarasehan tentang isu strategis (21/3/2023).
Menoleh kemana saja ada korupsi. Menoleh ke hutan, ada korupsi. Menoleh ke pesawat udara, ada korupsi. Menoleh ke asuransi, ada korupsi. Semuanya korupsi.
Berangkat dari hal tersebut harusnya publik makin menyadari betapa tidak kompatibelnya sistem sanksi yang dilahirkan dari sistem demokrasi kapitalisme. Sistem sanksi saat ini gagal dalam menyelesaikan berbagai kejahatan dan kriminalitas yang terjadi. Hal ini disebabkan hukum sanksi sistem ini berasal dari akal dan kesepakatan manusia.
Padahal, seperti yang diketahui bersama manusia adalah makhluk yang terbatas. Terbatas jangkauannya, ilmunya dan pengetahuannya. Sehingga jika manusia diberi kedaulatan hukum solusi yang diberikan tidak menyelesaikan masalah. Alih alih memberikan efek jera dan dapat menekan jumlah kriminalitas, yang terjadi justru kriminalitas semakin meningkat.