Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkab Sidrap
  • Pemkab Sidrap
  • Pemkab Maros
  • Universitas Dipa Makassar
  • Media Sulsel
Opini

Si Melon Bikin Emak-Emak Kalang Kabut

910
×

Si Melon Bikin Emak-Emak Kalang Kabut

Sebarkan artikel ini
Si Melon Bikin Emak-Emak Kalang Kabut
Dwi Setiawati
  • DPRD Kota Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • Pascasarjana Undipa Makassar
  • Pemprov Sulsel
  • PDAM Makassar

OPINI—Fakta perdapuran saat ini sedang mendapatkan ancaman. Kompor gas di dapur terancam tidak bisa ngebul disebabkan LPG 3 kg alias si Melon tiba-tiba langka sulit ditemukan. Gara-gara ini mak-mak jadi kalang kabut. Semua pangkalan maupun pengecer mengalami kekosongan stok.

Akibatnya, sebagian warga terpaksa tidak masak dan membeli nasi bungkus untuk makan sekeluarga, (CNN Indonesia, 25/7/2023). Seperti di Lampung Utara, LPG melon langka dan harganya melonjak. Biasanya LPG 3 kg tersebut dijual Rp18 ribu-Rp20 ribu. Kini harganya melejit menjadi Rp26-Rp30 ribu per tabung (Radar Lampung, 31/7/2023).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Dilansir dalam CNN Indonesia (27/7/2023) Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati buka-bukaan soal penyebab LPG 3 kg langka. Ia mengatakan kelangkaan terjadi karena peningkatan konsumsi.

Lebih lanjut, Nicke menuturkan menurut data pemerintah ada sekitar 60 juta rumah tangga yang berhak menerima subsidi dari total sebanyak 88 juta rumah tangga atau sekitar 68 persennya.

Namun, saat ini persentase penjualan LPG subsidi terhadap total LPG angkanya ternyata tinggi, mencapai 96 persen. Hal ini, kata Nicke, mengindikasikan ada subsidi yang tak tepat sasaran.

Tentu kita masih ingat dulu umumnya masyarakat menggunakan minyak tanah sebagai bahan bakar di dapur. Kemudian pemerintah melakukan konversi dari minyak tanah ke LPG dengan alasan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak tanah dan mengurangi penyalahgunaan minyak tanah bersubsidi. Namun, kini setelah mayoritas masyarakat menggunakan LPG, ternyata muncul lagi keberatan pemerintah terkait subsidi.

Seperti yang diketahui pemerintah mengeluhkan jebolnya kuota gas LPG 3 kg bersubsidi. Diprediksi penyerapan gas LPG 3 kg bersubsidi hingga akhir tahun 2023 lebih 2,7% dari kuota yang ditetapkan dalam APBN. Dengan demikian, yang menjadi masalah sebenarnya adalah subsidi bagi rakyat yang dianggap terlalu membebani negara. Pemerintah merasa keberatan karena subsidi dianggap membebani APBN.

Persepsi bahwa subsidi membebani negara merupakan pandangan khas ala ideologi kapitalisme yang memandang segala urusan dari untung rugi kebijkan tersebut. Di dalam kapitalisme, mekanisme pasar sangat diagungkan. Setiap individu dibiarkan bersaing untuk memperoleh sumber ekonomi sendiri tanpa ada campur tangan dari negara.

Oleh karenanya, seolah negara berlepas tangan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Rakyat diharuskan mandiri dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Tidak boleh ada subsidi karena akan membuat rakyat menjadi manja, bergantung pada pemerintah sehingga tidak produktif.

Subsidi juga akan membebani APBN sehingga memberatkan negara. Lantas, apa sebenarnya tugas dari negara? Di dalam kapitalisme, negara hanya berfungsi sebagai pengawas. Negara hanya memastikan bahwa mekanisme pasar berjalan lancar, tanpa ada pelanggaran terhadap aturan negara.

Seperti di negara-negara yang menganut perekonomian kapitalisme ini dijalankan dan ternyata hasilnya adalah kerusakan banyak terjadi ketimpangan dan bukan keadilan ekonomi, tetapi justru memberikan sumber-sumber ekonomi pada segelintir kapitalis para pemilik modal.

Sementara itu, mayoritas rakyat tidak menikmati sumber-sumber ekonomi tersebut, salah satunya kekayaan alam batu bara.

Pada tahun-tahun terakhir ini, negara barat juga mengalami serangkaian protes dari warganya. Misal tuntutan “khas negara miskin” seperti kenaikan upah menggema dari penjuru-penjuru Eropa. Penguasa Barat tidak bisa menutup mata atas hal ini, karena bisa berdampak pada keberlangsungan kekuasaannya.

Oleh karenanya, mereka melakukan langkah-langkah yang melanggar doktrin kapitalisme. Mereka menyediakan bank makanan untuk warga miskin, memberikan santunan, dan hal semisal.

Semua ini demi menjaga eksistensi kapitalisme dan pengalihan tanggung jawab negara yang sebenarnya. Ini membuktikan bahwa sistem kapitalisme saat ini telah menuju kehancuran. Sayangnya, negeri ini tidak mau belajar dari kegagalan kapitalisme di dunia Barat.

Perekonomian Indonesia justru semakin bebas, berbagai subsidi justru makin dikurangi. Padahal yang benar-benar membebani APBN bukanlah subsidi, tetapi pembayaran pajak dan utang beserta bunganya. Proyek-proyek tidak mendesak diadakan dengan dana utang, lalu APBN harus membayar pokok dan bunganya. Anehnya lagi, subsidi yang disalahkan. Sungguh miris potret sistem hari ini.

Oleh karenanya, sistem ekonomi ala kapitalisme yang dzolim ini harus segera ditinggalkan dan digantikan dengan sistem ekonomi yang adil dan mensejahterakan yaitu sistem Islam. Politik ekonomi Daulah Khilafah Islamiah adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk energi.

Dalam Khilafah akan dijamin ketersediaan energi di tengah masyarakat. Baik untuk memasak, transportasi, penerangan, maupun yang lainnya. Negara akan menggunakan sumber daya alam yang dimiliki untuk menyediakan bahan bakar bagi rakyat dengan harga murah dan bahkan gratis. Bisa berupa listrik, BBM, LPG, LNG, maupun energi alternatif seperti panas bumi, nuklir, dan lainnya.

Kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri-negeri muslim dan berbagai sumber energi bisa digunakan tidak harus tergantung pada minyak bumi. Seperti untuk keperluan memasak, negara bisa menyalurkan LNG (Liquified Natural Gas) yang jumlahnya berlimpah di Indonesia melalui pipa-pipa ke rumah warga.

Penyediaan LNG (Liquified Natural Gas) maupun jaringan dan infrastruktur pendukungnya merupakan tanggung jawab dari negara. Negara tidak boleh mengambil untung darinya. Negara boleh saja menjualnya ke rakyat, tetapi sebatas biaya operasional.

Sayangnya, selama ini LNG (Liquified Natural Gas) tersebut dijual kepada asing dengan harga murah, sedangkan rakyat harus kesulitan untuk memasak. Inilah yang terjadi ketika negara dikelola menggunakan aturan yang salah. Padahal Allah sudah memerintahkan untuk mengelola negara dengan aturan Allah Taala, yakni syariat Islam.

Firman Allah Swt. di dalam QS Al-Maidah: 49,

وَاَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ

Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah.”

Seperti itulah gambaran sistem Islam dalam mengurusi kebutuhan rakyatnya. Bukan sebatas agama spiritual semata namun juga mengatur seperti apa seharusnya peran negara. Negara berperan sebagai pengurus memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan rakyatnya dan menjadi pelidung bagi rakyatnya. Wallahualam. (*)

 

 

Penulis

Dwi Setiawati
(Aktivis Muslimah)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.