OPINI—Berita tentang bangkrutnya negara Sri Lanka diakibatkan kegagalan pemerintah negara tersebut dalam melunasi utang luar negeri menjadi buah bibir di seluruh dunia.
Bangkrutnya negara di Asia Selatan itu karena krisis ekonomi berkepanjangan akibat Covid-19. Sri Lanka dihadapkan pada masalah gagal bayar utang luar negeri sebesar US$ 51 miliar atau setara dengan Rp729 triliun (asumsi kurs Rp14.300).
Kementerian Keuangan Sri Lanka menyatakan negara tersebut telah gagal dalam membayar semua utang luar negeri, termasuk pinjaman dari pemerintah asing serta dana talangan IMF. (Kompas.com, 15/4/22).
Hadirnya lembaga IMF ini seperti black hole (lingkaran hitam) yang mampu menenggelamkan negara-negara anggotanya pada kebangkrutan seperti yang pernah terjadi pada Argentina, Venezuela, Ekuador, Zimbabwe dan yang terakhir Sri Lanka.
IFM akan menjerat negara-negara anggotanya melalui pinjaman luar negeri dengan bunga pinjaman. Semakin besar pinjaman maka akan semakin besar pula bunganya.
Apa Kabar Indonesia?
Lalu bagaimana dengan Indonesia yang memiliki utang luar negeri yang mencapai Rp 7.014,58 triliun (data per 28 Februari lalu)?
Dalam hal ini, tentu para pakar ekonomi dalam negeri telah banyak memberi suara dan masukan pada pemerintah dalam hitung-hitungan ekonomi, namun kita perlu melihat apa sebenarnya yang menjadi akar masalah dari sistem ekonomi saat ini.
Indonesia sendiri masih ketergantungan akan utang luar negeri pada IMF. Setiap tahun utang luar negeri Indonesia terus bertambah dengan range 1.000 triliunan sejak tahun 2018.
Walaupun Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan bahwa rasio utang terhadap PDB RI masih lebih kecil baik dibandingkan dengan negara ASEAN, G20, maupun negara di seluruh dunia, bukan berarti keadaan ini tidak berbahaya. Justru sikap penyepelean seperti ini bisa mengakibatkan dampak yang lebih buruk lagi bagi ekonomi Indonesia ke depannya.