MAKASSAR—Di tengah gemuruh motor modern bermesin injeksi dan teknologi digital, nama Suzuki A100 tetap menggema di kalangan pecinta motor klasik. Motor bermesin 2-tak ini sempat menjadi ikon era 70-an dan 80-an, dan kini menjelma jadi buruan kolektor serta simbol gaya hidup retro di berbagai pelosok Indonesia.
Suzuki A100 pertama kali diperkenalkan di Jepang pada tahun 1966. Namun di Indonesia, motor ini mulai mengaspal sekitar akhir 1960-an hingga pertengahan 1970-an, melalui PT Indomobil Suzuki International.
Dengan desain ramping, mesin 2-tak 98cc, serta sistem transmisi 4-percepatan, A100 menyasar segmen pengguna pemula, pekerja, dan pelajar. Motor ini terkenal ringan, lincah, dan mudah dirawat, menjadikannya kendaraan favorit di masa itu.
Pada era 1970-an hingga awal 80-an, Suzuki A100 merajai jalanan bersama rival sekelasnya seperti Yamaha L2 Super dan Honda S90. Konsumsi bahan bakar yang irit dan suara khas mesin 2-taknya membuat A100 tak sulit dikenali dari kejauhan.
Motor ini juga banyak digunakan sebagai kendaraan dinas ringan, termasuk oleh instansi pemerintah dan perkebunan. Daya tahannya di berbagai medan jadi keunggulan utama, meski kapasitas mesinnya terbilang kecil.
Suzuki A100 dijuluki sebagai motor “sekali engkol langsung nyala”, berkat sistem pengapian yang responsif dan karburator yang sederhana.
Seiring perubahan zaman dan regulasi emisi, motor 2-tak mulai ditinggalkan. Suzuki A100 akhirnya dihentikan produksinya secara global pada awal 1980-an, termasuk di Indonesia. Masuknya generasi motor 4-tak seperti Suzuki FR dan RC series membuat A100 perlahan tergeser dari pasaran.
Meski begitu, banyak unit A100 masih bertahan di tangan pemilik lama, terutama di desa-desa dan kawasan perkebunan, karena keandalannya dan kemudahan perawatan.
Hari ini, Suzuki A100 bukan lagi motor harian biasa. Di tangan komunitas pecinta motor klasik, A100 menjelma jadi barang koleksi bernilai tinggi. Di sejumlah forum jual beli motor antik, harga A100 dalam kondisi orisinal bisa menembus belasan juta rupiah, tergantung kelengkapan dan keaslian onderdil.
Komunitas Suzuki A100 juga masih eksis di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, Makassar, dan Surabaya. Mereka rutin mengadakan kopi darat, touring, dan pameran motor klasik.
Salah satu pengguna A100 di Parepare, Amiruddin , mengaku motor ini telah menjadi kendaraan pamannya sejak 1979 dan diwariskan kepadanya serta masih dapat dikendarainya hingga hari ini.
“Motor ini lebih dari sekadar alat transportasi. Ada nilai historis dan kenangan yang tak bisa digantikan,” ungkapnya.
Meski tetap hidup di komunitas, para pemilik A100 kini menghadapi tantangan soal suku cadang. Banyak onderdil orisinal yang mulai langka, sehingga memaksa sebagian pengguna beralih ke modifikasi atau parts rekondisi. Namun, hal ini tak menyurutkan kecintaan mereka terhadap motor yang sudah dianggap “bagian dari sejarah”.
Suzuki A100 mungkin bukan lagi motor produksi massal, tapi namanya tetap hidup dalam sejarah otomotif Indonesia. Ia adalah simbol kesederhanaan, daya tahan, dan semangat berkendara masa lalu yang masih dikenang hingga kini.
Bagi para pecintanya, A100 bukan sekadar motor—tapi warisan waktu yang terus melaju di atas nostalgia. (Ag4ys)

















