Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Pajak dalam Sistem Kapitalisme Menyengsarakan

1091
×

Pajak dalam Sistem Kapitalisme Menyengsarakan

Sebarkan artikel ini
Pajak dalam Sistem Kapitalisme Menyengsarakan
Mursyidah Nadjamuddin (Pegiat Literasi)

OPINI—Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah Refleksi Kemerdekaan RI 2025. Dalam pidatonya, ia menyamakan kewajiban membayar pajak dengan zakat dan wakaf. Menurutnya, ketiganya memiliki tujuan serupa, yakni menyalurkan sebagian harta kepada pihak yang membutuhkan.

“Pada dasarnya, mereka yang mampu harus menggunakan kemampuannya. Sebab di dalam setiap rezeki dan harta yang kamu dapatkan ada hak orang lain,” ujarnya (CNBCIndonesia.com, 13/8/2025).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menegaskan bahwa pemerintah tidak akan menaikkan tarif pajak apa pun pada 2026. Ia memastikan, selain tidak ada kenaikan tarif maupun jenis pajak baru, pemerintah hanya akan melakukan optimalisasi penerimaan pajak dan PNBP. (CNBCIndonesia.com, 15/8/2025).

Namun kenyataannya, awal tahun 2025 rakyat sudah menerima “kado pahit” berupa kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Kebijakan ini langsung menuai reaksi dari berbagai kalangan. Pedagang, konsumen, hingga ekonom khawatir daya beli masyarakat semakin tertekan, sementara harga barang dan jasa otomatis meningkat. Para pelaku usaha ritel pun waswas penjualan mereka turun akibat mahalnya harga.

Fakta di lapangan menunjukkan, dalam sistem kapitalisme, kenaikan pajak tak hanya dirasakan pihak yang dikenai pajak, tetapi menimbulkan efek domino ke semua kalangan, termasuk rakyat kecil. Meski PPN hanya menyasar barang dan jasa premium, ujungnya harga barang lain ikut naik karena biaya produksi meningkat.

Lantas, mengapa pemerintah tetap mempertahankan pajak, padahal faktanya justru menyengsarakan rakyat?

Dalam kapitalisme, pajak memang menjadi pilar utama kebijakan fiskal. Negara mengandalkan pajak untuk menutup defisit anggaran, sehingga wajar jika propaganda tentang “wajib bayar pajak” terus digencarkan.

Padahal, negeri ini sejatinya kaya sumber daya alam yang jika dikelola dengan benar dapat mencukupi kebutuhan rakyat. Sayangnya, pengelolaannya diserahkan kepada asing. Akibatnya, rakyat yang hidup serba sulit masih dipaksa merogoh kocek lebih dalam.

Pajak dalam Perspektif Islam

Dalam Islam, pajak dikenal dengan istilah dharibah. Namun konsepnya sangat berbeda dengan pajak dalam kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Swt. atas kaum muslim untuk membiayai kebutuhan tertentu ketika baitulmal (kas negara) kosong.

Artinya, pajak dalam Islam bersifat insidental, bukan sumber tetap pemasukan negara. Bahkan, Rasulullah saw. melarang pungutan pajak perdagangan. Beliau bersabda, “Tidak masuk surga pemungut cukai (maks).” (HR Ahmad). Dengan demikian, pajak tidak boleh dibebankan secara menyeluruh sebagaimana dalam kapitalisme.

Dalam Islam, pajak hanya dipungut dari orang kaya, bukan dari fakir miskin. Itu pun hanya ketika baitulmal kosong untuk kebutuhan wajib, seperti pembiayaan jihad, nafkah fakir miskin, gaji tentara, guru, dan hakim, atau ketika terjadi kondisi darurat seperti bencana alam maupun ancaman musuh. Setelah masalah keuangan teratasi, pajak harus dihentikan.

Dengan mekanisme ini, pajak dalam Islam tidak dipandang sebagai bentuk kezaliman, melainkan kontribusi orang kaya bagi kepentingan umat yang bernilai pahala. Berbeda dengan kapitalisme, yang menjadikan pajak sebagai sumber tetap dan dibebankan kepada seluruh rakyat tanpa memandang kondisi.

Perbedaan yang Diametral

Perbandingan keduanya tampak jelas. Dalam kapitalisme, pajak adalah instrumen utama negara yang justru membebani rakyat dan rawan disalahgunakan. Sementara dalam Islam, pajak hanyalah instrumen darurat, bukan penopang utama anggaran negara.

Islam memiliki sembilan sumber pendapatan tetap negara yang masuk ke baitulmal, seperti fai, ganimah, kharaj, jizyah, rikaz, hingga harta milik umum. Pajak hanya jadi opsi terakhir jika sumber-sumber tersebut tidak mencukupi.

Maka jelaslah, pajak dalam sistem kapitalisme menambah penderitaan rakyat, sementara dalam Islam pajak ditempatkan pada posisi yang adil, terbatas, dan berlandaskan syariat. (*)

Wallahu a’lam.

 

Penulis: Mursyidah Nadjamuddin (Pegiat Literasi)

 

 

***

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!