OPINI—Kaba merupakan salah satu bentuk sastra lisan Minangkabau yang diwariskan turun-temurun melalui tradisi tutur. Lebih dari sekadar hiburan, kaba berfungsi sebagai media penyampai nilai moral, ajaran adat, dan potret kehidupan sosial masyarakatnya.
Salah satu kaba yang menarik dikaji adalah Siti Risani karya Sutan Nasarudin. Cerita ini mengisahkan perjalanan seorang gadis Minang yang menghadapi pergulatan cinta, tekanan adat, pengalaman merantau, hingga dinamika rumah tangganya bersama Sutan Nasarudin.
Kisah Siti Risani tidak hanya berkisar pada percintaan, tetapi juga memotret kekuatan adat Minangkabau, posisi perempuan dalam keluarga matrilineal, serta perubahan sosial yang mengiringi kehidupan masyarakat pada masa kolonial.
Dengan memadukan pendekatan intrinsik dan ekstrinsik, cerita ini dapat dibaca sebagai gambaran pergulatan batin individu dalam lingkup budaya yang kuat, sekaligus cermin realitas sosial zamannya.
Secara intrinsik, tema utama kaba ini adalah perjuangan cinta dan kesetiaan di tengah tekanan adat serta kerasnya kehidupan rantau. Hal itu tampak dalam perjalanan emosional Risani ketika mencintai Buyuang Sutan Nasarudin, seorang pemuda sopan dan berpenampilan rapi yang disebut sebagai “anak rajo-rajo”.
Namun hubungan mereka tidak memperoleh restu keluarga. Konflik memuncak ketika Risani dijodohkan dengan Hamzah Barudin (Sutan Bagindo), sehingga ia mengalami tekanan batin yang mendorongnya mengambil langkah nekat: melarikan diri pada malam hari mengikuti laki-laki yang dicintainya.
Tema-tema seperti perjuangan hidup di perantauan, keteguhan perempuan mempertahankan pilihan, serta kesetiaan terhadap nilai diri turut memperkaya cerita dan memberikan lapisan moral yang kuat.
Tokoh-tokohnya digarap dengan cukup mendalam. Siti Risani tampil sebagai gadis halus dan terampil, namun menyimpan keberanian besar. Keputusannya kabur di tengah malam menunjukkan tekadnya menjaga hak untuk menentukan masa depan. Ia adalah representasi perempuan Minang yang hidup dalam kungkungan adat, tetapi tidak kehilangan suara.
Sementara itu, Sutan Nasarudin digambarkan sebagai laki-laki cerdas, pekerja keras, dan bertanggung jawab. Pekerjaannya sebagai kerani gudang BPM dan sikapnya yang penuh hormat menjadikannya figur ideal pada masanya.
Orang tua dan kaum Risani ditampilkan bukan sebagai antagonis, melainkan gambaran keluarga adat yang memegang prinsip kehormatan dan perjodohan, meski kerap mengabaikan kehendak pribadi anak perempuan.
Alur cerita bergerak maju dengan rapi. Pembaca diperkenalkan pada sosok Risani di Kualo Aia Merah, lalu pada pertemuannya dengan Sutan Nasarudin melalui adegan bendi yang memantik benih cinta. Hubungan mereka berlanjut melalui surat-menyurat hingga konflik besar muncul dalam bentuk perjodohan.
Puncak cerita terjadi saat Risani melarikan diri, kemudian hidup bersama Nasarudin di Medan dalam kondisi serba kekurangan. Penyelesaian cerita diwarnai keberhasilan Nasarudin memperoleh pekerjaan tetap dan kehidupan mereka yang akhirnya membaik. Perjalanan ini membangun ketegangan emosional sekaligus memperlihatkan dinamika hidup yang realistis.
Latar tempat terbentang dari kampung halaman di Kualo Aia Merah dan Kampung Dalam hingga Kota Medan sebagai ruang perjuangan ekonomi di perantauan. Latar waktu merujuk pada masa kolonial, terlihat dari keberadaan BPM sebagai perusahaan minyak Belanda.
Dari sisi sosial, cerita menggambarkan kuatnya adat, struktur matrilineal, peran mamak dalam keputusan keluarga, serta tradisi merantau yang menjadi identitas masyarakat Minang. Gaya bahasa kaba memperkuat keindahan cerita. Penggunaan pantun, pepatah, perumpamaan, dan irama khas tuturan Minang memberikan nuansa estetis dan kultural yang kuat.
Dari sisi ekstrinsik, kaba ini memotret nilai-nilai budaya Minangkabau, terutama tekanan adat dalam perjodohan, nilai malu dan kehormatan, serta posisi perempuan dalam struktur matrilineal yang sering kali tidak sepenuhnya memberi ruang pada suara pribadi.
Realitas sosial masa kolonial, meningkatnya urbanisasi, serta pertentangan antara adat lama dan gagasan modern seperti kebebasan memilih pasangan turut tercermin dalam cerita.
Melalui penggambaran yang halus, pengarang menyampaikan kritik terhadap praktik perjodohan yang mengabaikan perasaan perempuan dan adat yang terlalu kaku menghadapi perubahan zaman. Pelarian Risani menjadi simbol bahwa perempuan juga memiliki hak menentukan kebahagiaan mereka sendiri.
Kaba Siti Risani memiliki kelebihan dalam penggambaran budaya Minangkabau yang kaya, konflik yang kuat, karakter yang hidup, serta gaya bahasa yang indah. Meski beberapa bagian terasa repetitif (ciri khas kaba lama) dan tokoh pendukung kurang mendapatkan ruang, kekurangan itu tidak mengurangi bobot pesan dan nilai sastra yang disampaikan.
Secara keseluruhan, Siti Risani bukan hanya kisah cinta yang menggugah, tetapi juga narasi tentang keberanian, keteguhan hati, dan perjuangan seorang perempuan Minang menghadapi tekanan adat dan realitas sosial.
Cerita ini menjadi cermin masyarakat Minangkabau dengan adat yang kuat, peran penting perempuan dalam keluarga matrilineal, serta tradisi merantau sebagai jalan hidup. Inilah yang membuat Siti Risani tetap relevan dipelajari, baik sebagai karya sastra maupun sebagai rekaman sosial budaya dari sebuah masyarakat yang terus bergerak mengikuti zaman. (*).
Penulis:
Sasmita Zulianti
(Mahasiswi Sastra Minangkabau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas)
Disclaimer:
Setiap opini, artikel, informasi, maupun berupa teks, gambar, suara, video, dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab masing-masing individu, dan bukan tanggung jawab Mediasulsel.com.










