OPINI—Hampir genap dua 2 tahun genosida terhadap Gaza terus bergulir. Dilansir dari Anadoluanjasi.com (27/08/2025) Kementerian Kesehatan Palestina menyampaikan bahwa setidaknya 62.819 warga Palestina tewas dalam perang genosida Israel di jalur Gaza sejak Oktober 2023. Serangan saat ini tak hanya fisik berupa senjata, akan tetapi juga pembunuhan melalui pelaparan sistemik.
Namun di tengah gempuran genosida yang tiada henti, sungguh anak anak Gaza membuat kagum dunia. Mereka tetap semangat untuk menuntut ilmu, berprestasi dan tidak kehilangan impian mereka untuk menjadi seperti apa yang mereka harapkan.
Anak-anak Gaza menjadi bukti bagi kita, ditengah gelapnya kehidupan, bahkan di bawah reruntuhan, mereka masih punya cahaya dalam menjalani kehidupan. Keterbatasan yang ada tidak menghalangi mereka untuk tetap belajar dan berkarya. Bahkan dibalik reruntuhan mereka tetap bermain seperti biasanya.
Pembentukan generasi penjaga masjid Al Aqsa tetap dilakukan oleh para orang tua, para ibu-ibu bahkan nenek-nenek di Gaza. Pendidikan Qur’ani yang diberikan oleh para ibu di Gaza akan membentuk generasi yang berkepribadian Islam penjaga Al Aqsamterus diupayakan.
Ketika dunia mereka dengan kehancuran di depan mata namun dengan keteguhan dan kekuatan para ibu di Gaza menjadi benteng pertahanan anak-anak mereka.
Tidak hanya itu, dalam keterbatasan yang ada anak-anak tetap melakukan kewajiban dalam kondisi apapun. Perang yang terjadi bukan sebuah alasan untuk meninggalkan kewajiban. Perang bukan juga alasan untuk berhenti belajar seperti yang lain, bahkan anak-anak di Gaza berhasil menyelesaikan pendidikan tanpa didampingi orangtua mereka yang telah syahid.
Sementara itu disisi lain dibalik keteguhan anak-anak Gaza ini ada fenomena duck syndrome yang berjangkit pada mahasiswa yang digambarkan sebagai kondisi mahasiswa Universitas Stanford yang tampak tenang tetapi sebenarnya sedang berada dibawah tekanan besar.
Kondisi yang sama tentang fenomenal duck syndrome juga merambah di seluruh kampus dunia, termasuk di Indonesia, yang dimana rata-rata mahasiswa berupaya memenuhi ekspektasi mereka yang tinggi terhadap diri sendiri dan lingkungan sekitar.
Akibatnya tekanan mental pun terjadi namun keadaan diri tidak sanggup menghadapi. Akibatnya di balik tampilan baik-baik saja ternyata mengalami tekanan, stres, dan kelelahan emosional.
Ditambah ekspektasi tinggi dari orang lain yang membuat semua harus diikuti, budaya hidup yang harus ideal, kesuksesan berdasarkan materi, dan tekanan akademik serta persaingan ini mengakibatkan tidak ada standar dari diri sendiri tetapi dari orang lain
Kondisi yang dialami anak-anak Gaza berbanding terbalik dan sangat jauh berbeda pada mahasiswa yang berada dalam kondisi dalam tekanan sistem kapitalisme.
Dalam sistem kapitalisme tuntutan dalam keberhasilan dalam hidup sebagai standar yang harus dipenuhi dan itu tidak jauh-jauh dengan keberhasilan materi semata. Maka kondisi ini membuat kalangan anak muda yang dijerat oleh sistem kapitalisme banyak mengalami stress maupun depresi.
Ditambah dengan kondisi lemah iman, dan tidak adanya pemahaman tentang hakikat hidup ( dari mana, untuk apa, dan akan kemana), begitupula tentang prioritas amal, bahkan rendahnya kesadaran politik bahwa sistem sekuler Kapitalisme hari ini yang menjadikan krisis multidimensi sehingga tidak bisa dihadapi secara individual.
Sistem kapitalisme menjadikan manusia yang bersifat individualisme, tidak peka terhadap lingkungan sekitar yang tidak baik-baik saja. Kapitalisme menjadikan standar kebahagiaan adalah dari keberhasilan meraih materi sebanyak-banyaknya. Sehingga hal ini membuat manusia sibuk dengan dunianya.
Berbeda dengan sistem islam, dalam sistem islam dengan pemahaman aqidah yang kuat serta paham tujuan hidup yang sesungguhnya sesuai tujuan penciptaan, kebahagiaan tertinggi bukan untuk meraih materi sebanyak-banyaknya tetapi tujuan hidup yang sesungguhnya mencari ridho Allah. Tujuan bahwasanya seorang muslim hidup didunia untuk beribadah kepada Allah.
Allah SWT berfirman sdalah surat Adz Dzariyat ayat 56 yang artinya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”
Dengan adanya sistem islam maka penyatuan kekuatan kaum muslimin untuk mengakhiri perang di Gaza akan segera tiba, yang dimana sistem islam mampu mengomando tentara kaum muslimin untuk berjihad demi mengakhiri Zionis AS. Begitupula dengan anak-anak yang ada di Gaza, mereka akan merasakan kembali kehidupan yang indah dalam naungan syariat Islam.
Sistem islam mampu menjaga umat ini dari musuh-musuh islam, tidak ada lagi yang namanya penindasan, karena Islam kaffah sebagai perisai umat yang siap sedia menjaga. Sehingga dengan begitu perjuangan ini membutuhkan dukungan umat, termasuk para pemuda/mahasiswa muslim.
Generasi Gaza menunjukan bahwa keteguhan lahir dari iman, bukan dari keadaan yang serba mudah. Mereka terus belajar, tetap bercita cita, dan berprestasi di tengah perang. Sebaliknya, generasi muda di negeri negeri aman justru terjerat stres dan depresi akibat standar hidup kapitalis
Sudah saat nya pemuda muslim menjadikan Gaza bukan hanya objek simpatik semata, tetapi juga teladan dalam perjuangan. Jalan keluar dari persoalah krisis moral generasi tidak terletak pada motivasi instan, melainkan pada perubahan sistem menuju Islam Kaffah. Generasi muda akan lahir sebagai pribadi tangguh, umat pun akan kembali merasakan kemuliaan hidup dalam Keridhaan Allah SWT. (*)
Wallahu a’lam Bissawab.
Penulis: Sriwidarti, S.Pd (Guru SMA)
***
.
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

















