Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Kebijakan Pemblokiran Rekening Rakyat Ambigu, Islam Menjaga Hak Rakyat

540
×

Kebijakan Pemblokiran Rekening Rakyat Ambigu, Islam Menjaga Hak Rakyat

Sebarkan artikel ini
Kebijakan Pemblokiran Rekening Rakyat Ambigu, Islam Menjaga Hak Rakyat
Emi Masturah, S.Pd (Pengamat Sosial Masyarakat)

OPINI—Di tengah ketidakpastian ekonomi, pemerintah justru mengeluarkan kebijakan yang meresahkan: memblokir rekening bank milik masyarakat hanya karena tidak aktif dalam hitungan bulan.

Kebijakan ini bukan hanya membingungkan, tetapi mencerminkan kekacauan logika dan ketidakpekaan terhadap kondisi sosial masyarakat. Seolah-olah semua warga yang tidak menggunakan rekeningnya selama 3 hingga 12 bulan layak dicurigai dan dibekukan rekeningnya tanpa proses hukum dan tanpa sosialisasi yang layak.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut temuan mereka: lebih dari 140.000 rekening tidak aktif selama lebih dari 10 tahun, dengan nilai mencapai Rp428 miliar.

Alasan pemblokiran, menurut PPATK, adalah untuk mencegah penyalahgunaan dalam tindak pidana seperti pencucian uang dan judi online. Namun yang dipersoalkan publik bukan tujuannya, tetapi cara dan dampaknya. Mengapa pendekatannya justru mengorbankan hak rakyat yang tak bersalah?

Reaksi masyarakat pun tak terbendung. Banyak warga, terutama lansia, berbondong-bondong menarik uang dari bank karena takut rekening mereka tiba-tiba dibekukan. Seorang teller bank di Jakarta Barat bahkan mengaku menerima keluhan dari para nasabah berusia di atas 50 tahun yang tak mengerti kenapa tabungan mereka yang hanya digunakan untuk menerima kiriman anak-anak mereka bisa dianggap mencurigakan.

Keputusan Pemblokiran yang Ambigu dan Melampaui Kewenangan

Rekening yang bersifat pribadi—disiapkan untuk masa tua, pendidikan anak, atau bahkan sekadar menyimpan uang sambil mencari pekerjaan—tiba-tiba berada dalam kendali negara tanpa pemberitahuan. Ironis, karena ini terjadi di negara demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.

PPATK sejatinya bertugas menganalisis transaksi keuangan mencurigakan, bukan bertindak sebagai lembaga eksekutor yang memblokir rekening tanpa proses pengadilan. Kebijakan ini terasa menyeluruh dan sembrono, karena tak membedakan antara pelaku kejahatan keuangan dan masyarakat biasa yang tak aktif bertransaksi.

Alih-alih melindungi, negara justru menebar ketakutan atas hak milik rakyat. Apalagi di saat yang sama, negara mengeluarkan kebijakan soal tanah terlantar yang bisa diambil alih jika tidak digunakan selama dua tahun, sementara pengangguran yang jelas-jelas terlantar justru diabaikan.

Semua ini menunjukkan wajah asli sistem kapitalisme yang tidak benar-benar berpihak pada rakyat. Dalam sistem ini, negara bisa saja bertindak atas nama efisiensi dan keamanan, namun yang jadi korban adalah masyarakat kecil.

Islam Menjaga Hak Milik dengan Keadilan

Islam hadir sebagai sistem yang menjaga dan melindungi hak kepemilikan pribadi. Negara tidak boleh semena-mena mengambil, membekukan, atau mengatur harta rakyat tanpa dasar syariat. Karena dalam pandangan Islam, merampas hak orang lain—sekecil apa pun—adalah kezaliman yang besar di mata Allah SWT.

Rasulullah SAW bersabda, “Siapapun yang mengambil hak orang muslim dengan sumpahnya, Allah menentukan neraka baginya dan mengharamkan surga untuknya.” Lalu ada yang bertanya, “Walaupun hanya sebatang siwak, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Ya, walaupun hanya sebatang siwak.” (HR Muslim)

Dalam sejarah Islam, Khalifah Umar bin Khattab pernah menegur gubernurnya yang memaksa non-Muslim menjual rumahnya demi pembangunan masjid. Umar dengan tegas menolak segala bentuk pelanggaran atas hak milik pribadi, bahkan terhadap non-Muslim. Inilah contoh negara yang adil dan menjamin keamanan harta rakyat tanpa diskriminasi.

Islam tidak membekukan harta rakyat dengan alasan-alasan umum seperti judi online atau pencucian uang. Pelanggaran hukum tetap harus ditindak, tapi dengan proses yang adil dan tidak menzalimi yang tidak bersalah.

Islam menjamin rasa aman terhadap harta rakyat, serta menempatkan negara sebagai pelindung, bukan pengancam. Untuk itu, penerapan Islam dalam setiap lini kehidupan—politik, ekonomi, hukum, dan sosial—adalah jaminan terwujudnya keadilan hakiki bagi seluruh umat manusia. (*).

 

Wallahu a’lam bishawab.

 

Penulis: Emi Masturah, S.Pd (Pengamat Sosial Masyarakat)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!