Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Keran Ekspor Pasir Laut Dibuka, Dosa Ekologi Semakin Bertambah

543
×

Keran Ekspor Pasir Laut Dibuka, Dosa Ekologi Semakin Bertambah

Sebarkan artikel ini
Keran Ekspor Pasir Laut Dibuka, Dosa Ekologi Semakin Bertambah
Nur Indah (Aktivis Mahasiswa Cinta Quran)

OPINI—Dua dekade berlalu, keran ekspor pasir laut kembali dibuka. Hal ini bermula sejak tahun 2023 di mana pemerintah menetapkan peraturan pemerintah PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut.

Dalam peraturan pemerintah tersebut, disebutkan bahwa pengelolaan sedimentasi laut bertujuan untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan jalur pelayaran. Hasil sedimentasi dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan reklamasi hingga ekspor jika kebutuhan dalam negeri telah terpenuhi (peraturan.bpk.go.id).

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

PP Nomor 26 Tahun 2023 ini disambut baik, hal tersebut dapat dibuktikan dengan terbitnya Permendag Nomor 20 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Permendag Nomor 22 Tahun 2023 tentang barang yang dilarang untuk diekspor.

Jelas bahwa peraturan pemeritah ini bertentangan dengan kebijakan pada masa Pemerintahan Presiden Megawati yang melarang kegiatan ekspor pasir laut sejak tahun 2003 melalui SK Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2002 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut (ugm.ac.id, 199/2024).

Kebijakan diperbolehkannya ekspor pasir laut ini mendapatkan banyak tanggapan dari masyarakat. Dr. Fahmy Radhy, M.B.A. yang merupakan pengamat ekonomi dan energi UGM menyatakan bahwa pengerukan pasir laut dapat berdampak buruk bagi ligkungan salah satunya berpotensi menjadi pemicu tenggelamnya pulau yang akan membahayakan masyarakat pesisir.

Beliau juga menyampaikan bahwa pemasukan negara dari hasil ekspor laut termasuk pasir laut sangat kecil dan tidak sebanding dengan biaya ekspor yang dikelurkan serta dampak lingkungan yang ditimbulkan (ugm.ac.id, 19/9/2024).

Jelas pernyataan tersebut memiliki landasan yang kuat mengingat pelarangan ekspor pasir laut tahun 2003 disebabkan oleh dampak lingkungan yang ditimbulkan, salah satunya tenggelamnya Pulau Sebaik di Karimun.

Contoh lain dari dampak penambangaan pasir adalah yang terjadi di perairan Makassar, Sulawesi Selatan. Selain berdampak pada hasil tangkapan nelayan di pulau Kodingareng, penambangan pasir laut juga menyebabkan abrasi yang merusak 27 rumah dan fasilitas umum di pesisir pulau.

Afdillah yang merupakan Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia menuturkan bahwa penambangan pasir dapat merusak wilayah tangkap nelayan, menurunkan produktivitas, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan kelangkaan pangan. Ia juga mengkritik PP 26/2023 sebagai greenwhashing, pembungkusan kebijakan merusak dengan dalih pemulihan lingkungan.

“Sampai hari ini kita belum melihat bagaimana wujud upaya pemulihan lingkungan yang digadang-gadang sebagai tujuan utama dari peraturan tersebut, justru kita disuguhi oleh aturan-aturan yang melancarkan usaha ekspor pasirnya bukan pemulihan lingkungannya” jelas Afdillah (greenpeace.org, 16/9/2024).

Bukannya mempertimbangkan berbagai kritik terhadap kebijakan tersebut, pemerintah justru tengah menyeleksi perusahaan yang nantinya akan menjalankan usaha ekspor pasir.

Tercatat sudah ada 66 perusahaan yang mendaftarkan izin pengelolaan hasil sedimentasi ke Kementrian Kelautan dan Perikanan. ‘Pembersihan’ hasil sedimentasi laut tersebut akan dilakukan di beberapa wilayah diantaranya tersebar di perairan Laut Jawa, Selat Makassar, Natuna, dan Natuna Utara (tempo.co, 14/9/2024).

Ekspor pasir laut merupakan gambaran nyata dari menjual tanah air. Kebijakan ekspor pasir laut ini tidak cukup dipandang secara parsial baik dari segi ekonomi, lingkungan, dan sosial semata. Tetapi diperlukan pandangan yang menyeluruh dan saling terintegrasi sehingga permasalahan lingkungan utamanya akibat penambangan pasir laut dapat diselesaikan dari akarnya.

Persoalan pemanfaatan sumber daya alam seperti tambang, hutan, hingga sumber daya laut (termasuk pasir laut) seringkali menimbulkan problematika. Masalah yang ditimbulkan tergolong cukup kompleks dan melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang sistemis untuk menyelesaikan persoalan.

Kebanyakan negara-negara di dunia mengadobsi sistem ekonomi kapitalis yang mewajarkan individu untuk memiliki sumber daya sebesar-besarnya. Inilah titik kritis yang harus diubah agar pemanfaatan sumber daya alam yang melimpah dapat dilakukan secara optimal demi kemaslahatan manusia dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan.

Koordinator Greenfaith Indonesia yaitu Hening Purwati Parlan menyatakan bahwa upaya pertama yang harus dilakukan dalam melindungi lingkungan hidup adalah meyakini bahwa bumi sebagai ciptaan Allah Swt. (umj.ac.id, 9/6/2024). Karena bumi merupakan ciptaan Allah Swt., maka harus dijaga sesuai dengan tuntunannya.

Islam merupakan agama yang mengatur segala lini kehidupan baik individu, masyarakat, dan negara. Dalam sistem ekonomi Islam telah diatur konsep kepemilikan yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.

Kepemilikan individu mencakup harta benda yang diperoleh dan dimanfaatkan sesuai syariat. Kepemilikan individu di dalam Islam sangat dihormati dan dilindungi selama tidak merugikan orang lain.

Kepemilikan umum merupakan kepemilikan yang bebas dipergunakan oleh masyarakat umum. Dalam sebuah hadist, Rasulullah saw bersabda:

“Kaum muslimin berserikat atas tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).

Kepemilikan umum ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia dan tidak boleh diprivatisasi untuk kepentingan individu atau kelompok. Barang tambang (sumber daya alam) ini dikelompokkan menjadi dua yaitu barang tambang yang jumlahnya terbatas dan barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas.

Barang tambang yang jumlahnya terbatas masuk kepemilikan pribadi dan harus dikeluarkan zakatnya. Barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas merupakan kepemilikan umum yang tidak boleh dikuasai individu. Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadist riwayat At-Tirmidzi yang diriwayatkan dari Abyadh bin Hammal:

“Sesungguhnya ia pernah meminta kepada Rasulullah saw. untuk mengelola tambang garamnya, lalu beliau memberikannya. Setelah ia pergi ada seorang dari majelis tersebut bertanya, “Wahai Rasulullah, tahukah engkau apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir” Rasulullah bersabda, “Kalau begitu, cabut kembali tambang tersebut darinya”.

Kepemilikan negara mencakup harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim, sementara pengelolaannya menjadi wewenang khalifah, seperti fa’i, kharaj, jizyah, dan sebagainya.

Dalam teknis pemanfaatan sumber daya tersebut, Islam memandang bahwa keberadaan para pakar di bidangnya sangat penting dan pendapatnya tidak jarang dijadikan sebagai landasan hukum dalam suatu perkara.

Penerapan hukum Islam, bukan semata-mata demi kesejahteraan manusia, melainkan bagaimana kita menyadari possi kita sebagai hamba yang taat untuk meraih ridho Allah. Wallahualam. (*/4dv)

 

Penulis: Nur Indah (Aktivis Mahasiswa Cinta Quran)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!