Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Bencana Berulang, Bukti Sistem Kita Hanya Menambal Luka

695
×

Bencana Berulang, Bukti Sistem Kita Hanya Menambal Luka

Sebarkan artikel ini
Megawati (Aktivis Dakwah dan Pemerhati Sosial)
Megawati (Aktivis Dakwah dan Pemerhati Sosial)

OPINI—Setiap kali hujan turun lebih lama, masyarakat seperti menahan napas. Bukan karena kagum pada rintiknya, tetapi karena takut pada kabar yang akan menyusul. Dan benar saja pekan ini Indonesia kembali diguncang dengan bencana yang seolah tidak ada jedanya. Tanah longsor melanda Cilacap dan Banjarnegara menelan rumah dan harapan.

Di saat yang sama, banjir merendam Empat wilayah kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, juga Sulawesi Tengah, Aceh, dan Sumatra Barat. Bahkan warga Kepulauan Seribu kembali bergulat dengan banjir rob yang datang tanpa mengetuk. (BNPB.com/25/11/2025)

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Bencana ini datang silih berganti, seolah negeri ini tidak pernah diberi jeda untuk bernapas. Namun satu pertanyaan besar pun mencuat, Apakah semua ini sekadar musibah alam, ataukah ada kesalahan serius dalam tata kelola negeri yang terus berulang?

Tudingan Musibah Alam, Narasi yang Tidak Menyentuh Akar Masalah

Setiap kali bencana terjadi, masyarakat disuguhi narasi yang cenderung menyederhanakan persoalan “Ini adalah takdir alam.” Padahal, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar bencana khususnya banjir, longsor, dan rob, sangat terkait dengan aktivitas manusia dan tata kelola negara.

Kerusakan hutan, pembangunan yang mengabaikan daya dukung lingkungan, alih fungsi lahan tanpa kontrol, hingga lemahnya mitigasi adalah penyebab nyata yang tidak bisa disembunyikan di balik istilah “musibah”.

Karena itu, menyalahkan alam justru menutupi kesalahan sistemik yang harusnya diakui dan diperbaiki.

Ketika Kerusakan Lingkungan Jadi Bukti Gagalnya Sistem Kapitalisme-Sekuler

Akar persoalan ini tidak lepas dari sistem kapitalisme-sekuler yang menjadi dasar kebijakan negeri ini. Dalam sistem ini, alam diperlakukan sebagai komoditas yang harus diperas sebanyak mungkin demi pertumbuhan ekonomi.

Investor diberi karpet merah, sementara rakyat kecil menjadi tameng terakhir ketika dampak kerusakan muncul. Lahan hijau digusur demi proyek industri, perumahan, atau tambang. Ketika daya tampung tanah hilang, longsor dan banjir adalah konsekuensi yang tak terhindarkan.

Ironisnya, solusi yang diberikan selalu bersifat reaktif, bantuan logistik, perbaikan darurat, pembangunan tanggul sementara. Semua ini hanyalah solusi tambal sulam—sekadar mengusap luka tanpa mengobati penyakitnya.

Standar Ganda Sistem : Ketika Masyarakat Diminta Sabar, Negara Melupakan Amanah

Masyarakat selalu diminta sabar menghadapi musibah, padahal negara memiliki kewajiban menjaga keselamatan rakyat sejak sebelum bencana terjadi. Padahal negara seharusnya menjaga hutan dan area resapan, mengatur tata ruang berbasis keselamatan, membangun sistem mitigasi jangka panjang, dan menutup celah eksploitasi lingkungan.

Tetapi kewajiban ini tenggelam di tengah logika kapitalisme yang lebih memprioritaskan cuan dibanding keberlanjutan alam. Inilah standar ganda yang menyakitkan.

Sistem Islam : Tata Kelola yang Menjaga Alam dan Manusia

Berbeda dengan logika kapitalisme-sekuler, Islam memandang alam sebagai amanah yang harus dijaga. Negara wajib melindungi sumber daya alam, mengelola hutan dan air dengan penuh tanggung jawab, serta memastikan pembangunan tidak mengorbankan keselamatan rakyat.

Dalam sistem Islam, eksploitasi berlebihan dilarang, tata ruang diatur sesuai maslahat, dan mitigasi bencana menjadi prioritas negara, bukan sekadar program musiman.

Islam juga menegakkan distribusi kekayaan yang adil sehingga rakyat tidak terpaksa tinggal di daerah rawan bencana akibat keterbatasan ekonomi.

Bencana adalah alarm, bukan takdir yang tak bisa diubah. Bencana yang berulang hari ini adalah cermin kegagalan sistem yang kita pakai. Selama sistem tambal sulam ini dipertahankan, penderitaan akan terus berulang.

Perubahan mendasar hanya bisa terjadi ketika kita berani meninggalkan sistem yang merusak, dan kembali pada sistem hidup yang menjunjung keselamatan manusia dan kelestarian alam—sistem Islam yang diterapkan secara kaffah.

Wallahua‘lam bishshawab.


Penulis:
Megawati
(Aktivis Dakwah, Pemerhati Sosial)

Disclaimer:
Setiap opini, artikel, informasi, maupun berupa teks, gambar, suara, video, dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab masing-masing individu, dan bukan tanggung jawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!