Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Anak dan Dunia Digital: Dampak Negatif yang Terabaikan

341
×

Anak dan Dunia Digital: Dampak Negatif yang Terabaikan

Sebarkan artikel ini
Anak dan era digital
ILUSTRASI (dok. Mediasulsel.com)

OPINI—Di era digital saat ini, anak-anak dan remaja berada dalam lingkaran ketergantungan terhadap ruang digital, dengan sosial media sebagai salah satu faktor utama yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, ruang digital seolah menjadi tempat kedua bagi banyak anak, di mana mereka menghabiskan sebagian besar waktu mereka, baik untuk berinteraksi dengan teman sebaya, mencari hiburan, ataupun sekadar mengikuti tren yang ada.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Namun, banyak pihak yang menganggap sosial media sebagai penyebab utama masalah yang dihadapi anak-anak dan remaja, seperti penurunan kualitas pendidikan, permasalahan kesehatan mental, dan perilaku menyimpang lainnya.

Namun, dalam menganalisis masalah ini lebih dalam, kita perlu menyadari bahwa ruang digital dan sosial media bukanlah penyebab utama dari permasalahan tersebut. Sosial media hanya mempertebal emosi dan perasaan anak-anak terhadap hal-hal yang sudah ada dalam diri mereka.

Jika anak sudah memiliki ketidakpastian dalam hidup, keresahan, atau masalah dengan diri mereka, sosial media hanya akan memperburuk keadaan dengan menampilkan gambaran hidup yang seringkali jauh dari kenyataan, yang akhirnya menambah tekanan bagi mereka.

Fasilitator Sidina Community, Adhia Larasati, saat siaran di PRO 1 RRI Bandung, menjelaskan bahwa cyberbullying memiliki definisi serupa dengan bullying pada umumnya. Secara prinsip, ini adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan berulang, baik oleh individu maupun kelompok, kepada seseorang yang posisinya lebih lemah. (rri.co.id, 11/12/25)

Flexing ketika menjadi gaya hidup yang berlebihan dan dianggap sebagai ukuran harga diri, di situlah masalah dimulai. Media sosial pada akhirnya memunculkan standar kesuksesan palsu: yang kaya dan terlihat glamor dianggap lebih bahagia. (kompasiana.com, 08/12/25)

Larangan media sosial di Australia untuk anak di bawah usia 16 tahun resmi dimulai pada Rabu (10/12/2025), menandai upaya pertama di dunia untuk melindungi anak-anak dari kecanduan ponsel dan bahaya daring.

Mulai sekarang, sekelompok platform media sosial akan menghadapi denda hingga 50 juta dollar Australia (sekitar Rp 554 miliar) jika mereka tidak mengambil “langkah-langkah yang diperlukan” untuk mencegah anak-anak dan remaja di bawah usia 16 tahun memiliki akun media sosial. Tapi Pemerintah Australia mengakui larangan tersebut tidak akan sempurna. (kompas.com, 10/12)

Sekularisme-Kapitalisme: Akar Masalah yang Terabaikan

Masalah utama yang menyebabkan banyaknya perilaku menyimpang dan krisis identitas di kalangan anak dan remaja sesungguhnya tidak terletak pada media sosial itu sendiri, tetapi pada penerapan sekularisme dan kapitalisme yang menguasai tatanan sosial dan budaya kita. Kesimpulannya, pembatasan akses sosmed usia tertentu bukan menjadi solusi yang solutif.

Dalam sistem ini, dunia pendidikan, budaya, dan bahkan pola pikir kita dibentuk oleh ideologi yang mengutamakan materialisme dan individualisme.

Kapitalisme, dengan segala nilai konsumtifnya, mendorong anak untuk mengejar pencapaian material dan status sosial, sementara sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari mengabaikan pembentukan karakter dan keimanan yang kuat pada diri anak.

Sistem pendidikan yang tidak berbasis pada nilai-nilai spiritual, tetapi lebih pada pencapaian akademik dan ekonomi, menciptakan generasi yang tidak memiliki pegangan moral yang jelas.

Tanpa pondasi agama yang kokoh, anak-anak menjadi lebih mudah terpengaruh oleh pengaruh negatif dari media sosial, seperti pencitraan diri yang berlebihan, kecemasan sosial, dan keinginan untuk memenuhi standar kecantikan atau kesuksesan yang ditetapkan oleh media.

Dengan kata lain, sosial media bukanlah akar dari masalah ini, tetapi justru mencerminkan gejala dari ideologi yang telah lama mengakar dalam masyarakat.

Pembatasan Sosial Media: Solusi Pragmatik yang Tidak Komprehensif

Dalam menghadapi fenomena ini, banyak orang tua dan pemerintah yang mencoba untuk membatasi akses anak terhadap sosial media. Meskipun niat tersebut dapat dipahami, pembatasan ini sebenarnya adalah solusi yang bersifat pragmatis dan tidak menyelesaikan akar masalahnya. Pembatasan akses sosial media hanya berfokus pada aspek media itu sendiri, tanpa menyentuh ideologi yang melingkupi perilaku anak.

Jika kita hanya membatasi akses anak terhadap media sosial, tanpa mengubah pemahaman mereka tentang kehidupan, agama, dan moralitas, maka kita tidak akan bisa menciptakan perubahan yang berarti.

Pembatasan ini hanya akan mengalihkan perhatian sementara, tetapi tidak akan mengatasi krisis nilai dan keimanan yang terjadi pada anak-anak kita. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi yang lebih komprehensif, yang tidak hanya membatasi media, tetapi juga membangun karakter dan pemahaman ideologi yang kokoh pada diri anak.

Perilaku manusia dipengaruhi oleh pemahamannya, bukan oleh media sosial. Sosial media adalah sebuah produk dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan sebagai bagian dari madaniyah, ia mencerminkan ideologi yang melingkupinya.

Dalam hal ini, sosial media bukanlah penyebab utama dari masalah perilaku, tetapi hanya mencerminkan nilai-nilai dan pemikiran yang telah terbentuk dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan yang ada, kita harus mulai dengan mengubah ideologi yang membentuk perilaku anak-anak kita.

Pendidikan harus menjadi benteng pertama dalam membangun karakter dan keimanan anak. Negara harus membangun sistem pendidikan yang berbasis pada nilai-nilai agama yang kuat, yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter dan moralitas.

Dengan membekali anak-anak dengan pemahaman yang benar tentang agama dan kehidupan, mereka akan lebih mampu untuk menghadapi godaan dunia digital dan tetap bertahan pada prinsip-prinsip yang benar.

Pendidikan ini harus dimulai dari rumah, dengan orang tua sebagai pendidik pertama, dan kemudian diteruskan di sekolah dengan kurikulum yang mendukung penguatan nilai-nilai agama dan moral.

Penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Negara Khilafah, sebagai sistem pemerintahan yang berlandaskan pada syariat Islam, akan menciptakan kondisi yang ideal untuk membentuk generasi yang taat dan tangguh.

Dalam sistem Khilafah, pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik semua akan berlandaskan pada prinsip-prinsip Islam yang menekankan pada keseimbangan antara dunia dan akhirat.

Dengan menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak akan tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai yang benar dan dapat membentengi diri mereka dari pengaruh negatif dunia digital.

Wallahu’alam bi shawab. (*)

Sri Rahmayani, S.Kom (Aktivis Muslimah)
Sri Rahmayani, S.Kom (Aktivis Muslimah)

Penulis:
Sri Rahmayani, S.Kom
(Aktivis Muslimah)

Disclaimer:
Setiap opini, artikel, informasi, maupun berupa teks, gambar, suara, video, dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab masing-masing individu, dan bukan tanggung jawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!