Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Remaja Pelaku Kekerasan, Nasib Negeri di Ambang Kehancuran

1206
×

Remaja Pelaku Kekerasan, Nasib Negeri di Ambang Kehancuran

Sebarkan artikel ini
Sri Rahmayani, S.Kom (Aktivis Muslimah)
Sri Rahmayani, S.Kom (Aktivis Muslimah)

OPINI—Fenomena meningkatnya kekerasan yang dilakukan oleh remaja di Indonesia akhir-akhir ini menjadi cermin buram bagi masa depan bangsa. Berita tentang tawuran antar pelajar, bullying di sekolah, geng motor, bahkan tindak kriminal seperti pembunuhan dan pelecehan seksual oleh anak di bawah umur baik di linkungan keluarga sendiri maupun sosial masyarakat kini begitu mudah kita temukan di berbagai media.

Ironisnya, pelaku kekerasan itu bukan lagi orang dewasa yang terjebak dalam kerasnya kehidupan, melainkan anak-anak muda yang sejatinya masih duduk di bangku sekolah dan menjadi harapan bangsa. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: ke mana arah moral generasi kita, dan apakah bangsa ini tengah berjalan menuju jurang kehancuran?.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Fakta yang Mengkhawatirkan

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam lima tahun terakhir terdapat peningkatan signifikan dalam kasus kekerasan yang melibatkan remaja, baik sebagai pelaku maupun korban. Misalnya, pada tahun 2023, tercatat lebih dari 1.000 kasus kekerasan antar pelajar di seluruh Indonesia.

Kasus ini meliputi kekerasan fisik, kekerasan verbal, perundungan siber, hingga kekerasan seksual. Fenomena ini menunjukkan bahwa remaja kita bukan hanya menjadi korban dari sistem yang rapuh, tetapi juga mulai menjadi pelaku aktif dalam rantai kekerasan sosial yang terus berulang.

Kasus remaja yang sakit hati disebut cucu pungut, yang dilakukan oleh remaja 16 tahun di Pacitan, Jawa Timur, tega membacok nenek angkatnya sendiri. Akibatnya, mengalami luka serius dan harus mendapatkan perawatan intensif di RS Pacitan (beritasatu.com 21/10/25).

Kasus lainnya terjadi di makassar yang selalu marak panah busur membabi buta.  Baru- baru ini dua anggota geng motor usia remaja diamankan polisi, karena membawa badik hingga busur panah. (detik.com 21/10/25).

Analisis Akar Masalah

Jika kita menelisik lebih dalam, akar persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari tiga aspek utama: keluarga sebagai orang terdekat remaja tersebut, lingkungan sosial sebagai tempat para remaja bergaul, dan ketiga kewajiban negara untuk memberikan hak remaja.

Aspek pertama, dari akar masalah utamanya adalah adanya sekularisme yang terus menjadi acuan sehingga menyingkirkan nilai agama dari kehidupan, membuat keluarga kehilangan landasan takwa.

Aspek kedua, lingkungan sosial dan budaya digital yang semakin bebas tanpa kontrol. Remaja hidup dalam dunia yang terhubung 24 jam dengan internet, di mana segala bentuk kekerasan dan keburukan dapat diakses dengan mudah.

Pengaruh konten negatif, budaya instan, dan hedonisme mendorong anak muda menilai kekerasan sebagai sesuatu yang “keren” atau “berani.” Tanpa kemampuan literasi digital dan filter moral, mereka mudah terseret arus. Kepedulian Masyarakat taka da lagi ada ketika melihat remaja yang rusak di depan mata selama itu bukan keluarga sendiri.

Aspek ketiga kewajiban negara untuk memberikan hak remaja. Aspek ini cakupannya lebih besar dari aspek-aspek sebelumnya. Negara sebagai pelaksana kebijakan kekuasaan yang ada, baik itu dari regulasi yang ada serta lembaga-lembaga perlindungan remaja tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Target Indonesia emas tidak sejalan dengan keseriusan dalam melindungi remaja sebagai genrasi penerus. terbukti tidak menyentuh akar masalah, karena hanya menindak secara hukum tanpa mengubah sistem yang rusak.

Nampak pada diberlakukannya pendidikan sekuler-liberal menumbuhkan kebebasan tanpa batas dan sikap individualistik yang merusak perilaku remaja. Sistem pendidikan di Indonesia masih berfokus pada pencapaian akademik semata, bukan pada pembinaan akhlak dan kepribadian mulia.

Materialisme menjadikan kebahagiaan bersifat duniawi, remaja lebih digirng pada pemuasan kesenagan belaka, baik dari fun, fashion dan food, sehingga tekanan hidup mudah memicu keretakan dan kekerasan.

Pandangan Islam terhadap Fenomena Ini

Dalam pandangan Islam, masa remaja adalah fase penting dalam kehidupan manusia. Rasulullah SAW bersabda: “Ambillah manfaat dari lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu…” (HR. Al-Hakim).

Masa muda adalah masa di mana semangat, tenaga, dan idealisme berada di puncaknya. Namun, jika tidak diarahkan dengan iman dan ilmu, maka energi itu bisa berubah menjadi kekuatan destruktif.

Islam memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi ganda — potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena itu, pendidikan iman dan akhlak menjadi pondasi utama.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Isra ayat 70: “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam…” Ini menunjukkan bahwa setiap manusia memiliki kemuliaan, namun kemuliaan itu hanya terjaga jika ia hidup dengan nilai-nilai ketuhanan.

Rasulullah SAW juga menegaskan pentingnya peran keluarga dalam membentuk karakter anak. Dalam hadis disebutkan: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Artinya, orang tua memegang peranan besar dalam menentukan arah moral dan spiritual anak. Ketika keluarga lalai dalam mendidik, maka fitrah suci anak bisa ternodai oleh pengaruh luar.

Dalam konteks sosial, Islam menekankan pentingnya lingkungan yang baik. Rasulullah SAW bersabda: “Perumpamaan teman yang baik dan teman yang buruk adalah seperti penjual minyak wangi dan tukang pandai besi…” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka, remaja harus diarahkan untuk memilih lingkungan yang positif dan menjauh dari pergaulan yang menjerumuskan pada kekerasan.

Solusi dari Perspektif Islam

Untuk mengatasi krisis moral remaja, diperlukan rekonstruksi menyeluruh yang berpijak pada nilai-nilai Islam, melibatkan semua unsur masyarakat — keluarga, sekolah, dan negara.

Revitalisasi Peran Keluarga

Orang tua harus kembali menjadi pendidik utama. Mereka bukan hanya memenuhi kebutuhan materi anak, tetapi juga spiritual dan emosional. Teladan adalah pendidikan paling efektif. Anak akan belajar tentang kesabaran, kasih sayang, dan tanggung jawab dari perilaku orang tuanya, bukan dari ceramah semata.

Pendidikan Islam membentuk kepribadian bertakwa dan berakhlak mulia, bukan sekadar orientasi duniawi, Sekolah perlu menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan kecerdasan moral.

Kurikulum hendaknya mengintegrasikan nilai-nilai Islam, bukan hanya pada mata pelajaran agama, tetapi juga dalam semua aspek kehidupan sekolah. Program mentoring, kajian akhlak, dan kegiatan sosial dapat membentuk kepekaan moral dan empati remaja terhadap sesama.

Negara sebagai pelindung (raa’in) menjamin kesejahteraan dan keadilan sehingga keluarga tidak tertekan ekonomi. Negara harus memastikan regulasi yang melindungi anak dari paparan kekerasan, baik di media maupun di lingkungan sosial. Konten digital harus diawasi lebih ketat, sementara program pembinaan remaja perlu diperluas.

Media massa pun memiliki tanggung jawab moral untuk tidak menjadikan kekerasan sebagai tontonan, tetapi sebagai pelajaran. Hukum sanksi Islam ditegakkan untuk memenjerakan pelaku sekaligus mendidik masyarakat agar hidup sesuai dengan syariat Islam.

Menyelamatkan Generasi, Menyelamatkan Negeri

Remaja hari ini adalah pemimpin masa depan. Jika mereka tumbuh dalam budaya kekerasan, maka kita sedang menyiapkan generasi yang kehilangan arah dan empati. Islam mengajarkan bahwa peradaban besar dibangun di atas akhlak yang mulia. Rasulullah SAW diutus bukan hanya untuk menyebarkan ilmu, tetapi untuk menyempurnakan akhlak manusia yang utama adalah merealisasikan syariat dalam bentuk intisusi negara.

Kehancuran suatu negara tidak selalu datang dari serangan luar, tetapi bisa bermula dari keruntuhan moral di dalamnya. Jika remaja, yang merupakan aset terbesar negara, kehilangan arah dan terjerumus dalam kekerasan, maka tanda-tanda kehancuran itu semakin nyata.

Karena itu, membina remaja berarti membangun masa depan. Dan masa depan negara hanya akan selamat jika generasinya kembali kepada nilai-nilai Islam. Hal tersebut aruslah sepaket antara sistem Islam yang akan diterapkan serta negara islam yang akan menrapkan dalam bingkai Khilafah. (*)

Wallahua’lam bi shawab

Penulis: Sri Rahmayani, S.Kom (Aktivis Muslimah)

 

 

***

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!