OPINI—Akhir Oktober 2025 lalu media sosial Threads diramaikan dengan pembahasan terkait anak-anak zaman sekarang lebih takut miskin daripada takut tidak menikah. Angka pernikahan di Indonesia sejak tahun 2022 turun drastis.
Pakar Psikologi Pemberdayaan Masyarakat Fakultas Psikologi Unair, Dr Ike Herdiana MPsi Psikolog pada 2024 lalu menuturkan bahwa menurunnya angka pernikahan disebabkan faktor yang pertama yakni meningkatnya pemberdayaan perempuan. Faktor kedua ialah kemiskinan dan finansial. (kompas.com, 22/11/2025)
Fenomena generasi muda yang takut menikah bukanlah gejala psikologis biasa, melainkan buah pahit dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang menata seluruh aspek kehidupan dengan standar materi dan keuntungan.
Ketika survei menunjukkan bahwa anak muda lebih mengutamakan kestabilan ekonomi dibanding menikah, itu bukan sekadar perubahan gaya hidup, tetapi cerminan bahwa mereka hidup dalam sistem yang membuat pernikahan tampak seperti beban besar.
Lonjakan harga kebutuhan, biaya hunian yang tak masuk akal, persaingan kerja yang kejam, serta narasi “marriage is scary” adalah konsekuensi logis dari paradigma sosial-ekonomi kapitalisme.
Standar Hidup Paradigma Kapitalis
Kapitalisme sekuler telah memutuskan hubungan antara manusia dan nilai-nilai spiritual yang lebih tinggi. Ia menempatkan materi sebagai pusat orientasi hidup.
Akibatnya, generasi muda tumbuh dalam realitas yang keras dimana harga pangan dan kebutuhan lainnya melambung karena dikuasai korporasi, lapangan kerja sempit karena ekonomi bertumpu pada modal besar, dan upah rendah karena tenaga kerja diperlakukan sebagai komoditas.
Ketakutan akan kemiskinan bukan sekadar perasaan, ia dibentuk oleh struktur yang memang menciptakan jurang ekonomi. Dalam kondisi ini, wajar jika pernikahan dianggap risiko finansial, bukan jalan membangun keluarga.
Lebih jauh, negara dalam sistem kapitalisme sekuler bertindak layaknya “penjaga aturan pasar”, bukan penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Pendidikan, kesehatan, perumahan, dan kebutuhan energi dilepas kepada mekanisme swasta.
Negara justru menjadi fasilitator kepentingan korporasi melalui regulasi, izin, dan privatisasi. Dengan kondisi seperti ini, beban hidup seluruhnya jatuh ke pundak individu.
Maka pernikahan yang sejatinya merupakan ikatan yang suci, sakral dan merupakan ibadah terlama mengalami penyempitan makna, hanya dipandang sebagai persoalan biaya hidup, cicilan rumah, dan ancaman beban ekonomi tambahan.
Kapitalisme sekuler tidak berhenti di ranah ekonomi. Ia membentuk mentalitas generasi muda melalui pendidikan dan media. Pendidikan sekuler menanamkan pemikiran bahwa kebahagiaan terletak pada pencapaian materi, bukan kematangan akhlak atau ketenteraman keluarga.
Media liberal memperkuat gaya hidup hedon dan konsumtif, menjadikan standar hidup mewah seolah normal. Pernikahan akhirnya dipersepsikan sebagai proyek besar yang harus diawali dengan rumah mahal, pesta megah, dan stabilitas finansial absolut, yaitu standar yang tak realistis bagi mayoritas anak muda.
Karena itu, selama kapitalisme sekuler tetap menjadi fondasi kehidupan, ketakutan generasi muda terhadap pernikahan tidak akan pernah hilang. Sistem ini memang tidak didesain untuk menenteramkan manusia, tetapi untuk menguntungkan pemilik modal. Masalahnya bukan sekadar biaya mahal atau mentalitas takut, melainkan akar persoalannya adalah ideologi yang salah.
Sistem Islam sebagai Paradigma Kehidupan
Dalam sistem ekonomi Islam, negara bertanggung jawab secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat. Harga pangan, energi, dan layanan publik tidak diserahkan kepada mekanisme pasar, melainkan dikelola dalam kerangka amanah. Kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah) seperti air, listrik, bahan bakar, dan tambang dikelola oleh negara, bukan swasta atau asing.
Hasilnya tidak mengalir ke pemilik modal, tetapi dikembalikan kepada masyarakat dalam bentuk layanan murah dan akses kebutuhan dasar yang terjangkau. Dengan cara ini, biaya hidup turun drastis dan ketakutan finansial terhadap pernikahan dapat ditekan secara struktural, bukan sekadar nasihat moral.
Islam juga membangun sistem pendidikan berbasis akidah yang melahirkan generasi berkarakter lurus: tidak terjebak hedonisme, tidak menjadikan materi sebagai tolok ukur hidup, dan memahami pernikahan sebagai ibadah sekaligus penjaga keturunan. Generasi seperti ini melihat masa depan bukan sebagai sumber kecemasan, melainkan sebagai amanah yang harus ditunaikan.
Di atas semua itu, Islam memuliakan institusi keluarga. Pernikahan dipandang sebagai fondasi peradaban, bukan sebagai beban ekonomi. Ketika negara menjamin kesejahteraan dan masyarakat hidup dengan nilai yang benar, pernikahan kembali menjadi ruang ketenangan dan sarana membangun umat yang kuat.
Alhasil, fenomena generasi muda takut menikah bukan masalah individu, tetapi buah dari penerapan kapitalisme sekuler. Dan solusi sejatinya tidak akan datang dari tambalan-tambalan parsial.
Hanya dengan kembali kepada sistem Islam, yang menata ekonomi, pendidikan, dan keluarga dengan landasan akidah, maka ketenangan hidup dan keberanian membangun masa depan dapat kembali hadir. Wallahu a’lam. (*)
Penulis:
Hamsina Halik
(Pemerhati Sosial)
Disclaimer:
Setiap opini, artikel, informasi, maupun berupa teks, gambar, suara, video, dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab masing-masing individu, dan bukan tanggung jawab Mediasulsel.com.















