OPINI—Saat ini, daya beli masyarakat di berbagai daerah di Indonesia menurun. Maraknya PHK, naiknya harga-harga, beban utang meningkat adalah beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Selain itu juga pengaruh dari lesunya ekonomi secara global. Menurunnya daya beli masyarakat lebih nampak disaat momen Ramadhan dan IdulFitri yang lalu.
Sebagian dilansir dari metrotvnews.com pada 10 April 2025, disebutkan bahwa momen Ramadan dan Idulfitri 2025 biasanya menjadi waktu panen bagi para pedagang. Namun tahun ini justru menyisakan kekecewaan. Para pedagang di Pasar Tanah Abang mengaku mengalami penurunan omzet signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Salah satu pedagang, Eli, menyampaikan bahwa meski jumlah pengunjung cukup ramai selama masa puasa hingga Lebaran, daya beli masyarakat mengalami penurunan drastis. Menurutnya, penurunannya sekitar 30-35 persen.
Namun, di tengah himpitan ekonomi yang kian sulit ini membuat masyarakat perlu memutar otak untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tak sedikit yang berhutang dengan memanfaatkan paylater dalam belanjanya. Apalagi saat ini masyarakat semakin dimudahkan dengan belanja online yang dimana ada pilihan paylater didalamnya.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, per Ferbuarari 2025 total utang masyarakat Indonesia lewat layanan Buy Now Pay Later (BNPL) atau yang lebih akrab disebut PayLater di sektor perbankan menyentuh angka Rp 21,98 triliun. Meski angka ini sedikit turun dari posisi Januari 2025 yang berada di Rp 22,57 triliun, secara tahunan justru terlihat kenaikan yang cukup signifikan, yakni sebesar 36,60 persen. (liputan.com, 11/04/2025)
Utang, Solusi Kebutuhan Mendesak
Di tengah kesulitan ekonomi yang membuat menurunnya daya beli masyarakat, utang menjadi salah satu cara tercepat dalam memenuhi kebutuhan mendesak atau pengeluaran tak terduga. Salah satu tawaran yang menggiurkan adalah layanan paylater. Bahkan survey menunjukkan bahwa 58% konsumen menggunakan layanan ini.
Selain menyediakan layanan dengan proses yang mudah,paylater ini juga menawarkan fleksibilitas dalam pembayaran cicilan dengan cicilan yang bervariasi sehingga menarik bagi konsumen yang mencari alternatif selain kartu kredit. Karena itulah, layanan paylater kian diminati oleh masyarakat. Dan tampak sebagai solusi praktis atas kebutuhan finansial jangka pendek. Namun sejatinya hanya menjadi jalan pintas yang menjerat banyak orang dalam pusaran utang.
Padahal, jika ditelisik persoalan yang lebih dalam adalah terletak pada belum tercapainya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Di mana masih banyak yang belum memiliki pekerjaan layak dan penghasilannya cukup. Sementara biaya hidup terus melonjak tanpa diiringi peningkatan daya beli masyarakat dalam kondisi terdesak, serba kurang dan pilihan yang terbatas.
Dalam kondisi seperti ini, maka utang menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan. Meski nantinya, utang ini akan menimbulkan masalah baru, berupa beban psikologis, resiko gagal bayar hingga konsekuensi moral dan spiritual seperti terjerumus dalam perbuatan dosa. Namun, masyarakat tak punya pilihan lain untuk keluar dari persoalan ini. Bahkan negara pun tak mampu memberikan solusi kepada rakyatnya.
Apa yang dialami rakyat saat ini yaitu ketidaksejahteraan yang menyelimuti, tidak lain merupakan akibat dari cengkraman kapitalisme yang menempatkan kepentingan segelintir elit di atas kebutuhan mayoritas. Dalam sistem ini negara lebih berperan sebagai regulator yang sekedar mengatur jalannya roda ekonomi, bukan sebagai pelayan sekaligus penanggung jawab utama dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat.
Termasuk dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan yang layak dan merata. Negara kerap kali abai membiarkan rakyat harus berjuang sendiri di tengah ketimpangan ekonomi yang makin lebar. Sementara kesejahteraan justru menjadi hak istimewa bagi mereka yang berada di lingkaran kekuasaan dan modal.
Sekulerisme yang menjadi asas dari kapitalisme, telah mengabaikan peran agama dalam kehidupan. Menjadikan standar perbuatan bukan lagi halal haram. Alhasil, transaksi utang piutang dengan riba menjamur di tengah-tengah masyarakat, padahal Allah dengan tegas mengharamkan riba. Sangat disayangkan, negeri mayoritas penduduk muslim, tapi jauh dari nilai-nilai Islam, jauh dari syariah-Nya.
Selain itu, dalam sistem kapitalisme ini materi menjadi orientasi. Dengan kata lain, apapun yang mendatangkan keuntungan boleh diambil dan dimanfaatkan meskipun melanggar syariat Islam. Oleh karena itu, selama sistem kapitalisme diterapkan tidak akan terwujud kesejahteraan di tengah masyarakat.
Dalam menyelesaikan kesulitan ekonomi, masyarakat hanya akan ditawarkan solusi-solusi pragmatis oleh negara dan pihak swasta. Dan pada hakekatnya solusi-solusi tersebut hanya menguntungkan mereka yakni para pemilik modal.
Pandangan Islam
Islam dengan seperangkat aturannya, akan mampu menyelesaikan segala permasalahan dan kesulitan yang dihadapi masyarakat dengan solusi-solusi yang efektif.
Terkait jeratan utang paylater, ketimpangan ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang terabaikan merupakan konsekuensi dari diterapkannya sistem yang rusak, yaitu kapitalisme sekuler. Sehingga solusi hakiki atas permasalahan ini adalah bukan sekadar tambal sulam, melainkan perubahan menyeluruh terhadap sistem kehidupan.
Melihat dalam sistem ini, negara abai dari peran utamanya. Seharusnya selain sebagai pengatur, negara juga bertanggung jawab secara penuh atas kesejahteraan rakyat. Untuk itu, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu, seperti sandang, papan, pangan. Termasuk pula kesehatan, pendidikan dan keamanan rakyat dengan biaya yang terjangkau atau bahkan gratis.
Selain itu, negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan lapangan kerja yang layak, agar rakyat mampu mencukupi kebutuhan hidupnya, rakyat mandiri dan tidak tergantung pada utang.
Dalam sistem ekonomi Islam, riba tidak akan diberi ruang di tengah-tengah masyarakat, karena seluruh bentuk transaksi utang piutang riba keharamannya sangat tegas dalam Islam.
Selain itu, agar kekayaan tidak terkumpul di segelintir orang sebagaimana dalam kapitalisme, negara dengan sistem Islamnya akan menjaga distribusi kekayaan dengan mengelola kekayaan milik umum, seperti sumber daya alam untuk kemaslahatan seluruh umat.
Yang kemudian dari pengelolaan sumber daya alam ini yang merupakan milik umat, akan didistribusikan oleh negara dalam bentuk pendidikan dan kesehatan gratis, pelayanan transportasi murah dan berbagai kemudahan akses terhadap pelayanan lainnya.
Dengan demikian masyarakat tidak akan terdorong untuk mencari solusi instan melalui paylater atau bentuk utang ribawi lainnya, karena kebutuhan pokok dan dasarnya telah dijamin oleh negara.
Dalam sistem Islam, kesadaran kolektif untuk menjauhi riba akan terbentuk, sehingga rakyat akan hidup dalam keberkahan. Negara pun akan melarang segala bentuk transaksi ekonomi yang diharamkan dalam Islam, seperti riba.
Alhasil, negara tidak akan membiarkan aplikasi-aplikasi atau lembaga yang menggunakan transaksi riba ataupun transaksi ekonomi lain yang tidak berdasarkan pada syariat-Nya.
Semua ini akan dijalankan oleh seorang pemimpin yang amanah yang juga telah diterima oleh rakyat untuk memimpin dan mengurusi segala urusan mereka dengan syariat-Nya. Rasulullah Saw. bersabda, “Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)
Alhasil, segala solusi hakiki atas persoalan kesejahteraan rakyat hanya akan bisa diwujudkan dalam sebuah sistem yang menerapkan syariat-Nya. Wallahu a’lam. (*)
Penulis: Hamsina Halik
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.



















