OPINI—-Kesehatan mental generasi muda Indonesia kini sedang dalam masalah. Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (Kemendukbangga/BKKBN) menyatakan bahwa jumlah remaja yang menderita gangguan kesehatan mental sangat tinggi, yakni mencapai 15,5 juta orang atau 34,9% dari total remaja Indonesia.
Ratu Ayu Isyana Bagoes Oka mengatakan generasi muda saat ini menghadapi tantangan yang makin kompleks, di antaranya adalah isu kesehatan mental di kalangan remaja. Menurutnya, ini merupakan keprihatinan bersama, mengingat penduduk merupakan modal dasar pembangunan (14-2-2025). Pernyataan Kemendukbangga/BKKBN tersebut merujuk pada hasil survei Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey pada 2024.
Hasil survei ini sejalan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Health Collaborative Center (HCC) dan Fokus Kesehatan Indonesia (FKI) bersama Yayasan BUMN melalui inisiatif Mendengar Jiwa Institute pada Desember 2024 yang menyatakan bahwa 34% siswa SMA di Jakarta memiliki indikasi masalah kesehatan mental. Tiga dari sepuluh siswa sering menunjukkan perilaku marah dan cenderung berkelahi akibat gangguan mental emosional.
Ketua riset Ray Wagiu Basrowi mengatakan temuan 34% risiko gangguan mental emosional tersebut merupakan indikasi gangguan kesehatan jiwa remaja di Jakarta, tetapi dapat juga dijadikan angka prevalensi di Indonesia. Menurutnya, hasil skrining tersebut menggambarkan indikasi gangguan emosional dan kesehatan mental siswa SMA di Jakarta.
Negara Gagal Melindungi Mental Generasi
Banyaknya remaja yang terkena penyakit mental menunjukkan kegagalan negara mewujudkan support system bagi terwujudnya generasi yang sehat secara mental. Jika kondisi ini terus dibiarkan, mimpi Indonesia emas 2045 makin kabur, bahkan nyaris mustahil terwujud. Justru yang terjadi adalah Indonesia cemas karena kondisi mental generasi muda yang bermasalah.
Penyebab maraknya gangguan kesehatan mental pada generasi muda bersifat sistemis. Menurut WHO, selain faktor genetika (keturunan), gangguan kesehatan mental dan kejiwaan disebabkan oleh faktor ekonomi (masalah ekonomi), faktor fisik (trauma karena pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual), dan faktor sosial (lingkungan sosial yang buruk, termasuk media sosial).
Tim Medis Siloam Hospitals menjelaskan, penyebab gangguan kesehatan mental pada remaja adalah pola asuh orang tua, krisis identitas atau kesulitan menemukan jati diri, mendapatkan persepsi keliru dari media sosial, tekanan dari lingkungan sekitar, kondisi keluarga yang tidak harmonis, memiliki hubungan yang buruk dengan teman sebaya, menghadapi masalah ekonomi dan sosial yang buruk, dan mengalami masalah perundungan atau kekerasan seksual.
Berdasarkan hal-hal tersebut, tampak bahwa segala sendi kehidupan berperan menciptakan tekanan pada mental generasi muda sehingga mereka mengalami gangguan/masalah. Ini menunjukkan bahwa kehancuran mental generasi muda saat ini bukan semata karena faktor individu yang “lemah”, tetapi merupakan dampak penerapan sistem.
Saat ini negara menerapkan sistem sekuler kapitalisme. Akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme, kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat justru dikuasai korporasi kapitalis sehingga rakyat tidak merasakan kesejahteraan. Ditambah lagi negara abai dalam menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat sehingga rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan). Hal ini menciptakan tekanan bagi mental generasi.
Pada saat yang sama, negara membiarkan media massa dan media sosial mempromosikan gaya hidup hedonistik ala Barat. Para remaja yang minim filter akhirnya terbawa arus bersikap konsumtif. Ketakmampuan memenuhi tuntutan gaya hidup berdampak pada tekanan mental.
Penerapan sistem kehidupan kapitalisme juga berdampak pada lahirnya generasi yang menuhankan materi. Definisi kebahagiaan bagi mereka adalah teraihnya capaian materi seperti prestasi, cuan, kecantikan, fesyen, dan popularitas. Ketika tidak menjadi “si paling”, mereka pun kena mental.
Hal ini diperparah dengan makin kecilnya porsi pendidikan agama dalam sistem pendidikan yang sekuler. Sudahlah durasinya pendek, model penyampaian materi agama Islam tidak dalam bentuk yang menggugah akal dan hati sehingga tidak mampu membentuk benteng iman dan takwa yang akan melindungi generasi dari penyakit mental.
Benteng yang lain, yaitu pendidikan orang tua dan dukungan masyarakat juga tidak terwujud karena penerapan sistem kapitalisme telah menghasilkan disfungsi orang tua dan sikap individualistis di tengah masyarakat. Walhasil, tidak ada perlindungan bagi mental generasi sehingga rentan mengalami gengguan.
Dalam kondisi sudah banyak remaja yang mengalami gangguan kesehatan mental, negara masih juga lamban menyolusi. Tidak ada kebijakan pemeriksaan kesehatan mental secara rutin yang menyasar seluruh siswa sekolah menengah. Juga tidak ada upaya kuratif untuk menggratiskan layanan terapi kesehatan mental bagi para remaja yang terindikasi mengalami gangguan kesehatan mental. Jika ingin sembuh, remaja harus menjalani terapi secara mandiri dengan biaya yang mahal sehingga tidak semua lapisan rakyat bisa menjangkaunya.
Negara juga alergi dengan dakwah Islam yang mencoba membentuk benteng iman dan takwa pada remaja. Negara justru melabelinya sebagai aktivitas terorisme dan radikalisme. Sedangkan terhadap tayangan yang merusak mental remaja di media, negara justru membiarkan. Wajar saja masalah gangguan kesehatan mental tidak kunjung mendapatkan solusi.
Ketika masalah kesehatan mental remaja tidak tertangani dengan baik, mereka berisiko besar untuk mencari pelarian pada hal-hal yang merusak, seperti narkoba, menyakiti diri sendiri, maupun bunuh diri. Data terbaru menunjukkan bahwa banyak remaja terjerumus pada tiga hal tersebut.
Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa 2,2 juta anak Indonesia menjadi pengguna narkoba pada 2024. Data 2023 menunjukkan bahwa 20,21% remaja Indonesia pernah melakukan perilaku menyakiti diri sendiri. Sementara itu, dalam kurun 2012—2023, terdapat 985 kasus bunuh diri yang dilakukan remaja, setara dengan 46,63% dari total kasus.
Masalah kesehatan mental juga berdampak pada kelangsungan generasi penerus bangsa. Individu yang mengalami masalah kesehatan mental bisa terkena gamophobia, yaitu ketakutan yang berlebihan untuk menikah. Fobia ini muncul karena trauma akibat kegagalan hubungan masa lalu atau pengalaman masa kecil, seperti melihat hubungan orang tua yang buruk atau perceraian.
Remaja yang mengalami masalah kesehatan mental juga bisa merasa tidak siap secara mental untuk menjadi orang tua. Psikolog Irma Safitri mengatakan bahwa keputusan childfree disebabkan oleh dua hal, pertama, pola asuh dan pengaruh lingkungan sekitar, termasuk ide dari luar (Barat). Kedua, masalah kesehatan mental, yaitu ada individu yang menganggap dirinya tidak siap menjadi orang tua.
Dengan demikian, bahaya gangguan kesehatan mental pada remaja tidak hanya dirasakan generasi saat ini, tetapi juga generasi masa depan. Kelangsungan bangsa juga akan terancam. Masalah depopulasi di negara-negara Barat bisa terjadi juga di negeri-negeri muslim. Umat Islam akan kehilangan generasi penerus.
Walhasil, sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan negara nyata-nyata rusak dan merusak mental generasi muda. Apalagi profil negara dalam kapitalisme tidak berperan sebagai raa’in (pengurus rakyat), tetapi hanya regulator sehingga negara cenderung abai pada kesehatan mental generasi muda. Kondisi ini sungguh berbeda dengan sistem Islam.
Sistem Islam Melindungi Kesehatan Mental Generasi
Kepemimpinan Islam memiliki tanggung jawab untuk melahirkan generasi cemerlang yang berkualitas. Hal ini sebagai wujud pengamalan perintah Allah Taala dalam QS Ali Imran ayat 110, “Kalian (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia (selama) kalian menyuruh (berbuat) yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Untuk mewujudkan generasi terbaik (khairu ummah), negara akan menerapkan syariat Islam kafah, tidak hanya pada aspek pendidikan, tetapi seluruh aspek kehidupan. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan dalam buku Nizham al-Islam bab “Masyru’ ad-Dustur” pasal 7, “Negara (Negeri Islam) memberlakukan syariat Islam atas seluruh rakyat yang berkewarganegaraan Islam.”
Adapun penerapan syariat Islam pada aspek pendidikan dijelaskan dalam pasal 165—167, “Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan akidah Islamiah. Mata pelajaran serta metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya penyimpangan sedikit pun dalam pendidikan dari asas tersebut (Pasal 165). Strategi pendidikan adalah membentuk pola pikir dan pola jiwa islami. Seluruh mata pelajaran disusun berdasarkan dasar strategi tersebut (Pasal 166).
Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan. Metode penyampaian pelajaran dirancang untuk menunjang tercapainya tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak berorientasi pada tujuan tersebut dilarang (Pasal 167).”
Sistem pendidikan Islam menghasilkan generasi muda yang berkepribadian Islam, yaitu generasi yang memiliki pola pikir (akliah) dan pola jiwa (nafsiah) islami. Generasi muda muslim paham jati dirinya sebagai hamba Allah Taala yang harus taat pada-Nya. Mereka paham tujuan hidupnya untuk meraih rida Allah Taala dan terdorong untuk selalu beramal saleh.
Pandangan mereka jauh ke depan hingga kehidupan akhirat sehingga mereka selalu menata amalnya secara visioner demi meraih kebahagiaan yang abadi di surga.
Pendidikan Islam tidak hanya meninggikan pemikiran (akliah), tetapi juga menenteramkan jiwa (nafsiah/mental). Kesadaran akan hubungan dengan Allah (idrak sillah billah) akan dibentuk dalam proses pendidikan sehingga generasi muda akan senantiasa menggantungkan hidupnya pada Allah Taala, tidak pernah merasa sendiri karena ada Allah Taala sebagai tempat mengadukan masalah kehidupan.
Mereka akan merasa optimis dalam menjalani hidup karena yakin Allah Taala pasti memberikan pertolongan ketika ada kesulitan.
Mereka memandang bahwa qada Allah itu pasti baik sehingga selalu bersabar dan bersyukur, tidak merasa sedih ketika menghadapi musibah karena yakin semuanya dari Allah Taala dan akan kembali pada-Nya. Mereka akan menjadi pribadi pemaaf terhadap kesalahan orang lain, termasuk orang tua, dan tidak menyimpan dendam maupun trauma yang akan membebani jiwa.
Sistem pendidikan Islam akan mendidik generasi muda untuk dekat dengan Al-Qur’an dengan cara membiasakan membacanya, menghafalnya, memahami tafsirnya, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan. Dengan demikian, Al-Qur’an akan menjadi obat bagi jiwa mereka.
Pendidikan Islam juga akan membentuk generasi yang paham kewajiban salat dan keutamaannya. Mereka akan menjadikan salat sebagai penolongnya, sebagaimana firman-Nya, “Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat.” (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Pendidikan Islam juga akan mengajarkan sejarah orang-orang saleh dari kalangan nabi, Rasulullah saw., sahabat, ulama, dan mujahid sehingga menjadi role model generasi muda muslim. Mereka akan meniru kebersihan jiwa dan ketangguhan para generasi terdahulu tersebut.
Generasi yang memiliki nafsiah islami ini akan menjadi pribadi tangguh yang mampu menghadapi masalah kehidupan dan menyelesaikannya berbasis ilmu dan tsaqafah yang ia miliki. Mereka akan memandang pernikahan dan keluarga sebagai ladang amal saleh untuk meraih sebesar-besarnya rida dan pahala dari Allah Taala.
Mereka justru bersemangat memiliki keturunan demi mencetak generasi penerus sehingga Islam dan kaum muslim makin kuat. Semangat ini muncul dari kesiapan bekal ilmu dan skill yang dibutuhkan dalam pernikahan.
Generasi muda muslim juga akan siap meneruskan estafet peradaban Islam sehingga mampu mewujudkan kegemilangan Islam sebagaimana kabar gembira (bisyarah) dari Rasulullah saw., yaitu meluasnya wilayah kekuasaan Islam hingga Kota Roma.
Selain menerapkan sistem pendidikan Islam, negara Islam (Negeri Islam) juga menyiapkan orang tua dan masyarakat untuk mendukung proses pembentukan generasi pembangun peradaban Islam yang mulia, yaitu generasi yang bermental kuat.
Dengan demikian, orang tua akan menjalankan tugasnya mendidik anak sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya Allah akan bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia pelihara ataukah ia sia-siakan hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.” (HR An-Nasa’i).
Pembinaan terhadap orang tua dan masyarakat dilakukan melalui berbagai media, termasuk diadakannya berbagai majelis ilmu di masjid-masjid yang bebas diakses siapa saja secara gratis. Negara menggaji dan membiayai para ulama untuk menyampaikan ilmunya di seantero negeri. Negara juga memenuhi ruang media massa dan media sosial dengan konten dakwah sehingga terwujud masyarakat islami.
Negeri Islam akan melindungi mental remaja dengan menetapkan kebijakan yang menjauhkan remaja dari segala pemikiran yang bertentangan dengan Islam dan menyebabkan remaja gagap menghadapi persoalan hidupnya. Hal ini dilakukan Negeri Islam dengan mengawasi konten media massa dan media sosial, juga buku bacaan dan berbagai tayangan agar tidak merusak jiwa remaja.
Negeri Islam juga akan menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga rakyat merasakan kesejahteraan. Kebutuhan pokok mereka berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan akan dijamin negara dengan kualitas layanan yang terbaik. Hal ini akan menjaga kondisi mental masyarakat, termasuk generasi muda, agar selalu dalam kondisi sehat.
Negeri Islam menyediakan layanan kesehatan mental secara gratis yang terintegrasi dalam layanan kesehatan. Layanan ini tersedia berjenjang dari tingkat kota, provinsi, hingga ibu kota negara sehingga rakyat mudah menjangkaunya dan pastinya gratis. Penggratisan ini bisa dilakukan karena sektor kesehatan dibiayai dari baitulmal yang memiliki banyak sumber pemasukan, termasuk dari pengelolaan tambang dan sumber daya alam lainnya.
Dengan penerapan Islam kaffah , terwujudnya generasi terbaik tidak hanya berupa mimpi, tetapi terwujud nyata. (*)
Penulis: Sriwidarti, S.Pd (Pendidik)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

















