Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Jaga Inflasi di Bulan Ramadhan

592
×

Jaga Inflasi di Bulan Ramadhan

Sebarkan artikel ini
Peluang Wisata Desa di Tengah Pandemi
Arya Yahya, S.ST., M.Ec.Dev, Statistisi Pertama di Badan Pusat Statistik

OPINI—Tak lama lagi, seluruh ummat muslim di dunia akan memasuki bulan suci Ramadhan, tak terkecuali ummat muslim di Indonesia. Ramadhan adalah hari-hari yang istimewa bagi ummat muslim, diawali dengan berpuasa selama 29 atau 30 hari dan diakhiri dengan hari raya besar Idul Fitri.

Karena keistimewaannya, banyak fenomena menarik yang terjadi, salah satunya adalah meningkatnya permintaan terhadap kebutuhan barang/jasa, baik itu pangan maupun non pangan, kenaikan permintaan seringkali memicu kenaikan harga berbagai barang-barang kebutuhan masyarakat, mulai dari bahan pokok, sandang, hingga barang-barang yang masuk golongan tersier.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Kegembiraan menjalani bulan suci Ramadhan serta keinginan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan makan minum saat sahur dan berbuka puasa dengan berbagai macam menu biasanya banyak mendongkrak jumlah permintaan di pasar, dan kuantitasnya akan bertambah menjelang Idul Fitri.

Bukan hanya bahan makan minum, termasuk pakaian, aksesoris hingga berbagai macam perlengkapan rumah tangga seperti alat-alat dapur, meubeler, perlengkapan makan, dan sebagainya.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Sulawesi Selatan, pola kenaikan inflasi selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri terus terjadi setiap tahun.

Misalnya, tahun 2018, inflasi di bulan mei 0,37 persen, kemudian naik menjadi 0,94 persen jelang Idul Fitri di bulan Juni. Tahun 2019 juga menunjukkan pola yang serupa, inflasi di bulan april 0,42 persen, kemudian naik menjadi 0,76 persen di bulan Mei menjelang Idul Fitri. Tahun 2020, inflasi di bulan april 0,42 persen, kemudian naik menjadi 0,50 persen di bulan Mei menjelang Idul Fitri.

Kenaikan harga selama Ramadhan dan menjelang Idul Fitri adalah fenomena yang wajar terjadi, inflasi salah satunya muncul ketika kenaikan permintaan melebihi supply yang ada di pasar. Namun demikian, antisipasi kenaikan atau gejolak harga yang berlebih tetap perlu dilakukan oleh pemerintah.

Paling tidak ada 3 alasan utamanya, pertama, masyarakat berhak memperoleh harga barang yang wajar di pasar, kedua, kenaikan harga yang tak wajar berdampak pada kemampuan beli masyarakat, ketiga, inflasi yang tak terkendali apalagi terjadi secara nasional punya dampak yang besar bagi ekonomi makro, terutama kaitannya dengan nilai tukar dan berbagai asumsi moneter lainnya.

Kenaikan harga di bulan Ramadhan sebenarnya tidak selalu dipengaruhi oleh naiknya permintaan, fenomena yang terjadi, meski permintaan meningkat, supply barang juga memadai, bahkan tidak sedikit menumpuk di pedagang. Dalam teori ekonomi pasar, seharusnya harga tidak bergeser, jikapun berubah, rentangnya tidak jauh.

Salah satu faktor utamanya adalah spekulasi harga dari beberapa pengumpul dan pedagang, sering mereka sebut dengan alasan “mumpung”. Menurut mereka, pembeli akan tetap mencari barang yang dibutuhkan meski harganya naik secara tak wajar. Inilah salah satu yang perlu diawasi oleh pemerintah, beberapa pasar bahkan telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) khususnya bahan pangan yang sangat dibutuhkan selama bulan Ramadhan seperti daging, telur, dan lain-lain. Terakhir, operasi pasar tetap perlu dilakukan untuk memastikan harga tetap stabil atau bergerak dalam rentang yang wajar di pasaran. (*)

Penulis: Arya Yahya, S.ST., M.Ec.Dev.
Statistisi Pertama di Badan Pusat Statistik
error: Content is protected !!