OPINI—Palestina adalah isu global yang terus menjadi sorotan dunia, terutama di kalangan negeri-negeri muslim. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Developing Eight (D-8) di Kairo, Presiden Prabowo Subianto menyerukan persatuan negara-negara muslim untuk membela Palestina.
Namun, seruan ini berujung kontroversi, di mana beberapa pemimpin muslim, termasuk dari Turki, dilaporkan melakukan aksi walk out. Pernyataan ini memicu diskusi lebih luas tentang strategi diplomasi dan efektivitas retorika dalam perjuangan membela Palestina.
Menurut pengamat Timur Tengah, Smith Alhadar, pidato Prabowo mengesankan dalam substansi tetapi dinilai kurang diplomatis dan kurang kontekstual. Kritik seperti ini mencerminkan tantangan dalam menyatukan visi negeri-negeri muslim terhadap pembebasan Palestina.
Meski Indonesia secara konsisten menegaskan dukungannya terhadap hak-hak Palestina, langkah nyata yang melibatkan kerja sama strategis dengan negara-negara muslim masih menjadi pertanyaan besar.
Retorika Tanpa Tindakan Nyata
Pidato dan pernyataan politik mendukung Palestina sering kali menjadi retorika populis di kalangan pemimpin muslim. Sayangnya, retorika ini tidak berbanding lurus dengan tindakan nyata.
Hingga kini, negeri-negeri muslim telah memberikan bantuan kemanusiaan, mengirimkan relawan, dan mengkritik kebijakan Israel dan sekutunya. Namun, langkah ini belum mampu membebaskan Palestina dari pendudukan zionis.
Solidaritas sesama muslim sejatinya tidak cukup hanya diwujudkan melalui kecaman atau diplomasi. Rakyat Palestina membutuhkan solusi yang konkret, termasuk upaya militer kolektif yang serius untuk menekan entitas zionis. Namun, perpecahan kepentingan antarnegara muslim dan ketergantungan pada narasi perdamaian Barat sering kali menghambat langkah ini.
Solusi Dua Negara: Jalan Buntu
Indonesia dan beberapa negara muslim mendukung solusi dua negara sebagai jalan damai untuk konflik Palestina-Israel. Namun, solusi ini justru memperkuat legitimasi pendudukan Israel atas tanah Palestina. Palestina tidak akan pernah merdeka sepenuhnya jika wilayahnya terus dibagi dengan entitas zionis. Sebaliknya, jihad dan persatuan umat Islam adalah langkah yang lebih realistis untuk mengakhiri penjajahan ini.
Persatuan dan Jihad: Kunci Pembebasan
Jihad bukanlah terorisme, tetapi perjuangan yang sah dalam membebaskan Palestina dari pendudukan zionis. Sejarah Islam mencatat bahwa kekuatan umat Islam terletak pada persatuan mereka. Sayangnya, nasionalisme yang diadopsi negeri-negeri muslim sejak runtuhnya khilafah justru memecah belah umat Islam dan menghambat perjuangan kolektif.
Persatuan umat Islam juga harus disertai kesadaran ideologis untuk melepaskan diri dari hegemoni kapitalisme global. Barat, dengan narasi perdamaian yang mereka tawarkan, sebenarnya memaksa negeri-negeri muslim tunduk pada standar mereka. Narasi ini membelenggu umat Islam untuk bertindak tegas melawan penjajahan.
Kerja Politis: Langkah Strategis
Mengembalikan kejayaan umat Islam membutuhkan kerja politis yang terorganisir. Rasulullah saw. memberikan teladan dalam membangun kekuatan umat melalui dakwah, penyadaran, dan konsolidasi politik. Upaya ini dimulai dengan menggugah kesadaran masyarakat, membentuk kelompok dakwah yang terarah, dan menyatukan visi umat untuk melawan penjajahan.
Kelompok dakwah ini harus menjadi motor penggerak yang membenturkan ide Islam dengan ide-ide sekuler yang memecah belah umat. Umat Islam harus menyadari bahwa solusi atas krisis Palestina terletak pada penerapan syariat Islam secara kolektif dan persatuan global.
Palestina tidak akan terbebas hanya dengan retorika atau bantuan kemanusiaan. Pembebasan Palestina membutuhkan jihad sebagai solusi utama dan persatuan umat Islam sebagai fondasi perjuangan. Negeri-negeri muslim harus melepaskan ketergantungan pada narasi Barat dan mengadopsi strategi yang bersumber dari syariat Islam.
Allah Swt. berfirman, “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Menerima taubat.” (QS An-Nashr [110]: 1–3).
Semoga ayat ini menjadi pengingat bahwa kemenangan hanya akan datang ketika umat Islam kembali pada Islam secara kaffah. (*)
***
Penulis: Sriwidarti, S.Pd (Praktisi Pendidikan)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

















