Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Remaja Kumpul Kebo: Buah Pahit Liberalisme di Tengah Remaja Kota

491
×

Remaja Kumpul Kebo: Buah Pahit Liberalisme di Tengah Remaja Kota

Sebarkan artikel ini
Muflihanah S.Pd (Guru & Aktivis Muslimah)
Muflihanah S.Pd (Guru & Aktivis Muslimah)

OPINI—Sebuah kabar memprihatinkan datang dari Kota Makassar. Sekelompok remaja kedapatan tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan. Fenomena yang secara sosial dikenal sebagai kumpul kebo. Satuan Unit Reskrim Polsek Panakukang melakukan penggerebekan pada salah satu bangunan tua kosong bekas wisma yang terbengkalai di Jalan Prof Basalamah eks Racing Center, Kecamatan Panakukang, Makassar, Sulawesi Selatan.

Polisi menemukan tiga perempuan dan lima laki-laki, yang enam orang diantaranya berusia remaja di bawah umur. Selain itu mereka ditemukan di salah satu kamar di bangunan tersebut tanpa penerangan sama sekali serta terdapat dua kasur bekas.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Berdasarkan pengakuan pelaku mereka sudah beberapa hari menginap di tempat tersebut. Karenanya pihak berwajib memberikan dugaan kuat bahwa telah terjadi kumpul kebo di tempat tersebut. (antaranews.com, 19/06/2025)

Apakah ini semata karena kenakalan remaja? Ataukah ini cerminan dari rusaknya sistem nilai yang mendasari kehidupan hari ini?

Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari akar ideologis yang membentuk cara pandang masyarakat saat ini, yaitu sekularisme. Sekularisme memisahkan agama dari kehidupan publik, menganggap agama cukup berada di rumah ibadah atau urusan pribadi belaka.

Akibatnya, nilai-nilai agama yang seharusnya menjadi fondasi moral dalam bermasyarakat malah dianggap opsional dan tidak relevan dalam pengambilan keputusan sosial.

Para remaja hari ini tumbuh dalam sistem yang menjauhkan mereka dari nilai-nilai keimanan yang utuh. Pendidikan tidak lagi mengajarkan mereka untuk takut kepada Allah, tetapi sekadar menanamkan pengetahuan teknis.

Media massa dan media sosial dipenuhi tayangan yang justru membentuk cara pandang permisif terhadap seksualitas dan hubungan lawan jenis. Semua ini adalah hasil dari sistem yang membiarkan agama tersingkir dari ruang publik.

Dari sekularisme lahirlah liberalisme, paham yang menjadikan kebebasan individu sebagai nilai tertinggi. Dalam kerangka liberal, seseorang bebas melakukan apa pun asalkan tidak “melukai” orang lain secara langsung.

Maka hubungan di luar nikah, tinggal bersama tanpa pernikahan, dan pergaulan bebas dianggap sebagai ekspresi hak pribadi, bukan pelanggaran moral.

Remaja yang belum matang secara mental, emosional, dan finansial justru terdorong untuk menjalani hubungan layaknya suami-istri tanpa kesiapan dan tanpa komitmen. Ketika hamil di luar nikah, depresi, dan kekerasan relasi terjadi, masyarakat baru tersentak. Padahal benih kerusakan itu sudah lama ditanam oleh sistem yang liberal.

Liberalismelah yang kemudian melahirkan budaya permisif. Budaya permisif adalah kondisi ketika masyarakat membolehkan berbagai perilaku menyimpang atas nama hak pribadi. Media, khususnya platform digital, memainkan peran besar dalam menyuburkan budaya ini.

Survei Kominfo tahun 2022 menyebut bahwa 87% remaja usia 13–17 tahun aktif mengakses internet, dan lebih dari 65% di antaranya mengaku pernah melihat konten pornografi. Tak hanya itu, banyak tayangan populer yang justru mempromosikan hubungan bebas sebagai bagian dari “cinta modern.”

Inilah kondisi masyarakat yang kehilangan kontrol atas generasinya sendiri. Aparat hukum seolah tak berdaya karena hukum positif pun tidak mengatur atau menghukum pergaulan bebas. Orang tua kehilangan peran karena sistem tidak mendukung pembinaan keluarga berdasarkan agama. Pendidikan hanya fokus pada prestasi akademik, bukan pembentukan kepribadian.

Islam: Solusi Ideologis yang Menyeluruh

Islam tidak memisahkan agama dari kehidupan. Islam memandang masalah pergaulan bebas bukan hanya sebagai soal moral, tapi masalah sosial dan sistemik yang harus dicegah dari hulunya. Islam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan secara ketat. Melarang khalwat (berdua-duaan), ikhtilat (campur baur), dan menutup semua pintu menuju zina (Q.S. Al-Isra : 32).

Sistem sanksi yang tegas dalam Islam pun ditegakkan seadil-adilnya. Penegakan hukum hudud bagi pelaku zina sebagai efek jera dan penjagaan masyarakat dari kerusakan moral.

Lebih dari itu, Islam membentuk sistem pendidikan berbasis akidah serta menyediakan media yang bersih dan mendidik, sebagai bentuk penjagaan terhadap kehormatan dan kesucian masyarakat.

Namun semua ini hanya bisa berjalan jika negara menerapkan sistem Islam secara menyeluruh, bukan parsial. Selama sekularisme dan liberalisme tetap menjadi fondasi kehidupan berbangsa, maka generasi muda akan terus menjadi korban kebebasan yang menyesatkan. (*)

 

Penulis: Muflihanah S.Pd (Guru & Aktivis Muslimah)

 

***

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!