OPINI—Pemerintah akan menetapkan secara permanen relaksasi harga eceran tertinggi atau HET beras premium dan medium mulai Juni 2024. Kenaikan HET ini disebut tidak berimbas terhadap konsumen.
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P. Sasmita, menyampaikan, kenaikan HET beras sebetulnya hanya formalitas sebab pada kenyataannya harga beras sudah lama bergerak di level Rp13.000 per kilogram hingga Rp15.500 per kilogram, baik untuk jenis premium maupun medium.(Ekonomi.bisnis.com, 24/05/2024)
“Titik keseimbangan baru pada harga beras sudah lama berada di level itu dan masyarakat sudah lama membeli beras dengan harga tersebut. Jadi sudah tak ada lagi imbasnya bagi konsumen,” kata Ronny kepada Bisnis, Jumat (24/5/2024).
Menurut Ronny, daya beli konsumen sudah tertekan oleh harga beras yang tinggi sejak beberapa waktu lalu. Dengan demikian, adanya penetapan relaksasi HET beras menjadi permanen tidak akan terlalu berimbas terhadap masyarakat.
Tetapi disisi lain, jika harga beras kembali turun, maka petani akan menangis, karena otomatis harga gabah akan tertekan ke bawah lagi, begitulah kata Kepala Bapanas, Arief Prasetyo Adi.
Menurutnya, dengan harga beras yang ada saat ini petani sedang berbahagia, karena setidaknya para petani bisa bernafas sejenak dengan harga gabah yang tidak ditekan murah. (cnbcindonesia.com, 5/1/2024)
Dari kelangkaan dan melambungnya harga beras ini pemerintah memberikan solusi, yakni melakukan impor. Dikutip dari bisnis.com, 15/2/2024 BPS mencatat sebanyak 443.913 ton impor beras telah membanjiri Indonesia sepanjang Januari 2024. Menurut data BPS sendiri, angka tersebut meningkat sebesar 0.82% dari periode sebelumnya.
Padahal sejatinya impor bukanlah solusi efektif yang memuntaskan perbaikan struktural terkait mahalnya harga beras. Pernyataan ketua Bapanas bahwa kenaikan harga beras ini membuat petani bahagia, nyatanya bisa dibantah dengan lugas.
Faktanya, petani tetap menangis karena penjualan beras kepada sejumlah pengusaha (Ritel) masih dengan harga yang murah sebab adanya larangan bagi petani untuk menjual langsung ke konsumen.Naiknya harga beras juga tidak membuat petani makin sejahtera, apalagi saat ini distribusi beras dikuasai oleh pengusaha.
Perlu diketahui, distribusi beras melibatkan beberapa pelaku usaha perdagangan di antaranya yaitu importir, pedagang pengepul, distributor, sub distributor, agen, pedagang grosir, supermarket/swalayan, pedagang eceran dan barulah sampai di tangan konsumen.
Maka dari sinilah memungkinkan terjadinya permainan harga, penahanan pasokan (monopoli) oleh para pelaku usaha, yang tentu merugikan petani juga rakyat.
Disisi lain, mahalnya harga pupuk dan gagalnya panen yang disebabkan oleh cuaca tidak menentu juga meresahkan petani. Modal yang besar tetapi penjualan yang rendah dari petani ke pengusaha tak ayal membuat petani semakin merugi.
Secara garis besar dapat dipastikan bahwa impor beras bukanlah solusi tuntas, seharusnya perbaikan distribusi beras yang dipegang kendalinya oleh pemerintah, bukan hanya menjadi pengawas. Termasuk dengan mengendalikan kestabilan harga pupuk sebagai item penting dalam bertani.
Dan jusrtu dengan Kenaikan HET beras tentu akan membuat hidup rakyat makin sulit, apalagi ditengah lesunya ekonomi, banyaknya PHK dan tingginya angka kemiskinan. Apalagi beras adalah kebutuhan pokok rakyat.
Sejatinya beras yang merupakan kebutuhan pokok dan komoditas strategis memang wajib dikelola oleh negara termasuk distribusinya. Negara seharusnya bertanggung jawab akan pemenuhan kebutuhan rakyat tanpa mengesampingkan kesejahteraan petani. Tetapi faktanya, negara tidak mampu mengambil peranan besar tersebut.
Dalam paradigma Islam, sebuah negara sudah tersistem untuk berperan penting dalam alur distribusi kebutuhan pokok rakyat. Praktek monopoli tidak akan terjadi karena pasar akan dikuasai oleh pemerintah itu sendiri. Maka, tidak ada penimbunan dan permainan harga beras yang menguntungkan segelintir individu.
Negara berperan aktif dalam hal pangan, tidak ada lagi kesempatan untuk serakah dan curang. Selain itu standar yang diemban adalah ridha Allah, mementingkan halal dan haram, dan tidak lagi memandang keuntungan dan uang sebagai Tuhan.
Negara juga tidak akan lepas tangan terhadap petani, akan berusaha memajukan petani dengan teknologi sehingga tidak perlu lagi menambal segala permasalahan pangan dengan impor. Sebab, negara yang akan mengatur perdangan dalam negeri.
Dari sinilah kestabilan harga beras akan terjadi, tidak ada kenaikan harga yang mencekik rakyat. Kelangkaan juga bisa secara cepat ditangani dan ditindaklanjuti.
Sungguh, hal ini hanya dapat terwujud jika negara dinaungi oleh sistem Islam. Sistem yang menjadikan negara sebagai junnah dan perisai bagi rakyatnya. Sistem yang menjadikan negara sebagai benteng keamanan dan kesejahteraan dalam segala hal, termasuk urusan pangan.
Tidak ada sistem pengatur lain yang mampu menuntaskan masalah hingga ke akar selain sistem shahih buatan sang Pencipta. Bukan sekedar solusi tambal sulam yang menggunakan jalan pintas dalam penyelasaian masalah. Wallahualam bisshawab. (*)
Penulis: Mursyidah Nadjamuddin, S.Pd
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.











