JAKARTA—Kenaikan harga beras di Sulawesi Selatan pada awal Juli 2025 kembali memunculkan keprihatinan. Meski stok regional dinyatakan “aman”, kenyataan di lapangan justru menunjukkan harga eceran terus merangkak naik.
Pengamat ekonomi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), Muhammad Aras Prabowo menilai, persoalan ini lebih disebabkan oleh buruknya tata kelola distribusi dan perilaku pasar yang tak terkendali.
“Ini ironi. Badan Pusat Statistik (BPS) justru memperkirakan produksi beras Juni–Agustus mencapai 8,09 juta ton, naik hampir 14 persen dibanding tahun lalu. Secara nasional kita jelas surplus, tapi harga di banyak daerah justru naik,” tegas Aras, Selasa (8/7/2025).
Sekretaris Daerah Sulawesi Selatan pun sebelumnya telah menyebutkan bahwa lambatnya pelepasan stok Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) dari Bulog menjadi penyebab utama lonjakan harga beras.
Menurut Aras, kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan eksekusi distribusi yang semestinya dijaga oleh Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog.
Padahal, Peraturan Bapanas Nomor 5 Tahun 2025 tentang Pengelolaan Sistem Distribusi Pangan sudah diteken sejak 26 Juni lalu. Aturan itu menekankan pelaporan digital untuk 12 komoditas strategis, termasuk beras, agar pasokan antar-wilayah dan waktu bisa dijaga.
“Kalau regulasi sudah ada, tapi pelaksanaannya mandek, maka tanggung jawab ada di Bapanas sebagai regulator dan Bulog sebagai pelaksana,” tandasnya.

Lebih lanjut, intelektual NU itu memaparkan lima langkah strategis yang mesti segera dijalankan:
1. Pelepasan Stok oleh Bulog Secara Terukur dan Transparan
Aras menegaskan, cadangan beras pemerintah harus segera dilepas ke pasar berdasarkan titik harga konsumen. Penumpukan stok hanya memperbesar biaya penyimpanan dan membuka ruang bagi spekulan yang memainkan harga.
2. Distribusi Antardaerah Harus Aktif
Fungsi substitusi harus bergerak. “Surplus di Jawa atau Sulsel tak berarti jika wilayah timur Indonesia tetap defisit,” jelasnya. Bulog tak boleh menunggu arahan, tapi harus aktif dengan memanfaatkan jaringan gudang dan armada negara.
3. Penegakan Regulasi Lewat Dashboard Digital
Bapanas diminta menegakkan aturan distribusi berbasis digital. Jika ditemukan anomali, seperti stok menumpuk di gudang lebih dari dua minggu, harus ada inspeksi segera. “Tanpa tindakan tegas, regulasi hanya jadi slogan,” tegas Aras.
4. Intervensi Pra-Emptif, Bukan Reaktif
Pemerintah daerah dan pusat diminta tak lagi menunggu harga melonjak baru bertindak. “Begitu ada kenaikan 1–2 persen, intervensi distribusi harus langsung dilakukan,” imbuhnya.
5. Harga Dasar Petani Harus Jelas
Aras mengingatkan pentingnya keseimbangan harga. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) harus jadi pagar bawah dan Harga Eceran Tertinggi (HET) jadi pagar atas. “Bulog jangan bermain untuk keuntungan spekulatif,” ucapnya.
Aras menutup pernyataannya dengan desakan keras kepada Bulog dan Bapanas untuk segera bertindak cepat, transparan, dan akuntabel. “Surplus beras jangan cuma jadi angka di statistik, tapi harus terasa di meja makan masyarakat,” pungkasnya. (Ag4ys)
















