OPINI—Belum lama ini tren “S Line” berseliweran di berbagai media sosial. Warganet pun tidak sedikit mengunggah foto dengan coretan garis merah di atas kepala mereka. Fenomena ini viral dari sebuah drama Korea yang berkisah tentang garis merah misterius yang menghubungkan mereka dengan orang yang pernah menjalin hubungan intim.
Tren ini menunjukkan potret degradasi moral generasi yang begitu memprihatinkan. Fenomena ini pun jelas merupakan gambaran atas kehidupan sekuler saat ini, di mana nilai-nilai agama termarginalkan dalam kehidupan. Agama dipandnag sebatas mengatur hubungan manusa dengan penciptanya, seperti salat, puasa dan haji. Sementara dalam urusan yang lain manusialah yang lebih berhak mengatur hidupnya.
Hal ini juga sangat disayangkan. Bagaimana tidak, tidak sedikit berbagai kalangan justru membuat konten yang mana mengikuti drama korea tersebut. Mirisnya lagi, sebagian dari mereka ikut-ikutan membuat lelucon atau komentar yang nampak mengarah pada pengakuan atas sesuatu yang sebenarnya merupakan aib.
Selain itu, dalam kehidupan saat ini yang jauh dari aturan-Nya, manusia merasa bebas melakukan apa saja walau hal itu merupakan aib diri sendiri. Beginilah wajah buruk liberalisme yang menganggap apa pun dapat disebarkan ke media sosial dan menjadikan kehormatan pribadi dapat menjadi konsumsi publik.
Tak hanya itu, sistem saat ini tak sedikit menganggap hal itu sesuatu yang bukan tabu lagi. Ini nampak dalam banyaknya konten yang berisi pengakuan pernah berhubungan badan walau tanpa terikat dengan pernikahan, candaan terkait seks bebas, bahkan pengakuan tak lagi perawan atau perjaka.
Di samping itu, bukan hal yang asing lagi bahwa penularan HIV banyak berasal dari hubungan seksual. Apalagi berdasarkan data terbaru dari Kemenkes bahwa negeri ini menempati peringkat ke-14 dunia dalam jumlah orang dengan HIV (ODHIV) dan peringkat ke-9 untuk infeksi baru HIV. Pun diperkirakan ada sekitar 564.000 ODHIV pada tahun 2025 (Republika, 21-06-2025).
Tak terkecuali bahwasanya di balik fenomena viral ini, drama “S Line” secara tidak langsung terpromosikan secara luas yang menjangkau pasar diberbagai negara, dengan minim biaya iklan bahkan gratis. Begitulah keuntungan yang nyata bagi industri hiburan kapitalistik yang menjual sebatas sensasi bukan nilai.
Karena itu menjadi pertanyaan besar, apakah dapat dibantah bahwasanya budaya permisif tersebut merupakan bagian dari jebakan ideologis untuk merusak moral generasi tentang bagaimana orang memandang terhadap kehormatan diri?
Berbeda dengan kehidupan sekuler saat ini, Islam memandang bahwasanya aib mestinya tidak diumbar, karena sesungguhnya orang-orang yang sengaja mengumbar aibnya diancam tidak akan dimaafkan oleh Allah. Sebagaimana Rasulullah Saw. bersabda, “Setip umatku dimaafkan (dosanya), kecuali orang-orang yang menampak-nampakkannya.
Termasuk orang yang menampak-nampakkannya (dosanya) adalah seorang hamba yang melakukan perbuatan (maksiat) di malam hari sementara Allah telah menutupinya, kemudia di waktu pagi ia berkata, ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu.’ Padahal, pada malam hari Allah telah menutupi aibnya dan di pagi harinya ia menyingkap apa yang telah ditutupi oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Syariat Islam sejatinya tidaklah semata hanya mengatur ibadah ritual, yakni yang menyangkut hubungan individu dengan penciptanya (salat, puasa dll), tetapi juga mengatur urusan individu dengan dirinya sendiri (pakaian, makanan dll) dan yang menyangkut hubungan dengan orang lain seperti masalah bisnis, pendidikan dan masih banyak lagi.
Dalam Islam pun hakikatnya tidak menanti persoalan muncul untuk memberi sanksi, namun telah mengatur upaya pencegahan yang mana mampu mencegah munculnya perilaku yang menyimpang.
Hal tersebut di antarnya: Pertama, menanamkan akidah dan rasa malu sejak kecil. Kedua, menjaga interaksi antara pria dan wanita, kecuali pada hal-hal yang dibolehkan syariat seperti perkara kesehatan, pendidikan, ekonomi, sanksi dan kondisi darurat lainnya. Ketiga, melarang segala benuk pornografi, khalwat termasuk berbagai media yang mampu memicu timbulnya syahwat. Keempat, memberi sanksi yang tegas bagi yang melakukan zina.
Hal tersebut merupakan solusi sistemis yang dapat menopang secara struktural. Sebab tidak bisa berharap orang-orang akan berhenti membuka aib, bila media malah memicu tindakan tercela itu. Pun tak dapat berharap pada generasi muda saat ini akan mapu menjaga kehormatannya, jika kondisi yang ada masih banyak memberi celah hal tersebut terjadi.
Dengan demikian, sungguh sangat sulit berharap pada generasi hari ini untuk memiliki budi pekerti yang luhur, jika banyak celah yang dapat memicu tindakan tercela tersebut.
Dari itu, sudah saatnya semua pihak, keluarga, masyarakat dan tak kalah penting negara bersinergi dalam menciptakan generasi yang tak hanya cerdas secara akademik, tapi juga memiliki akhlak yang luhur sebagaimana aturan yang telah disyariatkan oleh Sang Pencipta, Allah Swt. Wallahu a’lam. (*)
Penulis: Fitri Suryani, S.Pd (Freelance Writer)
***
Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

















