OPINI—Di tengah gegap gempita kecerdasan buatan yang disebut-sebut sebagai masa depan peradaban, Indonesia justru berlari tanpa memegang kendali atas nasib digitalnya sendiri. Kita bangga memakai teknologi canggih, tetapi diam-diam data kita dipanen, preferensi kita diarahkan, dan masa depan kita digiring oleh algoritma yang tidak kita miliki. Di balik sorotan lampu kemajuan, ada kenyataan getir: bangsa ini semakin pintar memakai teknologi, tetapi semakin jauh dari kedaulatan digitalnya.
“Banyak orang hebat di Indonesia, tapi seringnya hanya berada di belakang layar. Maka dari itu kita perlu mengubah cara pandang kita dari sekadar mengagumi pihak luar menjadi yakin bahwa kita pun bisa melakukan hal yang sama,” ujar Miklos dalam sebuah forum pemuda.
Pada kesempatan yang sama, Dr. Haris Syahbuddin menegaskan bahwa kedaulatan bangsa—termasuk kedaulatan pangan—hanya mungkin terwujud jika generasi muda memegang kendali atas masa depan mereka sendiri. (Unhas.ac.id/26/11/2025)
Dua pandangan ini sesungguhnya menyingkap persoalan besar yang jarang kita hadapi dengan jujur: bahwa bangsa ini punya potensi luar biasa, tetapi masih hidup di bawah bayang-bayang dominasi asing. Jika dulu penjajahan merampas tanah dan sumber daya, kini penjajahan baru menguasai hal yang jauh lebih berharga yaitu data, algoritma, dan pikiran kita.
Dulu Dijajah Tanahnya, Kini Dijajah Datanya
Penjajahan tidak lagi datang dengan senjata, meriam. Ia menyusup lewat aplikasi, server, dan platform digital yang kita gunakan setiap hari. Dulu rempah kita dijarah, sekarang perilaku kita dijual. Dulu tanah diambil, kini identitas digital kita dipegang korporasi global.
Ironisnya, semua ini berlangsung sambil kita merasa sedang “maju”.
AI bukan sekadar teknologi, ia sekarang menjadi fondasi ekonomi, politik, bahkan budaya. Ketika fondasi itu dikuasai pihak luar, maka apa pun yang kita sebut “kemajuan” sejatinya hanyalah ketergantungan baru yang jauh lebih rumit.
Kapitalisme Mengendalikan Teknologi, Bukan Kemanusiaan
Kapitalisme hari ini tidak lagi bertumpu pada penjualan barang. Ia menjual data, pengaruh, dan kontrol sosial. Teknologi, terutama AI menjadi mesinnya. Akibatnya, arah perkembangan teknologi tidak digerakkan oleh kebutuhan manusia, tetapi oleh kepentingan pasar.
Kita melihat polanya berulang:
platform digital memanen data tanpa batas, algoritma mengarahkan preferensi sosial dan politik, industri lokal sulit tumbuh karena pasar dikuasai raksasa global, negara berkembang terjebak sebagai konsumen, bukan pencipta.
Inilah kolonialisme baru, tanpa kekerasan fisik, tetapi jauh lebih dalam pengaruhnya.
Narasi Kemajuan yang Menyesatkan
Setiap kali bicara tentang AI, publik didorong untuk “belajar teknologi sebanyak-banyaknya”. Tetapi pertanyaannya: apa gunanya belajar AI jika infrastruktur, platform, dan datanya tetap dimiliki pihak luar?
Kedaulatan digital tidak akan tercapai jika fondasi teknologinya tetap bertumpu pada logika kapitalisme global, yang hanya tunduk pada profit, bukan kemaslahatan manusia.
Ini Bukan Sekadar Teknologi, Ini Persoalan Peradaban
Bangsa yang tidak menguasai teknologinya akan kehilangan kendali atas masa depannya.
Tanpa kedaulatan digital, kita hanya menjadi penonton di panggung global.
Jika Indonesia ingin benar-benar bangkit, teknologi harus ditempatkan dalam kerangka nilai yang membela rakyat. Negara harus hadir melindungi warga dari dominasi algoritma asing yang tak punya tanggung jawab moral kepada bangsa ini.
Selama kita masih tunduk pada kapitalisme teknologi, kebangkitan hanya akan menjadi slogan kosong.
Islam: Teknologi untuk Maslahat, Bukan Eksploitasi
Berbeda dengan kapitalisme, Islam menempatkan teknologi sebagai amanah, bukan alat penjajahan. Dalam sistem Islam, teknologi digunakan untuk kemaslahatan umat, menopang pendidikan, pelayanan masyarakat, dakwah, dan jihad membela kehormatan umat.
Negara dalam Islam berkewajiban membangun kedaulatan pengetahuan, kedaulatan pangan, hingga kedaulatan digital. Dan itu hanya mungkin dengan tegaknya sebuah kepemimpinan yang mampu melindungi umat dari dominasi asing.
Umat akan bangkit, maju, dan berdaulat hanya dengan tegaknya Khilafah, yang menjadikan teknologi sebagai alat kebaikan, bukan alat kapitalisme global. (*)
Wallahu a‘lam bishshawab.
Penulis:
Megawati
(Aktivis Dakwah & Pemerhati Sosial)
Disclaimer:
Setiap opini, artikel, informasi, maupun berupa teks, gambar, suara, video, dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab masing-masing individu, dan bukan tanggung jawab Mediasulsel.com.










