Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Ilusi Ekonomi Hijau Melalui Kebijakan Kendaraan Listrik 

1051
×

Ilusi Ekonomi Hijau Melalui Kebijakan Kendaraan Listrik 

Sebarkan artikel ini
Despry Nur Annisa Ahmad
Despry Nur Annisa Ahmad

OPINI—Ekonomi hijau adalah upaya menghasilkan produk yang lebih ramah lingkungan dan mendukung pengurangan emisi karbon (Nugroho, 2022). Program ekonomi hijau ini semakin menjadi viral pembahasannya sejak momentum Presidensi G20 di Nusa Dua Bali tahun 2022 kemarin.

Momen tersebut menjadi ajang Indonesia yang diwakilkan oleh Menteri Keuangan unjuk gigi dalam pembiayaan rendah karbon dan berkelanjutan sekaligus mengundang investasi pada energi baru dan terbarukan. Pada ajang tersebut, Indonesia telah berkomitmen akan menyusun mekanisme transisi energi untuk mengakselerasi sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Pemanfaatan energi baru dan terbarukan telah banyak diterapkan di berbagai negara karena semakin menipisnya cadangan bahan bakar yang berasal dari fosil. Tony Hayward, CEO British Petroleum, bahkan secara ekstrem menyatakan cadangan minyak bumi dunia hanya dapat bertahan selama 42 tahun ke depan.

Selain itu, bahan bakar fosil dinilai berdampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan serta menyebabkan tingginya pencemaran udara terutama di daerah perkotaan. Sebagai contoh di Jakarta, pada bulan Oktober 2021 nilai rata-rata konsentrasi particulate matter 2,5 (polutan berbahaya bagi pernafasan berukuran kurang dari 2,5. mikrometer) di udara mencapai 26,9 mikrogram/m3 atau lima kali lipat lebih dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO sebesar 5 mikrogram/m3.

Berdasarkan hal tersebut, beberapa negara seperti Jepang mengambil kebijakan pelarangan penjualan mobil berbahan bakar minyak untuk selanjutnya akan beralih sepenuhnya ke mobil listrik pada tahun 2035.

Di Indonesia, kebijakan kendaraan bermotor listrik ini bertitik tolak dari data sektor transportasi yang menempati posisi pertama pemakai BBM terbesar, disusul sektor rumah tangga, industri, dan pembangkit listrik.

BPS merilis jumlah kendaraan bermotor di Indonesia pada tahun 2021 telah mencapai 141.992.573 juta unit kendaraan. Besarnya emisi gas rumah kaca dari pembakaran energi BBM sektor transportasi ini berdampak pada kenaikan tingkat pemanasan global yang dapat menyebabkan perubahan iklim ekstrem.

Jakarta, pada bulan Oktober 2021 nilai rata-rata konsentrasi particulate matter 2,5 (polutan berbahaya bagi pernafasan berukuran kurang dari 2,5 mikrometer) di udara mencapai 26,9 mikrogram/m3 atau lima kali lipat lebih dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO sebesar 5 mikrogram/m3.

Hal ini yang kemudian memberi semangat tersendiri bagi pihak pemerintah dalam mengeluarkan Perpres 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan.

Terdapat empat kebijakan strategis yang ditempuh dalam rangka mewujudkan mimpi mobil listrik nasional.

Pertama, menemukan alternatif sumber pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan. Saat ini, sebagian besar sumber pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan batu bara. Menurut Institute for Essential Service and Reform (IESR), dalam 10 tahun terakhir, 88% pasokan listrik masih berasal dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil, dengan komposisi 60% batu bara, dan sisanya mayoritas berasal dari minyak dan gas.

Kedua, meningkatkan pemberian insentif baik bagi produsen maupun pengguna mobil listrik. Bentuk pemberian insentif ini dapat berupa pembebasan/keringanan pajak, pembebasan/keringanan tarif tol, pembebasan dari ketentuan pelat nomor ganjil-genap, dan pemberian diskon tarif listrik, sebagai upaya percepatan pengembangan mobil listrik nasional.

Ketiga, perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pihak yang ditunjuk untuk menjamin ketersediaan listrik oleh Perpres 55/2019 harus menjamin ketersediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum yang memadai.

Keempat, Mengembangkan inovasi teknologi dan ekosistem daur ulang baterai mobil listrik. Berdasarkan kebijakan strategis ini, maka dapat dijustifikasi bahwa program kendaraan listrik ini akan semakin digenjot masif pelaksanannya.

Sebagai tambahan informasi lain tentang kendaraan listrik ini, penelitian Onn et al (2018) yang berjudul, Greenhouse gas emissions associated with electric vehicle charging: The impact of electricity generation mix in a developing country (Dampak pembangkit listrik di negara berkembang terhadap emisi gas rumah kaca—terkait dengan pengisian kendaraan listrik) dengan studi kasus di Malaysia dan Afrika Selatan, menunjukkan bahwa di Malaysia, dengan sistem ketenagalistrikannya, kendaraan listrik justru menimbulkan pelepasan karbon yang sedikit lebih tinggi dibandingkan kendaraan berbasis bensin.

Studinya mencatat bahwa persoalan tersebut berasal dari dominasi pembangkit listrik di Malaysia yang berasal dari energi batu bara (40%) dan gas bumi (52%). Pada kasus di Afrika Selatan, studinya menunjukkan bahwa angka pencemaran udara yang jauh lebih buruk. Pada setiap kendaraan listrik yang melaju 1 km, emisi sulfur oksida yang dihasilkan mencapai 35-50 kali lebih banyak dibanding kendaraan konvensional.

Sementara jejak karbon kendaraan listrik diperkirakan lebih besar sekitar 17%-64% dibandingkan kendaraan konvensional. Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa penggunaan kendaraan listrik di negara-negara yang bergantung pada energi fosil justru hanya menimbulkan jejak emisi yang lebih buruk dibandingkan kendaraan konvensional.

Artinya, kondisi ini justru akan semakin memperparah emisi karbon dan menambah kontribusi positif pada permasalahan utama atas gagasan inovasi ini, yakni terkait perubahan iklim. Sebelum terlarut dalam pembahasan teknis tentang energi seperti apa yang tepat untuk dijadikan sebagai energi yang ramah lingkungan, sekiranya sangat perlu terlebih dahulu memunculkan pertanyaan paling mendasar yang sangat substansial dan perlu sama-sama dipikirkan; mampukah penggunaan kendaraan listrik ini menjadi solusi atas krisis iklim yang terjadi saat ini?

Fakta Perubahan Iklim

Data yang dirilis oleh The Royal Society and the US National Academy of Sciences tentang Climate Change Evidence and Causes (update 2020) menunjukkan bahwa terjadi kenaikan perubahan suhu secara global dalam rentang tahun 1850-2019.

Dampak dari kenaikan perubahan suhu ini adalah penurunan batas permukaan Laut Artik pada musim dingin dan musim panas sejak tahun 1979-2019 yang telah melewati batas maksimum hingga lebih -40 meter di bawah permukaan laut. Arti sederhananya, keberadaan permukaan es di Laut Artik semakin mencair.

Kemudian pada belahan bumi yang berada di wilayah tropis, kenaikan muka air lautnya (sea level rise) semakin tinggi. Apabila kita mencermati, kejadian awal perubahan suhu ini tepat terjadi pasca revolusi industri (1750-1850) di Britania Raya. Khakim et al (2014) menyatakan bahwa revolusi industri membawa dampak besar pada wajah dunia saat ini, baik secara positif maupun negatif. Dampak positifnya, revolusi industri berdampak pada kemajuan teknologi diberbagai bidang seperti pertanian, manufaktur, dan transportasi.

Dampak negatifnya, revolusi industri meninggalkan derita berupa meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca sehingga menyebabkan pemanasan secara global dan akibat pemanasan global ini yang secara akumulatif berdampak pada perubahan iklim.

Dilansir dari artikel yang dirilis Climate.gov (2020), sekitar 9,5 miliar metrik ton karbon dilepaskan ke atmosfer setiap tahun melalui aktivitas pembakaran bahan bakar fosil, dan 1,5 miliar lainnya melalui deforestasi dan perubahan tutupan lahan lainnya. Keberadaan hutan dan vegetasi lainnya hanya mampu menyerap sekitar 3,2 miliar metrik ton per tahun, sedangkan lautan hanya menyerap sekitar 2,5 miliar metrik ton per tahun.

Jadi, sebanyak 5 miliar metrik ton karbon yang diproduksi manusia tetap berada di atmosfer setiap tahun. Hal ini menjadi sebab meningkatnya konsentrasi karbon dioksida secara global dengan rata sekitar 2,3 bagian per juta per tahun.

Sejak 1750, manusia telah melakukan aktivitas peningkatan karbon dioksida di atmosfer hampir 50 persen. Data tersebut menunjukkan bahwa keberadaan hutan dan vegetasi lainnya sudah tidak mampu lagi membendung peningkatan emisi gas karbon dioksida di atmosfer.

 

Aktor Penjahat Iklim Masa Kini

Melansir data pada www.katadata.co.id, Pada tahun 2016, negara yang paling banyak menghasilkan emisi karbondioksida terdiri dari, (1) China. World Resource Institute (WRI) menyebutkan Cina sebagai kontributor utama emisi karbon dioksida dunia sebesar 10,68 miliar ton emisi CO2 per tahun; (2) Amerika Serikat. AS berada di posisi kedua dengan produksi emisi karbon dioksida mencapai 5,82 miliar ton emisi CO2 per tahun.

Kemudian Indonesia, juga termasuk dalam daftar negara kontributor emisi gas rumah kaca terbesar dunia. Indonesia berada di urutan enam dengan produksi mencapai 1,98 miliar ton emisi CO2 setiap tahunnya.

Kemudian pada tahun 2021, Data International Energy Agency (IEA) dalam www.katadata.co.id menyebutkan bahwa emisi karbon dunia pada 2021 paling banyak berasal dari Tiongkok, yakni mencapai 11,94 gigaton CO2. Negara penyumbang terbesar selanjutnya adalah Amerika Serikat dengan emisi karbon 4,64 gigaton CO2, diikuti Uni Eropa 2,71 gigaton CO2, dan India 2,54 gigaton CO2.

Jadi selama 1 periode, aktor utamanya tetap Tiongkok dan AS dengan jumlah pelepasan yang semakin meningkat. Lebih lanjut, menurut IEA, emisi karbon global pada 2021 paling banyak berasal dari pembakaran batu bara dan gas alam. Sedangkan emisi karbon dari pembakaran BBM kendaraan dinilai masih lebih rendah 8% dibanding level pra-pandemi.

Jika digabungkan dengan data Grand Strategy Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM (2020), Tiongkok merupakan negara produsen baterai terbesar, dan akan terus mendominasi hingga beberapa tahun ke depan. Bahan dasar dari pembuatan baterai ini adalah katoda nikel.

Dilansir dari website www.nickelinstitute.org, sejak tahun 2015, keberadaan nikel di zaman modern ini sering dipergunakan sekitar 68% digunakan untuk baja tahan karat, 10% digunakan untuk paduan nikel–tembaga, 7% untuk baja paduan, 3% untuk pengecoran, 9% untuk pelapisan dan 4% dalam penggunaan lain.

Sebagai suatu senyawa, nikel memiliki kegunaan pembuatan bahan kimia khusus, seperti katalis untuk hidrogenasi (untuk ini digunakan nikel Raney), katoda untuk baterai, pigmen, dan perawatan permukaan logam.

Selaras dengan pembahasan kebijakan kendaraan listrik, maka tidak heran jika saat ini semakin masif pembukaan industri nikel di Indonesia karena ini berkaitan dengan penyediaan baterai dari kendaraan tersebut. Atas dasar ini pula, sebuah kewajaran jika perusahaan nikel di Indonesia sendiri dimiliki oleh Tiongkok. Karena adidaya dari program ini adalah Tiongkok.

Penguasaan pasar baterai untuk mobil listrik dan penjualan unit kendaraan mobil listrik atau PEV dunia pada tahun 2021 didominasi oleh LG Chem, CATL, dan Panasonic, yang merupakan produsen baterai utama dengan total kapasitas sebesar 43,8 GWh atau sekitar 10% dari total kapasitas pabrik baterai dunia.

Meski Tiongkok sebagai negara produsen baja tahan karat terbesar di dunia, namun pabrik smelter tidak berada di negaranya. Hal tersebut bisa dilihat pada data yang dirilis Grand Strategy Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM (2021). Pabrik Smelter dari lahan tambang yang dikuasai Tiongkok berada di Negara Asia seperti Indonesia, Amerika Utara, dan Eropa.

Disatu sisi, ada hal yang membingungkan juga terjadi, ketika Indonesia latah terarus mengikuti kebijakan kendaraan listrik sebagai solusi mengatasi perubahan iklim.

Padahal aktor utama pelaku kejahatan iklim bukanlah Indonesia, tapi mengapa Indonesia yang juga harus menjadi pemadam derita perubahan iklim secara global? Apalagi dikaitkan dari referensi yang lain bahwa kendaraan listrik bukan solusi efektif dalam pemilihan energi alternatif yang ramah lingkungan.

Belum lagi, PLTU-PLTU untuk operasional smelter nikel tetap berjalan dan itu berbahan bakar batu bara, energi fosil. Apakah memang sudah benar, kebijakan kendaraan listrik ini adalah solusi ekonomi hijau?

Fakta hari ini menunjukkan bahwa keberadaan industri nikel menyisakan derita bagi lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat lokal. Banyak artikel ilmiah hingga media lokal dan nasional yang juga pernah menyorot aktivitas eksploitasi nikel ini.

Maga et al (2017) menyebutkan kerusakan lingkungan yang terjadi Konawe Selatan (sulawesi Tenggara) disebabkan oleh konversi lahan menjadi industri nikel dan buangan limbah tambang.

Hasnia dan Sigit (2023) dengan studi kasus nikel di Morowali (Sulawesi Tengah) juga menyatakan bahwa terjadi kehilangan vegetasi alami di lokasi tambang nikel. Hal ini terjadi dari proses pembersihan lahan (land clearing) yaitu menyingkirkan dan menghilangkan penutup lahan berupa vegetasi.

Hilangnya beberapa jenis tanaman ini dapat dikatakan sebagai salah satu jenis kerusakan lingkungan biotik, karena tumbuh-tumbuhan tersebut merupakan organisme produsen yang menghasilkan banyak sumber makanan bagi organisme lainnya.

Hilangnya vegetasi juga akan berdampak pada perubahan iklim mikro, keanekaragaman hayati (biodiversity) dan habitat satwa menjadi berkurang. Tanpa vegetasi lahan menjadi terbuka dan akan memperbesar erosi dan sedimentasi pada saat musim hujan.

Selain hilangnya vegetasi penutup dan hilangnya fauna darat akibat kegiatan pembersihan lahan pada penambangan bijih nikel, jenis kerusakan komponen lingkungan biotik lain adalah dengan ditandai menurunnya biota air yakni ikan di sekitar kawasan tambang.

Hal ini diakibatkan oleh banyaknya tanah lumpur dari aktivitas pembangunan jalan tambang (haulling) dan penumpukan ore yang masuk kedalam sungai dan laut yang terbawa oleh banjir jika musim hujan tiba sehingga mengakibatkan sedimentasi pada air sungai dan laut.

Banyaknya sedimen yang ada didalam air akan menjadikan air keruh sehingga paparan sinar matahari yang masuk kedalam air menjadi terhalang, hal tersebut menjadikan oksigen menjadi sulit diterima oleh biota air termasuk ikan. Pada lingkungan abiotik di Morowali sendiri, tingkat kerusakan lingkungan adalah kerusakan berat (Hasnia dan Sigit, 2023).

Belum lagi dengan fakta keberadaan industri nikel di Bantaeng (Sulawesi Selatan) yang juga hari ini menyisakan derita yang sama. Hasil studi lapangan penulis menunjukkan bahwa asap operasional smelter dari industri tersebut begitu pekat dan masyarakat lokal mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).

Penderita ISPA yang timbul akibat aktivitas industri nikel ini, dinyatakan oleh Rukmana (2016) diakibatkan karena terjadinya penurunan kualitas udara dan kebisingan dimana berdasarkan data Adendum ANDAL, RKL, DAN RPL PT.SMI di Morowali Tahun 2014 bahwa kandungan Nitrogen Dioksida (NO2) hampir mendekati batas baku mutu pada tahun 2013 bulan april sebesar 117,59, yang disebabkan aktivitas pertambangan.

Bila gas nitrogen oksida atau nitrogen dioksida cair mengenai kulit atau mata, hal itu dapat menyebabkan iritasi dan terbakar. Sedangkan paparan jangka panjang terhadap nitrogen dioksida tingkat rendah, dapat menyebabkan asma dan infeksi pernapasan (www.halodoc.com).

Hasil wawancara dengan masyarakat lokal yang terdampak dinyatakan bahwa aktivitas Perusahaan Nikel di Bantaeng menghasilkan debu-debu berwarna merah dan hitam yang berterbangan dan mencemari lingkungan rumah warga Desa Papanloe. Setiap hari warga terpaksa menyapu lantai 5-7 kali dalam sehari akibat debu perusahaan tersebut.

Kemudian aroma busuk dan bising akibat suara mesin produksi Nikel. Debu-debu perusahaan itu sangat gatal sampai rumah warga retak akibat getaran alat berat dan 40 sumur menjadi kering.

Limbah dari nikel pun juga mempengaruhi kualitas air laut yang berdampak pada menurunnya produksi rumput laut dan perikanan tangkap dalam radius tangkapan yang biasanya digunakan oleh para warga setempat.

Atas dasar hal ini, maka memang sungguh sebuah ilusi, sebuah halusinasi, atau bahkan sebuah nurani yang tertutup kabut pekat, jika dikatakan bahwa solusi agar ekonomi hijau itu adalah penggunaan kendaraan listrik, jika fakta pengadaan bahan bakunya di hari ini begitu merugikan masyarakat lokal. Padahal tahap sekarang, penggunaannya belum masif, tapi luka dan deritanya sudah dimana-mana.

 

Menggali Akar Masalah Perubahan Iklim

Selama 15 tahun terakhir, krisis iklim yang semakin dalam telah meningkatkan frekuensi dan dampak bencana alam. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) berikutnya, yang diterbitkan pada tahun 2014, menyimpulkan bahwa terdapat kemungkinan 95% aktivitas manusia telah menghangatkan planet kita selama 50 tahun terakhir.

Periode lima tahun terakhir adalah lima tahun terhangat dalam catatan. Laporan IPCC terbaru, yang diterbitkan pada 28 Februari 2022, telah menegaskan kembali bahwa “perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia menyebabkan gangguan berbahaya dan meluas di alam dan memengaruhi kehidupan dan mata pencaharian miliaran orang, meskipun ada upaya untuk mengurangi risiko.”

Pertumbuhan ekonomi global menyebabkan peningkatan konsumsi sumber daya alam, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati dan sekaligus memperlebar kesenjangan pendapatan antara si kaya dan si miskin. Perubahan lingkungan yang parah yang telah terjadi dan bagaimana orang-orang dari kelas ekonomi atas dan bawah terkena dampak yang tidak merata oleh perubahan ini.

Kondisi ini mencerminkan masalah nyata yang akan dialami generasi mendatang saat perubahan iklim kita yang tidak dapat dibuat berubah (Pollock, 2020). Kejaran pertumbuhan ekonomi global sejatinya berasal dari kapitalisme global yang secara alami menuntut ekspansi ekonomi yang merupakan kekuatan pendorong bagi ketimpangan pendapatan dan perubahan iklim.

Perekonomian global mencerminkan sistem yang sama yang berlaku saat ini, dengan keberadaan kapitalisme global yang mendorong produksi dan konsumsi. Sebagian besar ilmuwan iklim sepakat bahwa penyebab perubahan iklim adalah peningkatan emisi gas rumah kaca, khususnya karbon dioksida, yang meningkat pesat sejak Revolusi Industri.

Para ilmuwan progresif juga mengakui kerusakan serius yang dihasilkan dari dorongan kapitalis global. Hal ini berkaitan dengan upaya tak berujung dari pemilik swasta untuk memperluas dan meningkatkan keuntungan mereka. Keputusan yang paling menguntungkan tidak akan pernah menjadi yang paling ramah lingkungan, sehingga pemilik perusahaan swasta akan menahan diri untuk tidak membuat keputusan sadar lingkungan tanpa peraturan (Pollock, 2020).

Berdasar ulasan sederhana ini, maka dapat dijustifikasi bahwa sejatinya yang menjadi akar utama dalam masalah krisis iklim adalah paradigma pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis pada pemikiran kapitalisme, yakni hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dibandingkan aspek lainnya.

Jika akar masalahnya di hulu ada pada kesalahan paradigma, maka tentu saja tidak relevan dengan kebijakan penggunaan kendaraan listrik ini sebagai solusi ekonomi hijau. Sebab kebijakan kendaraan listrik ini statusnya hanya sebagai kebijakan hilir, sementara persoalan akarnya di hulu tidak terselesaikan.

Lebih lanjut Pollock (2020) merilis pernyataan, bahwa kapitalisme tidak akan pernah mau berpikir rugi, apalagi ganti rugi dalam mengejar angka pertumbuhan ekonomi. Secara fitrahnya, kapitalisme adalah paradigma yang mengakomodir segala kebebasan dalam melakukan apa saja untuk mencapai tujuan utamanya, dalam hal ini mengejar pertumbuhan ekonomi dengan biaya yang murah.

 

Upaya Dunia Mengatasi Krisis Lingkungan

Terkait permasalahan lingkungan bahkan secara spesifik sampai ke bahasan iklim, telah banyak diselenggarakan KTT Dunia. Mulai dari Tahun 1972, diselenggarakan pertemuan global PBB di Stockholm yang pertama untuk membahas masalah lingkungan dan dampaknya terhadap umat manusia yang disebut United Nations Conference on the Human Environment (UNCHE).

Hasil pertemuan tersebut tercetus rekomendasi bagi setiap negara agar memiliki kementerian khusus yang membahas persoalan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Tahun 1982 diselenggarakan World Commision on Environtment and Development di Nairobi, Kenya.

Hasil pertemuan tersebut tercetus definisi tentang pembangunan berkelanjutan. Tahun 1992 diselenggarakan UNCED atau dikenal dengan Rio Summit yang merupakan Agenda 21. Tahun 2000 di New York diselenggarakan KTT Lingkungan dibawah Pengawasan PBB yang disebut KTT Milenium.

Pada forum ini ditetapkan MDGs yang berisikan delapan tujuan yang ingin dicapai hingga tahun 2015, dengan berbagai indikator untuk masing-masing sasaran tersebut.

Kedelapan sasaran tersebut adalah;

  • 1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan;
  • 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua;
  • 3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan;
  • 4) menurunkan angka kematian anak;
  • 5) meningkatkan kesehatan ibu;
  • 6) memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lain;
  • 7) menjamin kelestarian lingkungan hidup; dan
  • 8) membangun kemitraan global untuk pembangunan.

 

Tahun 2002 diselenggarakan KTT Dunia tentang Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg. Hasil KTT ini mendeklarasikan Rencana Implementasi mengurangi kemiskinan, mengubah pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, melindungi dan mengelola sumber daya alam, memenuhi tantangan globalisasi, dan melindungi kesehatan manusia. Tahun 2012 diselenggarakan Rio+20 yang menghasilkan satu tujuan bersama yaitu Future We Want. Pada tahun 2015 MDGs berakhir dan dilanjutkan dengan SDGs yang memiliki target hingga tahun 2030. Rangkaian diskusi untuk menemukan solusi permasalahan atasi krisis lingkungan secara global ini belum juga berhasil hingga saat ini karena tawaran solusinya memang tidak menyentuh akar masalah, yakni pada upaya mengganti paradigma kapitalisme dalam pengelolaan segala sumberdaya yang terdapat di bumi ini.

 

Islam Menawarkan Solusi Atasi Krisis Lingkungan 

Islam sebagai sebuah ideologi, punya pemikiran khas dalam hal pengelolaan sumberdaya, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Ideologi Islam ketika diterapkan dalam bingkai negara, maka secara alami akan menstimulus khalifah selaku pemimpinnya untuk menetapkan visi politik, menjadi negara mandiri, kuat, dan terdepan. Beberapa dalil yang menunjukkan keharusan visi politik ini diadopsi oleh muslim dalam bingkai penerapannya pada negara adalah;

اْلإِسْلاَمُ يَعْلُوْ وَلاَ يُعْلَى.

Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengalahkan ketinggiannya.” (HR. Ad Daruquthni)

 

Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku tanpa mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Siapa saja yang tetap kafir sesudah janji itu maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS an-Nur [24]: 55).

Syariah Islam mewajibkan Negara memiliki mentalitas untuk mencegah hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya terhadap warga negaranya seperti pencemaran, pengrusakan alam, hilangnya mata pencaharian warga, dsb, sebagaimana muatan dari maqashid syariah (hifdzun ad diin, hifdzun an nafs, hifdzun aql, hifdzun nasl, dan hifdzun maal) itu sendiri.

Hal inipun juga terkait dengan kedudukan penguasa dalam Islam yang didudukkan sebagai pelindung rakyat, bukan sebagai pelayan korporat. Sabda Nabi saw:

إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Sungguh Imam (pemimpin) itu (laksana) perisai. Di belakang dia orang-orang berperang dan kepada dirinya mereka berlindung” (HR al-Bukhari dan Muslim).

 

Keberadaan visi politik Islam akan senantiasa terrefleksi pada sistem politik dan sistem ekonomi sebagai suprastruktur sistem bernegara. Secara bangunan politiknya, Islam mendudukkan bahwa mengurus urusan ummat adalah sebuah kewajiban penguasa beserta para jajaran pejabat yang terkait dalam ranah al hukkam.

فَاْلإِماَمُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (penguasa) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus”(HR al-Bukhari).

Atas dasar dalil tersebut, maka diperlukan mentalitas keimanan untuk meresponnya. Bukan mentalitas kepentingan. Mentalitas keimanan inilah yang secara alami akan membentuk individu yang diberikan amanah mengurus rakyat, akan terus berupaya mengurusnya berdasarkan panduan kehidupan dari wahyu, bukan dari nafsunya. Hal yang kontras terjadi pada sistem politik demokrasi-kapitalisme.

Meski dikatakan kedaulatan di tangan rakyat, realitanya rakyat tak berdaya ketika penguasa atau wakil rakyat mereka mengesahkan aturan yang merugikan dan merampas hak-hak mereka. Negara dalam demokrasi-kapitalisme tunduk pada kepentingan modal dengan dalih pemasukan untuk negara. Padahal jutaan rakyat terdampak dan menderita karena kebijakan tersebut.

Secara bangunan sistem ekonominya, Islam menetapkan tiga kategori pengelolaan harta kekayaan berdasarkan status kepemilikannya.

Pertama, kepemilikan individu. Kepemilikan individu ini sepenuhnya diatur oleh syariah. Hukum syariah yang berlaku pada barang zat maupun manfaatnya, yang memungkinkan seseorang untuk menggunakan barang tersebut atau mendapatkan kompensasi baik karena barangnya diambil manfaatnya oleh orang lain seperti disewa, atau diambil alih melalui cara dibeli.

Hak Milik Individu adalah hak syara’ untuk seseorang sehingga orang tersebut boleh memiliki kekayaan yang bergerak maupun kekayaan tetap. Kehadiran negara dalam hal ini dapat menjaga dan menentukan dengan adanya pengundang-undangan hukum syara’ dan pembinaan-pembinaan terkait kepemilikan harta pribadi. Dalam hal ini, negara yang terwakilkan oleh baitul mal, dapat memfasilitasi masyarakat yang telah cukup haul dan nisab hartanya untuk zakat, infaq, dan sadaqah.

Kedua, harta kepemilikan umum. Pada ranah ini, ijin Asy-Syari’ kepada masyarakat untuk sama-sama memanfaatkan suatu benda, yaitu benda-benda yang telah dinyatakan oleh Asy-Syari’ bahwa benda-benda tsb untuk suatu komunitas, dimana mereka masing-masing saling membutuhkan dan Asy-Syari’ melarang benda tersebut dikuasai oleh hanya seorang saja (seperti: Segala fasilitas umum, bahan tambang, dan SDA yang sifat pembentukkannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara perorangan. Hal ini juga terkait dengan pembahasan tambang nikel sebagai bahan baku kendaraan listrik.

Status kepemilikannya adalah kepemilikan umum (milkiyyah ‘ammah). Semua rakyat boleh memanfaatkan nikel ini. Beberapa dalil yang menyebutkan ini (www.muslimahnews.net.id ) adalah,

الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِى ثَلاَثٍ فِى الْمَاءِ وَالْكَلإِ وَالنَّارِ وَثَمَنُهُ حَرَامٌ

Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, padang rumput dan api. Harganya adalah haram.” (HR Ibnu Majah dan Ath-Thabarani).

Berdasarkan hadits ini, ketiga jenis sumber daya alam ini adalah milik umum. Nikel sendiri dalam ranah pembahasan ini termasuk dalam pembahasan api, sebagai energi. Statusnya sebagai milik umum adalah berdasarkan sifatnya, yakni sebagai barang-barang yang dibutuhkan masyarakat secara umum (As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 67). Dari hadis di atas bisa digali kaidah hukum,

كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مَرَافِقِ اْلجَمَاعَةِ كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً

“Setiap benda/barang (sumber daya alam) yang menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat secara luas adalah milik umum.” (An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, 3/466).

Dengan demikian, tidak hanya air, api, dan padang rumput, semua sumber daya alam yang menjadi kebutuhan masyarakat secara luas (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum (An-Nabhani, An-Nizhaam al-Iqtishaadi, hlm. 201).

Alasannya, Rasulullah saw. pernah memberikan penguasaan air di Thaif dan Khaibar kepada seseorang. Air tersebut tidak menjadi tempat bergantung masyarakat. Kenyataan ini menunjukkan bahwa larangan penguasaan ketiga jenis barang dalam hadis di atas mengandung ilat. Ilatnya adalah barang tersebut “min maraafiq al-jamaa’ah” (kebutuhan bersama masyarakat). Dalam kaidah usul dinyatakan,

اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ الْمَعْلُوْلِ وُجُوْداً وَ عَدَماً

Ada atau tidak adanya hukum bergantung pada ilatnya.”

Berdasarkan kaidah ini, semua yang terkategori barang yang dibutuhkan publik (min maraafiq al-jamaa’ah) adalah milik umum. Pembahasan energi (yang depositnya melimpah) sebagai milik umum juga termasuk ke dalam bahasan hadis tentang barang tambang dari riwayat Abyadh bin Hammal ra.,

عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ

Dari Abyad bin Hammal: Ia pernah mendatangi Rasulullah saw. dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepadanya. Beliau saw. pun memberikan tambang itu kepada dirinya. Ketika Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang lelaki yang ada di majelis itu berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan kepada dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw. menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Hadis ini maqbul dengan banyaknya jalan (katsrah ath-thuruq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (Tuhfah al-Ahwadzi, 4/9). Hadis ini adalah dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Zallum, Al-Amwaal, hlm. 54—56). Imam Syafii, sebagaimana yang dikutip Imam al-Mawardi menyatakan, “Asal barang tambang ada dua. Apa yang zhâhir seperti garam yang dijumpai manusia di pegunungan, tidak boleh diberikan sedikitpun dan manusia berserikat atasnya. Demikian pula dengan sungai, air dan tanaman yang tidak dimiliki seseorang.

Abyadh bin Hammal telah meminta kepada Nabi saw. agar diberi tambang garam Ma’rib. Lalu ia diberi. Namun, ketika dikatakan kepada beliau bahwa tambang itu seperti air yang mengalir, maka beliau menjawab, ‘Jika demikian, tidak boleh.”

Imam Syafii melanjutkan, “Serupa dengan barang tersebut, yaitu barang yang zhâhir seperti minyak, asphalt, sulfur, batubara (bitumen) atau batu yang zhâhir yang tidak dimiliki seseorang. Barang-barang itu seperti air dan padang gembalaan; manusia memiliki hak yang sama atasnya.” (Al-Mawardy, al-Hâwy al-Kabîr-Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah VII/491).

Ini berlaku bukan hanya untuk garam saja, seperti dalam hadis di atas, tetapi juga berlaku untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut berdasarkan ilat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”.

Artinya, semua barang tambang yang jumlahnya “seperti air yang mengalir” (depositnya melimpah) haram dimiliki oleh individu (privatisasi), termasuk swasta apalagi asing. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu al-Qudamah,

“Barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi, air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Jawabannya ada dua riwayat. Yang lebih kuat adalah tidak boleh memilikinya.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/131)

Berdasarkan dalil dan hasil ijtihad dari berbagai ulama tersebut, ditetapkan bahwa seluruh kekayaan alam ini haram dilakukan privatisasi. Kehadiran negara dalam hal ini, hadir untuk mengelolah kepemilikan umum ini untuk kepentingan publik. Negara boleh memberikan kepada rakyat secara gratis atau menetapkan harga terjangkau semua kalangan, lalu hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Hasil pengelolaan kekayaan alam milik umum ini yang kemudian menjadi salah satu sumber pemasukan baitul mal (APBN negara) untuk selanjutnya bisa dijadikan sebagai salah satu pos pembiayaan untuk penyediaan kebutuhan pokok masyarakat (pendidikan, kesehatan, keamanan), kebutuhan pokok individu (sandang, pangan, papan), membangun industri berat, infrastruktur, dan belanja negara lainnya.

Adapun terkait perumusan kebijakan teknis dari bentuk pengelolaan harta milik umum ini, dapat diinisiasi oleh negara berdasarkan kebutuhan dari masyarakat itu sendiri. Negara dalam hal ini dapat meminta kepada para ilmuwan untuk melakukan analisis terbaik dan paling mutakhirnya dalam penyediaan energi dan alat transportasi yang ramah lingkungan.

Negara hadir membiayai riset tanpa perlu membebani para ilmuwan dengan aturan administrasi wajib publikasi yang terindeks reputasi global seperti sekarang, sebab tujuan substansi risetnya memang fokus pada kepentingan masyarakat.

Hasil-hasil riset itulah yang kemudian diseleksi oleh al hukkam untuk diadopsi oleh negara menjadi sebuah kebijakan. Bahkan sangat memungkinkan, justru bukan nikel yang menjadi solusi ekonomi hijau ini karena para ilmuwan energi masa kini justru menemukan nuklir sebagai energi bersih. Hanya saja penelitian terkait ini, kesannya disepelehkan oleh negara demokrasi-kapitalisme hari ini.

Apalagi di Indonesia, hoax nuklir begitu banyak beterbangan di kepala orang-orang awam yang tidak punya kapasitas berbicara tentang energi alternatif ini. Padahal Indonesia punya potensi nuklir yang mumpuni, tapi yang mengelolah itu lagi-lagi dari negara luar. Para ilmuwan nuklir justru dimatikan gaungnya, apalagi sejak meleburnya BATAN ke dalam kesatuan BRIN.

Fakta lainnya juga menunjukkan bahwa, tidak sedikit kita jumpai kalangan sebagian besar ilmuwan/akademisi yang terjebak hanyut dan silau pada seremonial publikasi riset dengan biaya yang tidak murah.

Disatu sisi, kita juga tidak bisa menutup mata, bahwa rendahnya gaji ilmuwan/akademisi saat ini menjadi penyebab utama mengapa kalangan intelektual masa kini hanyut dalam seremonial seperti itu (*terlepas dari unsur unjuk baqa demi mendulang pengakuan eksistensi di pihak oknum ilmuwan/akademisinya).

Melalui kegiatan riset dan publikasi inilah, ilmuwan/akademisi baru bisa mendapat reward honor tambahan kinerja untuk menutupi/mengimbangi kekurangan dari gaji pokok yang alakadarnya, ditengah harga kebutuhan primer, sekunder, hingga tersier yang semakin meningkat drastis. Padahal jika melihat output hasil risetnya, belum tentu juga semuanya diterapkan oleh negara.

Tapi, kondisi fakta ini tidak lantas menjadi alasan untuk tidak lagi melakukan riset bagi para ilmuwan/akademisi yang fokus dan tulus secara keimanan. Penekanannya bahwa, penting untuk tetap fokus menggenjot terwujudnya substansi dari riset itu sendiri, untuk kepentingan masyarakat. Sejarah peradaban Islam pernah mencatat, bahwa para penjaga dan pengamal ilmu di masa itu begitu terjamin kesejahteraan dan terjaga kewarasannya dalam fokus berkarya untuk ummat.

Sebagai contoh (dilansir dari www.muslimahnews.net.id), di masa Kekhalifahan Abbasiyah, gaji ulama dan para pengajar sangat fantastis. Gaji para pengajar di masa itu sama dengan gaji para muazin, yakni seribu dinar per tahun. Jika dikonversi 1 dinar setara 4,25 gram emas dan diasumsikan 1 gram emas seharga Rp900.000, maka 2.000 dinar setara dengan Rp7,65 miliar per tahun atau Rp637.500.000 per bulan.

Sedangkan, para ulama yang sibuk dengan mengajarkan Al-Qur’an digaji dengan 2.000 dinar. Adapun ulama dengan kemampuan khusus yang mengurusi ilmu-ilmu Al-Qur’an, mengumpulkan riwayat hadis dan juga ahli dalam fikih memperoleh gaji 4.000 dinar per tahun atau setara dengan Rp15,3 miliar per tahun.

Bahkan, di masa kepemimpinan Khalifah Harun ar-Rasyid, penghargaan terhadap para guru tampak dari kebijakannya yang menggaji para ilmuwan atau ulama dengan emas yang setara dengan timbangan buku/ karya yang mereka hasilkan.

Kepemilikan harta kekayaan ketiga, adalah milik negara. Harta milik negara ini adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang Khalifah sesuai dengan pandangan dan ijtihadnya, semisal harta fai’, kharaj, jizyah dan sebagainya. Demikianlah konsep bangunan sistem ekonomi Islam. Konsep sederhana namun begitu terperinci dalam proses pengaplikasiannya.

Jika hal ini mampu terterapkan, kebutuhan pokok individu, masyarakat, bahkan negara dapat terpenuhi tanpa harus mengejar investasi dari negeri asing. Sebab pada dasarnya, negeri Indonesia sudah begitu melimpah kekayaannya.

Sisanya hanya pada political will dari penguasanya, yang tidak lain adalah seorang muslim. Jadi secara keseluruhan, akan sangat tidak mungkin terwujud ekonomi hijau jika penerapan sistem politik dan sistem ekonominya -sebagai suprastruktur sistem- bukan berdasarkan pada aturan wahyu, Islam.

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al A’raf [7]: 96).

 

Referensi Umum

  • [BPS]. 2021. Jumlah kendaraan bermotor, diakses online https://www.bps.go.id/indicator/17/57/1/jumlah-kendaraan-bermotor.html
  • Nugroho. A. 2022. Mimpi Mobil Listrik Nasional dan Dukungan Terhadap Ekonomi Hijau. Diakses online pada https://klc2.kemenkeu.go.id/kms/knowledge/mimpi-mobil-listrik-nasional-dan-dukungan-terhadap-ekonomi-hijau-76953cfc/detail/
  • Republik Indonesia. Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan.
  • Onn CC, Mohd NS, Yuen CW, Loo SC, Koting S, Rashid AFA, Karim MR, Yusoff S. 2018. Greenhouse gas emissions associated with electric vehicle charging: The impact of electricity generation mix in a developing country. Transportation Research Part D: transport and Environment Vol 64 15-22. https://doi.org/10.1016/j.trd.2017.06.018
  • The Royal Society and the US National Academy of Sciences. 2020. Climate Change Evidence and Causes (update 2020) diakses online pada https://royalsociety.org/~/media/royal_society_content/policy/projects/climate-evidence-causes/climate-change-evidence-causes.pdf
  • Khakim N, Jatmiko RH, Nurjani E, Daryono BS. 2014. Perubahan Iklim dan Pemanfaatan SIG di Kawasan Pesisir. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
  • Herring D. 2020. Are Humans Causing or Contributing to Global Warming. Climate.gov, diakses online pada https://www.climate.gov/news-features/climate-qa/are-humans-causing-or-contributing-global-warming
  • Databooks. Katadata.co.id. 2016. Cina dan Amerika Penghasil Emisi Karbon Terbesar Dunia, diakses online pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2016/11/14/cina-dan-amerika-penghasil-emisi-karbon-terbesar-dunia
  • Databooks. Katadata.co.id. 2021. Negara Penyumbang Emisi Karbon Terbesar, diakses online pada https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/03/21/ini-negara-penyumbang-emisi-karbon-terbesar-pada-2021
  • Nickel Institute. 2023. First Uses of Nickel. Diakses online pada https://web.archive.org/web/20170921000402/https://www.nickelinstitute.org/NickelUseInSociety/AboutNickel/FirstAndEndUsesofNickel.aspx
  • Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2021. Grand Strategy Mineral dan Batu Bara (Arah Pengembangan hulu Hilir Mineral Utama dan Batu Bara Menuju Indonesia Maju. Diakses pada https://www.esdm.go.id/assets/media/content/content-buku-grand-strategy-komoditas-minerba.pdf
  • Maga L, Ismail A, Falatehan AF. 2017. Merumuskan Kebijakan dalam Mengatasi Kerusakan Lingkungan Akibat Aktivitas Tambang Nikel Di Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 4 No. 2 125-142
  • Hasnia G & Sigit TH. 2023. Kajian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Bijih Nikel Di Kecamatan Bahodopi Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah. Globethics.Library.
  • Rukmana S. 2016. Pengaruh Aktivitas Pertambangan Terhadap Lingkungan Permukiman Masyarakat di Kawasan Pesisir Kecamatan Bohodopi Kabupaten Morowali. Undergraduate thesis, UIN Alauddin Makassar.
  • Halodoc.com. 2020. Bahaya Nitrogen Oksida. Diakses online pada https://www.halodoc.com/artikel/ledakan-di-lebanon-hasilkan-nitrogen-oksida-ini-bahayanya
  • Concern world wide US. 2022. The Human Activities Than Cause Climate Change – and Why It Matters. Diakses pada https://www.concernusa.org/story/human-activities-that-cause-climate-change/
  • Pollock L. 2020. How Capitalism is a Driving Force of Climate Change. Journal of Humanities, Special Issue: pandemics & Politics. Diakses pada https://pitjournal.unc.edu/2022/12/24/how-capitalism-is-a-driving-force-of-climate-change/

 

Referensi tsaqafah Islam

  • https://muslimahnews.net/
  • https://buletinkaffahid.wordpress.com/

Penulis

Despry Nur Annisa Ahmad, ST, M.Sc 

Mahasiswa Doktor Ilmu Pengelolaan Summberdaya Alam dan Lingkungan IPB University

error: Content is protected !!