Advertisement - Scroll ke atas
  • Pemkot Makassar
  • Pemkot Makassar
  • Hari Guru Nasional
Opini

Pemindahan IKN Untuk Siapa?

2976
×

Pemindahan IKN Untuk Siapa?

Sebarkan artikel ini
Pemindahan IKN Untuk Siapa?
Despry Nur Annisa Ahmad, ST, M.Sc (Dosen dan Peneliti)
  • Pemprov Sulsel
  • Bapenda Makassar
  • PDAM Makassar
  • DPRD Makassar
  • Siaran Digital
  • Bapenda Sulsel

OPINI—Hingga saat ini, pro kontra pemindahan ibukota Jakarta masih terus bergulir dibahas. Apabila melihat mundur ke belakang, pro kontra ini sebenarnya telah marak dibahas dan dikupas dalam berbagai forum, didiskusikan dibeberapa acara tv, bahkan hingga media cetak secara luas sejak 2010.

Jika melihat sejarah Indonesia sejak kemerdekaan di Tahun 1945, tercatat bahwa telah tiga kali Indonesia melakukan pemindahan ibukota. Mulai dari Yogyakarta (1946), Bukittinggi (1949), dan terakhir di Jakarta (1961 hingga sekarang) setelah keluarnya Perpres Nomor 2 Tahun 1961 yang kemudian diperkuat melalui UU Nomor 10 Tahun 1964.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Pembahasan IKN kian memuncak sesaat setelah pengesahan UU IKN yang meresmikan Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur sebagai lokasinya.

Secara personal, penulis sangat mengapresiasi segala bentuk inovasi dalam memindahkan IKN yang di Jakarta karena hal ini menjadi sah-sah saja, ditambah dengan permasalahan Jakarta yang sudah begitu kompleks, utamanya dalam hal kapasitas daya tampung ruang.

Bahkan kajian secara ilmiah yang super teknis hingga penganggaran juga telah dikaji dalam Buku Logika Pemindahan Ibu Kota Jakarta (2011) oleh Alm Prof. Rahardjo Adisasmita dan anak beliau, Prof. Sakti Adji Adisasmita.

Hanya saja dalam buku tersebut, opsi lokasinya bukan di Kalimantan Timur, melainkan Provinsi Sulawesi Selatan dengan pusatnya di Kota Makassar. Estimasi biaya berdasarkan hasil kalkulasi kasar buku tersebut memaparkan bahwa dibutuhkan anggaran kurang lebih Rp70 Triliun dalam proses pemindahan IKN secara keseluruhan.

Gagasan awal kajian dalam buku tersebut dimulai dari pembahasan problematika pembangunan yang masih mengalami disparitas (kesenjangan) antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI).

Lihat Juga:  Ibu Kota Nusantara, Merusak Hutan atau Memperbaiki Lingkungan?

Berangkat dari permasalahan disparitas tersebut, kemudian diinternalisasikan pada rangkaian teori pemilihan lokasi pusat perdagangan dan pusat pembangunan untuk dijadikan sebagai acuan dasar secara ilmiah dalam pemindahan ibukota.

Beberapa teori yang digunakan diantaranya yakni berupa teori tempat sentral oleh Walter Christaller (1933), teori simpul jasa distribusi oleh Poernomo Hadjisarosa (1970), dan teori klasifikasi wilayah poros pembangunan oleh John Friedman (1964).

Melalui buku tersebut saya kemudian mencatat poin penting bahwa butuh kajian yang sangat matang dalam proses pemindahan IKN ini. Sementara bila membenturkan dengan realitas pemindahan IKN hari ini, saya pribadi menilai agaknya terlalu terburu-buru dan terlalu prematur dalam proses penetapan dan timing pemindahannya.

Banyak kontradiksi yang menurut saya juga patut menjadi pertanyaan ketika melihat data KLHK (2022) berikut;

1) Area IKN memerlukan pemulihan ekosistem sebesar Rp5,866 miliar. Informasi ini menunjukkan bahwa realitas lahan IKN bukanlah lahan kosong yang hijau secara menyeluruh, melainkan lahan kosong hasil kerusakan eksploitasi tambang sehingga butuh dipulihkan;

2) Ditjen Planologi Kehutanan dan Lingkungan (PKTL) menyatakan penyiapan lahan ibu kota dari kawasan hutan dianggarkan sebesar Rp2 miliar;

3) Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) menyatakan bahwa kegiatan pembangunan IKN adalah rehabilitasi hutan dan lahan di IKN dan DAS sekitarnya dengan volume 1.500 unit yang memiliki pagu Rp 22,521 miliar.

Selain data KLHK tersebut, proses pembangunan IKN yang baru juga memerlukan legalitas pendukung rangkaian dokumen penataan ruang yang perlu dilakukan revisi sejak di level Rencana Tata Ruang Pulau Kalimantan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kalimantan Timur, Rencana Tata Ruang Kabupaten Penajam Paser Utara. Hal ini tentu saja juga tidak menggunakan dana yang sedikit.

Lihat Juga:  Menyoal Kepedulian Kepada Tetangga

Berdasarkan hal tersebut, lahir beberapa pertanyaan:

1) Darimana sumber pembiayaannya?;

2) Utang negeri saat ini sudah berada pada angka 7.000 Trilyun, angka kemiskinan juga semakin meningkat sejak era pandemi ini, apakah memang sudah saatnya memindahkan IKN ditengah kemelut lain yang jauh lebih urgen dihadapi oleh negeri ini?;

3) Apakah benar pemindahan IKN ini juga menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia secara merata?!

Jika melihat secara umum terkait pola pembangunan yang sedang berlangsung di negeri ini, sangat sulit dikatakan bila pembangunan IKN ini keberpihakannya untuk rakyat secara merata. Lantas, pemindahan IKN ini untuk siapa?!. (*)

 

Penulis: Despry Nur Annisa Ahmad, ST, M.Sc (Dosen dan Peneliti)

 

 

***

 

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.