Advertisement - Scroll ke atas
Opini

Kebebasan ala Demokrasi: Penghinaan Nabi Terulang Kembali

531
×

Kebebasan ala Demokrasi: Penghinaan Nabi Terulang Kembali

Sebarkan artikel ini
Hamsina Halik
Hamsina Halik (Penulis)

OPINI—Penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. kembali terjadi. Ironisnya, tindakan tersebut dianggap sebagai kebebasan berekspresi, sebuah konsep yang menjadi pilar dalam sistem demokrasi kapitalistik.

Hal ini sebagaimana tanggapan sejumlah organisasi masyarakat sipil yang mengkritik langkah penangkapan penangkapan kartunis utama LeMan, Dogan Pehlevan (DP) dan beberapa kartunis lainnya, sebagai bentuk represi terhadap kebebasan berekspresi. Mereka menilai tindakan pemerintah berlebihan dan menambah catatan buruk iklim kebebasan pers di Turki.

Advertisement
Scroll untuk melanjutkan

Kartunis tersebut ditangkap otoritas Turki setelah menerbitkan ilustrasi yang dinilai menyinggung agama karena dianggap menggambarkan Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Kartun itu memicu kecaman luas dari pemerintah dan kelompok konservatif.

Ilustrasi kontroversial itu menampilkan dua sosok berjabat tangan di langit, dengan latar konflik bersenjata. Banyak pihak menilai gambar itu menyerupai Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Kartun tersebut terbit beberapa hari setelah konflik berdarah 12 hari antara Iran dan Israel. (cnnindonesia.com, 05/07/2025)

Kebebasan Tanpa Batas Nilai

Dalam kapitalisme berdiri asas sekularisme, yaitu asas yang memisahkan agama dari kehidupan. Sebagai konsekuensi, agama tidak memiliki wewenang dalam mengatur kehidupan publik. Agama hanya ada dalam ranah privat, yaitu ibadah ritual semata. Sehingga kebebasan berekspresi menjadi hak mutlak, termasuk dalam menyampaikan opini yang menghina agama.

Kebebasan individu merupakan prinsip yang sangat penting dan harus dihormati, termasuk hak untuk memiliki pendapat, kepemilikan, agama, dan perilaku yang bebas. Negara tidak boleh membatasi kebebasan kecuali jika menggangu ketertiban umum secara material, bukan karena nilai-nilai moral atau agama.

Agama dianggap sebagai urusan pribadi, sehingga simbol-simbolnya dapat dikritik atau bahkan dihina, asalkan tidak menimbulkan gangguan fisik kepada orang lain. Dengan demikian, kebebasan berekspresi dan berpendapat harus dilindungi dan dihormati, selama tidak melanggar hak-hak orang lain secara fisik.

Namun, dalam praktiknya, kebebasan ini bersifat selektif dan diskriminatif. Penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. dianggap sah, tapi kritik terhadap Holocaust atau simbol-simbol Zionisme dianggap sebagai hate speech dan bisa dipidana. Ini menunjukkan bahwa standar kebebasan dalam kapitalisme bersifat hipokrit dan politis.

Sungguh, kebebasan berekspresi terus menjadi alat untuk menyerang umat Islam. Kebencian yang mendalam dari para musuh Islam telah membutakan hati mereka, sehingga mereka menggunakan berbagai cara untuk menghina dan merusak citra Islam. Dengan berlindung di balik prinsip kebebasan yang diagung-agungkan dalam sistem demokrasi, mereka membolehkan pembuatan karikatur yang secara terang-terangan melecehkan umat Islam.

Mirisnya, hingga saat ini tak ada sanksi tegas terhadap para pelaku penghinaan tersebut, sebagaimana yang terjadi pada kasus-kasus sebelumnya. Karena tak adanya sanksi tegas, maka tak heran jika penghinaan ini terus berulang nantinya.

Ketegasan Islam

Negeri-negeri muslim jika disatukan, umat Islam jumlahnya banyak. Namun, sangat disayangkan tak memiliki kekuatan. Tak adanya institusi negara yang mampu menyatukan kekuatan mereka dan juga menyatukan umatnya, membuat kaum muslim tak dapat berbuat banyak saat agama dan nabinya dihina dan dilecehkan oleh umat agama yang lain.

Padahal, dalam Islam sangat jelas seperti apa hukuman bagi penista atau penghina agama adalah dengan membunuhnya. Tujuannya adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku dan masyarakat. Dan untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. Al-‘Allamah al-Qadhi Iyadh dalam kitab Asy-Syifa mengutip riwayat Ibnu Wahb dari Imam Malik, ia berkata, “Siapa saja yang berkata bahwa selendang nabi kotor, dengan bermaksud menghina, maka dia harus dibunuh.”

Namun, sanksi ini hanya bisa dilakukan oleh negara. Yaitu negara dengan aturan Islamnya yang mampu memutus mata rantai penghinaan ataupun penistaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad Saw.

Dengan demikian, satu-satunya yang mampu menghentikan penghinaan terhadap Islam adalah dengan adanya sebuah institusi negara yang menjadikan Islam sebagai landasan aturannya. Institusi ini pulalah yang akan mampu menyatukan umat Islam. Sebagaimana apa yang telah terjadi di masa Nabi Muhammad Saw., para sahabat Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelahnya.

Sejarah telah mencatat, bagaimana memperlakukan penghina Nabi Muhammad Saw. di masa kekhilafahan Utsmaniyyah di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II (1876-1918). Pada saat itu Prancis hendak membuat teater yang berasal dari karya Voltaire yang menghina Rasulullah SAW.

Khalifah dengan tegas memberi perintah melalui dutanya agar menghentikan teater tersebut. Jika tidak, Khalifah tidak akan segan untuk menyerukan jihad. Dan akhirnya Prancis membatalkan teater tersebut.

Oleh karena itu, selama dunia masih tunduk pada sistem kapitalisme, selama itu pula penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. akan terus terjadi dengan tameng kebebasan berekspresi. Umat Islam tidak boleh terus-menerus terjebak dalam siklus kemarahan sesaat tanpa solusi sistemik. (*)

Wallahu a’lam

 

Penulis: Hamsina Halik

 

 

***

 

 

Disclaimer: Setiap opini/artikel/informasi/ maupun berupa teks, gambar, suara, video dan segala bentuk grafis yang disampaikan pembaca ataupun pengguna adalah tanggung jawab setiap individu, dan bukan tanggungjawab Mediasulsel.com.

error: Content is protected !!